Rabu, 05 Mei 2010

Pulang

Sebelumnya saya hanya bercerita denganmu masalah ini, karena hidup saya diisi denganmu beberapa tahun terakhir. Namun sejak hal itu terjadi, saya bercerita kepada semuanya, kepada siapa saja.

Suasana di Bekasi seketika menjadi sangat panas. Ketika saya bilang saya mungkin tidak akan sujud selama beberapa tahun ke depan karena tidak tahu maknanya secara personal. Saya berani bilang ini kepadamu Bunda bukan karena saya membangkang, tidak menghargaimu. Namun saya mencoba membuatmu berpikir, bahkan dengan atau tanpa saya bersujud, saya pun menyayangimu walau kamu bersikap jahat terhadap orang lain, menyayangimu walau kamu terlihat lelah mengurus saya, menyayangimu karena memang saya sayang. Menyayangimu dan tidak ingin kamu susah lagi karena saya.

Bunda, apakah kamu tahu? Ketika kamu menangisi semua semua yang hilang karena tekanan hidup itu diatas sajadah, saya sedang coba untuk berpikir waras. Berpikir dengan logika bahwa dengan hidupnya saya yang sering sekali sakit-sakitan, akan menambah beban finansial lebih banyak lagi. Saya sangat waras, bahkan ketika memutuskan untuk menjual bagian-bagian tubuh saya yang bagi orang kaya berharga. Atau memutuskan mengakhiri hidup untuk memotong pengeluaran yang kamu tanggung.

Saya mau jual apa saja Bunda, jual ginjal, jual selaput dara, jual rahim. Apa saja yang cepat menghasilkan uang untuk menutup mulut orang-orang yang pernah menggedor-gedor pintu rumah yang kita sewa. Penuh dengan peristiwa mencekam Bunda, dan ini adalah suatu proses yang harus kita lalui dan tidak akan berhenti dengan hanya do'a. Mungkin do'a menahanmu dari segala kegilaan dan bertahan pada kewarasan. Bunda, kita semua mengalaminya, memahami rasanya dan sama-sama menderita.

Ketika itu saya pikir dirimu punya rumah untuk saya. Hingga saya ditawari batu untuk diikat diperut agar saya merasakan hamil sembilan bulan yang menggambarkan bahwa saya sudah sangat amat kurang ajar ketika mengaku hal yang bahkan melukaimu saja tidak. Dan kamu dengan amat sangat murka mengusir saya seraya berkata,

"Kamu bukan anak saya."

Sejak saat itu saya mengerti, bahwa tidak ada rumah untuk saya. Tidak dimata Bunda, tidak ada apa-apa disana. Tidak dimata adik saya. Saya tersesat sejak saat itu, terseok-seok untuk mencari rumah bagi saya bernaung, dimana saya merasa aman, saya dapat menjadi diri sendiri dengan jujur, saya dapat benar-benar merasa 'pulang', merasa hangat, merasa terselamatkan.

Lalu saya menemukan kamu, tiga tahun lalu berdiri dengan mata cemerlang memamerkan senyum dibalik jendela. Menawarkan saya berbagi tempat untuk pulang. Dan karena hal itu saya selalu saja tidak sabar untuk pulang dan bertemu kamu. Kamu rumah saya. Tempat saya bernaung, tempat saya merasa aman, tempat saya menjadi diri sendiri dengan jujur, tempat saya merasa hangat, merasa terselamatkan. Tempat kita sama-sama menggeluti waktu, tertawa, bersatu, bertukar keluh, bertukar peluh.

Hingga suatu ketika, saya menemukan rumah tiba-tiba saja kosong. Saya menunggu dan menunggu, menunggu kamu untuk pulang. Hingga saya pikir tidak ada gunanya menunggu. Lalu saya mendengar laju motormu mendekati. Bukan, bukan ke rumah ini. Bukan ke sini lagi...

Terluka dan kecewa untuk kesekian kalinya dalam hidup membuat saya mengemasi semua barang-barang, walau tidak ingin saya harus pergi dari rumah ini. Ternyata rumah ini hanya penampungan sementara. Padahal saya tidak ingin cinta untuk sementara. Lagi, saya harus terseok-seok mencari tempat untuk pulang. Saya tidur dijalanan, dibangunkan oleh teman saya, mereka bilang saya boleh menginap barang dua atau tiga malam ditempat mereka selagi saya mencari rumah yang hilang.

Terima kasih...

Beginikah sulitnya ketika kamu kehilangan tempat untuk pulang? Seakan-akan kaki mu tidak dapat diam pada tempatnya untuk berisitirahat sejenak, namun terus berlari, berlari tanpa arah hingga kamu benar-benar tersesat. Tersesat dan kehilangan arah. Ke dalam hutan gelap tanpa hewan. Lalu teman-temanmu dari jauh memanggil-manggilmu, menyalakan obor agar kau tahu arah. Kamu masih terseok-seok. Terseok-seok menemukan jalan pulang. Mirip seperti kucing tiba-tiba dimasukkan dalam karung, lalu dibawa entah kemana. Dibuang. Ketika karung terbuka, dunia sama sekali asing bagimu...


Bebas berbeda dengan tersesat, Sesat berarti bingung,
Bingung menyita pikiran, mencoba untuk keluar dan
Merasakan lagi sebuah kehangatan dan rasa aman
Sebuah perlindungan dari kehampaan.

Dunia tidak selalu sama, bagi tiap orang yang menjejakinya
Apakah kita ada karena kita memang ada,
Atau kita ada karena ada dirinya?
Terpujilah orang yang benar-benar ada...

Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Rumah...

Perjalanan terasa menyakitkan, ketika luka di kaki
yang belum sembuh dipaksa berjalan di atas kerikil tajam,
mengulum senyum dalam duka dan bertanya
apakah aku diinginkan?

Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Rumah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar