Senin, 26 Desember 2011

Naturalisasi di Laga Mode


Berapa banyak model berwajah Indonesia asli yang menghiasi cover majalah-majalah yang beredar di tanah air? Yang melenggang di catwalk? Yang menghiasi iklan televisi maupun cetak? Mungkin bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Serbuan model kaukasian makin marak berlaga di dunia mode belakangan ini, seiring dari banyaknya permintaan pemain-pemain yang bergerak di bidang Industri Mode; majalah, pagelaran busana, iklan, dan lain sebagainya. Seperti yang diakui pengamat mode, Muara Bagdja, menurutnya, peningkatan kebutuhan model asing terjadi karena beberapa alasan; seperti pengaruh globalisasi, bahwa semua hal yang mengacu pada ukuran standar internasional (dari luar) dianggap bagus dan ia mengatakan bahwa masyarakat menganggap citra cantik adalah berkulit putih, berambut panjang, berhidung mancung, tinggi dan kurus, demikian yang saya kutip dari Harian Seputar Indonesia edisi cetak, Jumat, 2 September 2011.

Sebentar, rasanya ada yang salah dari testimoni di atas. Sebelumnya mari kita lakukan kilas balik mode era 1980-1990-an. Saat itu dunia mode dihiasi oleh model-model ‘berwajah’ Indonesia, seperti Enny Sukanto, Titi Qadarsih, Atiek Sinuko, Nani Sakrie yang berjaya di tahun 80-an kemudian disusul oleh Dhani Dahlan, Ratih Sanggarwati, Kintan Umari, Okky Asokawati, Nana Krit, Vera Kinan, ataupun Ira Duati yang namanya masih diperhitungkan dipanggung mode bahkan hingga kini. Memang, ada beberapa model dengan wajah blasteran yang juga muncul kala itu, seperti Larasati Gading, Licu ataupun Saraswati Harsono, namun perbandingannya tidak seperti yang terjadi sekarang.

Fenomena apa yang terjadi hari ini?

Perlu dicatat bahwa dunia mode tidak memiliki ukuran perbandingan yang jelas bagi konsumennya, contoh : Baju yang dikenakan model dalam sebuah peragaan atau pemotretan belum tentu sesuai dengan bentuk tubuh masing-masing target konsumen. Sementara itu, model kaukasian mempunyai torso (panjang badan) lebih tinggi dibandingkan dengan orang Indonesia pada umumnya. Maka itu mari kita bayangkan sejenak, ketika baju yang diperagakan diproduksi secara masal sesuai ukuran model, tentu tidak akan sesuai dengan ukuran badan perempuan Indonesia pada umumnya.

Saya teringat pada sebuah acara audisi yang pernah saya ikuti yaitu ESMOD (Sekolah Mode) Graduation 2010, di Jakarta, seorang murid berkata pada agency-agency yang hadir membawa modelnya, bahwa ia menginginkan model kaukasian untuk membawakan rancangannya yang memang dibuat dengan ukuran kaukasian. Lalu saya bertanya, apakah jika ia buka butik di Indonesia pun akan mengukur rancangannya sesuai ukuran kaukasian? Ini pola pikir yang aneh. Kadang hal itu juga terasa ironis, karena desainernya sendiri bertubuh mungil sementara modelnya tinggi menjulang dua kali lipat tinggi tubuhnya. Dilain hal, perempuan Indonesia pada umumnya memiliki tinggi rata-rata 155cm – 165cm termasuk didalamnya target konsumen dari pagelaran mode yang berada di kelas A.


Perbedaan Tarif Model Kaukasian dan Nusantara

Masih lekat di benak saya ketika berbincang dengan pengarah gaya dan peƱata rias serta jilbab dari Majalah Alia untuk sebuah pemotretan fashion spread dimana saya menjadi modelnya saat itu di tahun 2010. Perbincangan kemudian tiba-tiba bergulir hingga membicarakan tarif model.

“Sekarang model bule lagi banyak mbak, dan mereka mau dibayar Rp 800.000,- loh! Bule gitu!”, ujarnya dengan nada tercengang.

Lalu sebuah pertanyaan melintas dibenak saya.

“Jadi, kalau bule sewajarnya dibayar lebih mahal dari model negeri sendiri?”

Perbedaan tarif pun terjadi pada perhelatan pagelaran busana. Model-model Indonesia mempunyai tarif pemula rata-rata di angka Rp 300.000,- hingga maksimal Rp 1.000.000,- untuk sebuah show tunggal atau hairshow. Model pemula kaukasian bisa mendapat dua kali lipatnya dengan layanan memuaskan dari Agency, misalnya : diantar dan dijemput. Sementara model negeri sendiri yang berasal dari kalangan bawah seperti saya, harus berjibaku berangkat dan pulang menggunakan kendaraan umum.

****


Jelas ada yang salah dari cara pandang kita terhadap bangsa sendiri, jika kaukasian dianggap lebih baik dari bangsa sendiri dalam hal kualitas serta menjadi tolak ukur diterimanya mode Indonesia secara Internasional, seperti yang dikemukakan Muara Bardja, selamat kawan-kawan, kita telah tiba di era penjajahan dan diskriminasi usai 66 tahun merdeka. Kita mengalami kemunduran. Jepang dan Korea telah mengadaptasi kemunduran ini dengan maraknya melakukan operasi plastik demi mendapatkan wujud sempurna anatomi wajah sesuai anatomi wajah kaukasian sebagai tolak ukurnya, yaitu; mata yang besar dan hidung yang mancung.

Apakah kita akan jadi bangsa berikutnya yang akan kehilangan jati dirinya dan membenci apa kita yang kita punya? Atau memang itu yang diinginkan dari industri ini agar kesadaran remaja dan wanita Indonesia dikaburkan dan akhirnya mendukung kehidupan industri yang ditopang oleh konsumsi-konsumsi mereka untuk jadi yang sempurna ; mata berwarna, berkulit putih, tinggi dan hidung yag mancung, sesuai dengan apa yang digembar-gemborkan media? Sudah saatnya kita merenung kawan…

Senin, 31 Oktober 2011

Ruangan-ruangan


Ini adalah hari-hari di mana matahari menyapa terlalu pagi, melalui teralis pembatas yang dipantulkan cermin ke dinding putih. Ia tak tertidur bagai putri, dalam mimpi berkelebat kecemasan yang mungkin baru berakhir ketika pantai dengan deburannya yang mematikan disusul keheningan samudra, menelan semua yang fana. Terbangunlah dia kearah cahaya. Entah sejak kapan, tak berani lagi menatap wajahnya dalam cermin terlalu lama, karena di sana ada sipir yang menuntut kejujuran sedangkan yang ia punya hanya sebongkah kebohongan yang terus merasuk, hingga mata urung melihat bahwa masih ada indah tersisa. Yang terlanjur hancur, dapatkah dibangun kembali?


Pertanyaan ini masih melayang-layang lepas dari talinya. Berayun ke sana kemari tanpa menemukan sebuah danau dan kemudian berenang bersama ubur-ubur bercahaya kekuningan.


Angin mengalir, semilir, setitik hujan lalu turun…


Kesedihan ada banyak dalam ruangan-ruangan yang berjumlah lebih dari delapan belas kamar. Perempuan-perempuan yang berada didalamnya punya berbagai masalah yang berbeda. Seperti suatu pagi, ia mendengar sebuah percakapan telepon dari kamar sebelah, penghuni kamar sebelah adalah istri dari seorang suami yang tidak ingin tinggal bersamanya. Ada nada kepasrahan ketika ia menjawab pertanyaan 'mengapa?'. Rasa tidak percaya diri, bergantung, jadi satu, dan menjadikannya menelan pahit sebuah kenyataan daripada beranjak untuk mencari hal lain walau kenyataan itu sangat menyedihkan, hal ini terdengar dari lirihnya ia menjawab pertanyaan temannya ditelepon.


Lalu apakah kebahagiaan itu?


Dia kembali memandangi langit-langit setelah selesai mendengarkan percakapan dari kamar seberang. Bukankah bahagia itu racun dan adiktif? Segera setelah mencicipinya kamu akan segera minta lagi, lagi dan lagi. Lalu ketika kamu tak kunjung mendapatkannya, kamu akan mengakhiri hidup…


Lalu disebelah kanan ruangan lainnya, ada seorang ibu tua, menjadi penghuni kamar. Dia pun teringat ibunya di rumah. Hatinya tak habis bertanya mengapa ia menyewa kamar di sini? Bukan tinggal di rumah, bersama suami atau abu suami jika telah ditinggalkan, atau suami baru sebagai teman menjalani hidup hingga akhir. Pernahkah kita berpikir mengapa manusia makhluk sosial? Karena kesendirian yang dikejar oleh Christopher McCandless, berakhir dengan merindukan keramaian.


Lalu ada dirinya, seorang gadis tanpa cermin. Ia tak punya keinginan terpendam untuk jadi orang lain. Ia hanya punya keinginan terpendam untuk tiada. Agak sulit hidup ketika mata dan otaknya terlampau aktif. Ia memikirkan lumba-lumba yang tiap bulan September berlari ketakutan dan akhirnya mati ditombak. Anjing yang dipukuli hingga mati. Sapi dan kambing yang selalu jadi kurban tiap tahun dan selalu melalui proses yang menyedihkan. Orang utan yang dipenggal kepalanya. Gajah yang dibakar hidup-hidup karena dianggap hama. Serakah itu jahat, dan manusia selalu serakah. Dan dia adalah salah satu manusia yang hidup…


Kini ia siap berangkat, lebih pagi dari biasa. Ia ingat langkahnya, gesekan antara kulit tangannya saat ia menuruni tangga dan berpegangan pada relnya, cara membuka pintu gerbang, menutupnya sepelan mungkin, melewati kucing-kucing – termasuk kucing dengan kumis hitler, kicauan burung yang terperangkap, menaiki tangga, lalu berhenti dan mengetuk sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Tiap akan mengetuk, ia berdebar khawatir…


Apakah pintu itu benar-benar terbuka untuknya?




Kemanggisan, kos baru...

Rabu, 27 Juli 2011

Halo Ayah...

Halo Ayah, kita bertemu lagi tahun ini…


Butuh perjalanan selama kurang lebih empat jam untuk menuju tempatmu berada, sesuai keadaan lalu lintasnya saja. Kami berangkat menggunakan bis dari terminal Baranangsiang, Bogor, yang menuju Pelabuhan Ratu. Bis kosong sekali, hanya ada enam penumpang, tiga diantaranya adalah kami. Aduh, Ayah, bagaimana si supir setoran kalau macam ini? Namun bapak supir beserta kernetnya yang baik mengantar kami hingga sampai ke rumahmu dan disitulah kamu berada, bertengger di atas bukit, menghadap ke arah jalan raya yang dilalui berbagai macam bis antar kota maupun angkutan umum sekitaran.


Butuh mendaki sedikit untuk mengetuk rumahmu, oh lihat, banyak pepohonan tumbuh, kamu memberi kehidupan kepada bumi, kamu tahu itu Ayah? Dengan adanya pohon-pohon ini, kamu jadi tidak terlalu kepanasan bukan. Ini ada dua anakmu beserta Ibu, yap mantan istrimu datang, bawa bunga warna warni, cantik sekali. Semoga kamu, nenek dan adik nenek menyukainya.


Kami tidak lama-lama bertamu, seperti biasa, kami mengejar senja agar dapat kembali lagi ke Bogor. Kami pamit dan bertolak untuk mengunjungi pantai. Sudah nyaris sepuluh tahun lewat, sejak terakhir kita ke sini. Hotel masih berdiri di sana-sini, sawahnya masih sama, di depan sawah ada sebuah restoran. Perut keroncongan karena sudah masuk jam makan siang. Kami singgah untuk melepas lapar, menggantinya jadi kenyang.


Nasi, ikan, cumi, kangkung segera terhidang di meja, kami menyantapnya bertiga sambil memandangi laut. Ombak selalu besar di Pelabuhan Ratu, membuat orang-orang ketakutan diterjangnya. Hidangan masih tersisa namun perut kami sudah penuh nian, ikannya terlalu besar untuk kami santap bertiga, dan kami memutuskan untuk membawa pulang sisanya. Mataku tertuju pada bangunan di dekat sawah, mirip tempat sampah, ada seseorang mengais-ngais di sana, tadinya ku pikir ia adalah pemulung, namun setelah ku perhatikan lebih seksama, ia mengais sampah lalu memasukkannya ke mulutnya! Ayah, kamu tahu mataku rabun jauh, jadi kutanya adik,


“Dik, dia itu sedang makankah?”


Oh Ayah, adik terkejut, dan mungkin kamu juga – jika kamu berada di sana, menyaksikan seorang manusia makan dari tempat sampah. Kami bertiga tanpa kompromi dengan senang hati membagi makanan dengannya, dan ia dengan lahap memasukkan nasi ke mulutnya. Ayah, mulai hari itu, aku akan mensyukuri semua makanan yang tersaji dan berusaha makan tanpa meninggalkan sisa. Aku tidak akan cerewet mengenai rasa, karena aku telah melihat sendiri ada orang mengunyah SAMPAH.


Ayah, kami masih tetap mengejar senja. Aku berharap, bahwa orang tadi, yang ku duga mengalami gangguan jiwa, mendapatkan tempat yang lebih baik dan kepedulian diberikan makanan oleh orang sekitarnya malam ini, ataupun hingga esok, esok dan esooook seterusnya.


Ayah, bis kami melewati rumahmu lagi ketika menuju pulang. Aku dan adik melambaikan tangan ke arah bukit, kau mungkin tidak akan melihatnya karena kau tertidur dalam tanah. Jika kau masih hidup mungkin sekarang kita sedang bertengkar tentang Pram, ahmadiyah, bom atom, hadist-hadist yang perlu ditinjau ulang terutama tentang hukum pernikahan dan perempuan, hukum KDRT, kehamilan di luar nikah, lesbian, homo, baju yang seharusnya ku kenakan, pacarku, hukum ekonomi dan mungkin poligami.


Kematian adalah sebuah misteri Ayah, pada hal-hal tertentu, nyawa bisa lepas secara tiba-tiba. Yang menakutkan dari kematian adalah bukan rasa sakitnya, namun terlupakan bukan? Aku pastikan bahwa selalu ada ruang untuk mengingatmu apapun kenangannya, baik atau buruk, dan kamu masih hidup, di sini, dalam kromosom yang membentuk adanya diriku. Jadi selama aku hidup, kamu tidak akan pernah hilang…


Ayah, selamat tidur…




Slipi, setelah hujan besar sekali.

Rabu, 06 Juli 2011

Tidung Dalam Sekam


Tidung adalah satu dari beberapa kepulauan seribu yang tersebar di teluk Jakarta. Ketenarannya yang sekarang diawali oleh sebuah liputan dari sebuah biro perjalanan bernama ‘Jalan-jalan’ yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk artikel di majalah bulanan mereka. Hal itu terjadi kira-kira dua tahun lampau. Kini, semua mata penduduk ibukota, khususnya Jakarta, menoleh kepadanya ketika hari libur tiba. Mereka kabita ingin berlibur di pulau kecil tersebut, disambut oleh penduduk yang ramah, serta berenang diantara terumbu karang sambil dikelilingi ikan-ikan hias yang tadinya hanya bisa dilihat dalam akuarium raksasa di Ancol.


Macam memakai susuk, pesona Tidung menebarkan magnet bagi orang banyak, seperti pemandangan pagi ini (2/7) di Muara Angke, ratusan orang memenuhi pelabuhan yang menyediakan kapal menuju Tidung dengan harga yang cukup terjangkau, yaitu sekitar tiga puluh lima ribu rupiah. Saking padatnya, para pelancong berebut untuk mendapatkan tempat di kapal. Panitia perjalanan masing-masing grup akan sibuk bernegosiasi dengan Kapten kapal yang ternyata kadung banyak janji dengan banyak perusahaan, demi meraup untung yang lebih banyak lagi.

Perjalanan Muara Angke-Tidung dengan kapal biasanya membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam. Namun hari itu dibutuhkan waktu lebih banyak karena kapal tiba-tiba mogok dan mengeluarkan asap berbau solar. Kapten kapal terlihat panik, para abk sibuk memompa dan mencari masalah pada mesin kapal. Para penumpang kelihatan khawatir dan memegang erat pelampung yang sudah dibagikan sebelum berangkat. Tak lama kemudian, kapal dapat melaju lagi hingga sampai ke dermaga tidung 3 jam kemudian, meleset setengah jam dari biasanya.

Para pelancong tak sabar turun. Ada yang cepat-cepat karena ingin ke wc, ada yang muntah-muntah karena mabuk laut, ada yang memang sudah siap untuk melancong. Sebelum memulai petualangan yang biasa ditawarkan, pelancong dipersilahkan beristirahat di rumah penduduk yang biasa dijuluki “homestay”. Dulu, warga tidung mungkin belum berpikir untuk mempunyai lebih dari satu rumah, namun kini, rata-rata mereka mempunyai dua rumah, satu untuk keluarga dan satu lagi untuk disewakan. Seiring dengan permintaan, kini rumah-rumah yang disewa rata-rata memiliki pendingin ruangan di setiap kamarnya.

Menelusuri jalan menuju penginapan atau homestay, mengingatkan akan gang-gang kecil dekat rumah ketika saya kecil. Tidung yang sederhana, kini berkembang begitu pesat, di kanan kiri bergantung spanduk penyewaan alat snorkeling, serta berjejer-jejer penginapan dengan fasilitas yang disesuaikan dengan kegemaran orang kota; alas tidur dari kasur busa berpegas, televisi, serta pendingin ruangan.

Pulau Tidung dapat dicapai dengan sepeda dari ujung ke ujungnya, saya melihat ada bangunan Puskesmas yang kelihatannya masih baru, kantor pemerintahan daerah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, tempat pemakaman umum dan markas polres. Saya tidak menemukan bank, atm, toko handphone dan elektronik ataupun mini market di sana. Warga harus menyebrang lautan jika ingin menabung, menerima transfer, atau membeli bahan-bahan untuk berjualan seperti mie instant, makanan kecil; kacang, kuaci, dan sukro atau membeli handphone sebagai alat komunikasi dengan berbagai panitia perjalanan yang ingin melepas penat di pulau tersebut.

Uang berputar dengan cepat di Tidung dua tahun terakhir, perkembangannya terlampau pesat. Warga yang tadinya bercocok tanam, pencari ikan yang merantau hingga luar pulau, kini nyaris semuanya beralih profesi menjadi tur guide, pengusaha penyewaan alat snorkeling, membuka warung makan atau pemilik penginapan, contohnya Halim. Ia adalah tur guide rombongan saya untuk dua hari ini. Umurnya sekitar 25 tahun. Badannya atletis, mata agak menyipit dan berbicara dengan logat yang unik. Macam logat pulau luar Jawa.


Halim sebelumnya berprofesi sebagai pencari ikan bagi sebuah perusahaan. Tugasnya adalah menggiring ikan untuk masuk ke dalam jaring, jaring akan ia pegang di kedalaman 5 meter, kemudian ditariknya ke atas, hingga semua ikan terkepung dan ia pun muncul dipermukaan. Namun kini Halim berhenti melakukan pekerjaan itu dan memilih menetap di Tidung dan menjadi tur guide. Ia bertanggung jawab menjemput tamu di dermaga, mengantar mereka ber-snorkeling, membakarkan ikan jika tamu meminta barbeque pada malam hari, dan menyiapkan sepeda agar tamu dapat menuju jembatan cinta yang tersohor dari penginapan mereka masing-masing.

Halim masih bertalian saudara dengan orang yang sering ia panggil Babeh. Babeh adalah pemilik penginapan yang kami tempati, rumah Babeh, terletak diseberangnya. Rumah yang cukup besar namun gayanya masih sederhana. Babeh adalah sesepuh Tidung atau orang yang dituakan dan dihormati oleh para pemuda di sana.

Malam itu Tidung disambangi awan Commulus Nimbus yang mengantarkan hujan deras. Babeh menemani tamunya dan bercerita, tentang asal-usul nama jembatan cinta yang pemilihan namanya tak lebih dari sekedar untuk menarik perhatian pelancong, tentang asal usul penduduk Tidung yang ternyata berasal dari Kalimantan, tentang tanaman mangkok yang awalnya tumbuh menghiasi halaman tiap rumah, kini sudah dibabat berganti menjadi pagar tetap hingga memicu Babeh untuk berpikir bahwa Tidung butuh penghijauan kembali, kesadaran warganya bahwa Tidung punya potensi ekonomi dari pariwisata sehingga mereka menolak tiap investor yang datang untuk membeli tanah mereka.

“Lalu setelah dua tahun ini, apa yang berubah dari Tidung?”, tanya saya.

Seorang teman Halim ikut dalam obrolan santai ini, yang juga kerabat Babeh. Ia kemudian menjawab pertanyaan saya.

“Perubahan paling besar terjadi pada warga, terutama masalah sosial, persaingan bisinis yang tumbuh, bikin kita jadi ber blok-blok, kalau kumpul, kita gak pernah bener-bener nyatu, ya semua bakalan balik lagi ngumpul sama blok.nya masing-masing, blok barat sama barat, blok timur sama timur. Kalau misalnya blok barat ngadain selametan, blok timur gak pengen bantuin diriin tenda, dulu mah enggak kayak gitu…”, ujarnya.

Hujan masih mengguyur Tidung ketika saya masuk untuk tidur dan berlanjut dengan gerimis kecil keesokan paginya. Matahari pun diselimuti dengan kabut sehingga ia tidak menampakkan diri di balik awan seperti biasanya. Tukang bangunan sibuk membangun rumah disana-sini Tidung. Warung gorengan, nasi uduk, mi rebus, diserbu pelancong yang kelaparan mencari sarapan. Pagi itu semua orang menuju pantai dengan sepeda, bettor (becak motor), atau berjalan kaki, menikmati hari terakhir mereka sebelum pulang kembali ke kota.

Ombak menjilat-jilat pasir di tepian, sebagian mengantarkan tumpukan sampah plastik yang mengambang. Dalam dua tahun Tidung telah berubah banyak, dan berbagai permasalahan kini mengancam Tidung, mulai dari lingkungan hingga persaingan antar warga. Oh, Tidung berada dalam sekam…



*Slipi, dari lantai 20 diantara deadline aplikasi, Mimit, saya menepati janji saya untuk bertandang ke pulau itu, dan saya menulis ini untukmu…

Rabu, 22 Juni 2011

Selintas

Jika saya berpikir macam itu lagi, ini jadi sebuah beban baru yang berlapis-lapis. Beban saya terhadapmu kawan, yang menginginkan hidup, yang masih optimis hingga hari akhirmu. Saya merasa berdosa kepadamu karena keinginan ini masih sering selewat datang dalam benak saya. Kawan, jika nyawa bisa ditukar, saat itu saya akan berikan untuk kamu segera, karena duniamu terlalu riuh untuk ditinggalkan sementara dunia saya terlalu sepi untuk ditinggali...


Maafkan saya Kawan...




*pikiran yang sering selintas datang

Senin, 06 Juni 2011



Despicable Me



Sebuah opini dan resensi



Bagaimana jika menjadi seorang pencuri merupakan cita-cita yang membanggakan? Itulah kira-kira sebuah semboyan yang digusung oleh film animasi produksi Universal Pictures, Despicable Me. Ke-eksistensian seorang pencuri di nilai dari seberapa besar ia dapat mencuri bangunan bersejarah, misalnya mencuri Patung Liberty, Menara Eifel, atau mungkin jika terjadi di Jakarta, Monas pun dapat ikut raib, walau Monas hanyalah simbol dan sebenarnya merupakan hiburan rakyat golongan bawah yang ingin menghabiskan akhir pekan dengan murah, karena golongan atas hanya akan menangis jika si pencuri berhasil mengambil Grand Indonesia atau mungkin si pulau belanja kecil, Singapura.


Despicable Me mengandung banyak pemaknaan secara harfiah maupun metafora terhadap hal-hal nyata seperti ; hubungan pekerja dengan ‘bos’ yang lebih digambarkan pada karakter ‘pemujaan’, pembiayaan bank, regenerasi kepada orang yang lebih produktif, persaingan antara ilmuwan atau dalam hal ini antara ‘pencuri’, kolusi, nepotisme dan sikap manusia yang tidak absolut, berubah.


Namun menurut adik saya, seorang pecinta film animasi, film ini gagal jika dimasukkan dalam kategori komedi. Karena gaya humor yang ditawarkan bersifat setengah-setengah atau istilah anak muda sekarang adalah ‘garing’.




****




Pagi itu, Gru, seorang pencuri, menjalani kehidupannya seperti biasa, membeli kopi serta kue untuk sarapan, ia bersiap menjalani kehidupan dengan santai hingga sebuah berita menghampirinya, sebuah piramida di Mesir telah dicuri! Ia memang telah mencuri, namun hanya hal-hal kecil yang tidak sebegitunya diperhitungkan. Hukumnya, jika seseorang berhasil mencuri sesuatu yang hebat, maka ia harus bisa mencuri hal lain yang lebih hebat lagi.


Maka itu ia mengumpulkan para pekerjanya untuk rapat besar. Pekerjanya bukan manusia, namun sejenis makhluk kecil dengan badan mirip kapsul, berwarna serupa bola tenis. Walau sebegitu aneh rupanya, nama mereka tetap normal, John, Kevin, serupa nama manusia pada umumnya. Kehadiran karakter ini kurang lebih membantu untuk menceriakan cerita dengan humor ‘konyol’. Mereka selalu menertawakan segala sesuatu yang sederhana, mirip sekali dengan orang yang sedang mabuk ganja.


Untuk pencurian selanjutnya, mereka mempunyai rencana yang sangat besar, yaitu mencuri Bulan. Yap, si benda yang memantulkan sinar matahari pada malan hari, satelit bumi, BULAN.


Untuk mencuri bulan, ia memerlukan alat-alat yang memadai untuk rencana tersebut yaitu sebuah alat ‘pengecil’ dan berharap mendapat pinjaman dari bank untuk mewujudkannya. Namun bank sudah menginvestasikan terlalu banyak uang untuk Gru dan tidak mendapat keuntungan yang begitu berarti. Mereka berharap dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sesedikit mungkin (hmm…pernah dengar hukum ekonomi ini?).


Entah bagaimana akhirnya Gru menemukan seseorang telah menciptakan alat ‘pengecil’ tersebut. Mereka pun mencuri alat tersebut dari sebuah pulau yang berada di Asia Tenggara, bagi saya terlihat mirip seperti Jepang. Jika diperhatikan lebih seksama, cara kerja alat ini serupa dengan ‘senter pengecil’ buatan Doraemon yang telah akrab bagi anak-anak di tahun 1990-an yang gemar menyaksikan film serinya setiap minggu.


Namun sialnya Gru, alat itu segera dicuri lagi oleh Vector, seorang pencuri yang berhasil mencuri piramida. Pada tahap inilah Gru mencari cara agar dapat masuk ke kediaman Vector dan mencuri kembali alat pengecil tersebut. Setelah berbagai usaha, Gru menemukan sebuah jalan keluar dari tiga orang anak yatim piatu yang dipersilahkan masuk oleh Vector karena menjual kue yang disukainya.


Dari sana terbit sebuah ide. Gru segera mengadopsi anak-anak tersebut dari yatim piatu untuk dilibatkan dalam aksi pencurian tersebut. Anak-anak ini hanyalah anak polos dengan kehausan kasih sayang dari orang tua yang mereka tak pernah mereka punya. Dalam film, keadaan panti asuhan digambarkan sangat tidak menyenangkan, penuh siksaan mental dan hinaan, dalam kehidupan nyata saya kira tidak banyak berbeda, begitu kiranya yang saya tahu dari sebuah laporan yang ditulis Truman Capote berjudul ‘In Cold Blood’.


Margo, Edith dan Agnes resmi diadopsi oleh Gru tanpa proses yang begitu berbelit-belit. Gru begitu dingin pada anak-anak tersebut pada awalnya, hal ini dikarenakan masa lalu Gru sebagai anak tunggal yang haus kasih sayang dan tidak pernah memperoleh sedkitpun penghargaan. Namun kehadiran anak-anak akhirnya membuat kehidupan Gru semakin berwarna dengan keluguan dan manjanya anak-anak kecil. Gru berubah menjadi mencintai anak-anak tersebut.

Mencuri bulan tak lagi jadi begitu penting bagi ketika anak-anak tersebut dalam bahaya. Gru yang semula membuang si anak-anak, akhirnya memperjuangkan mereka kembali. Bulan kembali berada di tempatnya seperti semula, everybody is happy.


Entah mengapa menurut saya, hal itu justru sangat amat munafik, karena yang terjadi di dunia nyata adalah hal yang lebih-lebih pelik lagi, ya kejiwaan yang terguncang, krisis kepercayaan, namun memang kata-kata ‘happily ever after’ mendominasi tiap dongeng mulai dari Cinderella hingga Despicable Me bahkan Shrek.


Nah menurutmu?





*minggu sore, di kos tanpa penghuni, sarapan dan makan siang roti tawar agar tidak kadaluarsa esok hari. Hidup pelik, namun beginilah hidup bukan?

Rabu, 01 Juni 2011

Ngompol Lagi

Perjalanan malam itu seharusnya mulus, tanpa gangguan, namun hembusan AC yang meracuni badan dengan hawa dingin membuat kandung kemih terlambat menyadari bahwa dirinya telah penuh. Untuk kesekian kalinya saya harus ngompol akibat jalanan Jakarta yang macet laur biasa. Selain juga karena mungkin terjadi kesalahan pada organ ureter pada tubuh ini.

Ngompol ketika dewasa agak merepotkan, karena Anda akan dihadapkan pada norma-norma yang ketika kecil dulu bisa dimaklumi begitu saja. Seorang anak kecil yang ngompol, akan bebas melenggang begitu saja tanpa sehelai kain pun menutupi kulitnya yang terbuka bebas karena celana sudah basah, tentu akan menimbulkan penyakit jika dipakai kembali. Tentu hal ini tidak dapat dilakukan orang dewasa yang waras, yang dikungkung oleh sabuk sosial untuk menjaga aurat dengan berpakaian dalam, berpakaian luar yang menutup hingga bagian tertenu yang dianggap tidak menimbulkan syahwat.

Mirip dengan kejadian malam itu, saya yang sudah dewasa, untuk kesekian kalinya ngompol karena tidak tersedianya fasilitas WC umum pada halte-halte Trans Jakarta yang membuktikan bahwa fasilitas untuk perempuan hamil, orang tua atau orang dengan kekurangan fisik di nomor duakan. Mengeluarkan urine adalah hal yang alamiah, ini mirip halnya dengan mengeluarkan racun dalam tubuh, namun karena jadwal yang berbeda-beda, fasilitas umum macam Trans Jakarta menganggap semua penumpang sama kuatnya dengan penumpang kebanyakan dapat menahan keluarnya urine dalam 3-4 jam perjalanan.

Begitukah seleksi alam?

Jadi, jika saya yang penuh dengan kekurangan masalah jadwal kencing tak tertahankan harus mengatasi masalah kesehatan saya dahulu baru mungkin dapat berbaur dengan kehidupan orang umum pada kebanyakan. Jadi ini sepenuhnya adalah MASALAH KANTONG URINE SAYA.

Lalu bagaimana saya harus tahu ada masalah pada kantong urine atau tidak. Dengan pergi ke dokter, melakukan segala tes kesehatan yang menakutkan, belum lagi dibayang-bayangi vonis mendadak atas sebuah penyakit serius yang hanya bisa diobati dengan biaya mahal dan mungkin saja sulit untuk disembuhkan, dan ketika di vonis kamu akan dipojokkan untuk sebuah tindakan kesehatan disodorkan formulir bahwa kamu bersedia dibawa ke meja operasi, dipreteli bagain-bagian tubuhnya yang mempunyai resiko besar hilangnya nyawa karena kelalaian yang mungkin saja terjadi. Dan kamu bisa pergi begitu saja saat itu, atau beberapa minggu setelahnya karena mengalami komplikasi kronis.

O.K.E

Katakan tidak untuk operasi meski mereka bilang dalam 6 bulan lagi saya tentu tidak akan dapat bertahan, katakan tidak untuk sebuah ketakutan-ketakutan pasti akan sebuah kematian. Katakan tidak ketika mereka menyodorkan sebuah formulir yang menjanjikan bahwa mereka akan merawatmu (selama kamu masih berduit) dan berusaha sebaik-baiknya. Saya punya hak atas tubuh ini, ini tubuh saya.

Tentu, kejadian ngompol lagi akan berlanjut tidak hanya sampai disini, saya hanya perlu selalu bawa baju ganti untuk mengantisipasi kejadian malam tersebut, karena membeli pakaian mendadak adalah sebuah kemewahan yang tak perlu, dan bisa saya hindari sebaik-baiknya karena saya mengenali bahwa si kantong kemih, gampang sekali penuh, terutama ketika hawa dingin terlampau menusuk dan cita-cita minum satu liter setiap hari.

:)



dari lantai 20, dengan semua orang mengetahui bahwa saya mengompol dengan bebasnya, saya suka kejujuran yang melegakan...

Sabtu, 16 April 2011

Timpang

Minggu kemarin saya pergi ke Tanah Abang. Sebuah pasar dekat stasiun kereta api Tanah Abang, Jakata Pusat. Pasar ini sudah eksis bahkan semenjak saya masih kecil. Suasana pasar ramai, karena minggu ini adalah tanggal muda. Baju muslim, peralatan sholat, pakaian wanita, sepatu sendal dan kebaya terlihat dijajakan dan pengunjung pun berhamburan. Kebanyakan pengunjung berasal dari kelas menengah dan bawah yang sudah berkeluarga atau mempunyai anak. Tidak jarang saya akan melihat anak-anak tersebut menangis karena kepanasan, terjepit atau bahkan sesak karena pasar makin siang makin dibludaki orang-orang. Oh memilukan melihat Ibu memarahi anaknya yang rewel sementara ia sedang memilih pakaian, sulitnya keadaan tersebut.


Kemudian menjelang sore hari, saya harus menyambangi sebuah mall besar dibilangan Jakarta Barat, Mall Taman Anggrek. Seperti biasa, ciri khas mall-mall besar di Jakarta, tempat ini juga dilengkapi dengan pendingin yang menurut saya sengaja ngajak berantem karena suhunya terlalu dingin, tempat makan mahal, jajanan yang sehat, serta tempat berlalu lalang yang cukup lenggang, toko-toko yang tertata apik, bersih. Sebagian besar pengunjung berasal dari keturunan Tionghoa dari golongan kelas A. Keadaan yang jauh timpang jika saya bandingkan dengan tadi siang di Tanah Abang. Anak-anak yang datang ke Taman Anggrek nyaris semuanya telihat bahagia karena dimanja dengan keadaan yang mudah, makanan yang bersih, baju yang bagus, pengasuh yang senantiasa menjaga anak sementara si Ibu berbelanja, suhu yang tidak meresahkan, dan untuk pulang pun anak-anak ini tinggal berdiri untuk dijemput supir.


Oh Gaia,

Apakah aku harus membesarkanmu dalam ketimpangan ini? Dan membiarkan otakmu yang baru akan berkembang nantinya menyerap semua kejadian ini dan menganggapnya hanya sebagai seleksi alam? Tidak, tidak, dan aku takut meninggalkanmu sendirian jika waktuku berlalu begitu cepat. Aku ingin kamu percaya bahwa hal ini, semua rentangan kelas yang akan kamu lihat jika kamu duduk dibangku kuliah dengan jurusan advertising dan merasa akrab dengan kata SES ABC, ku harap kamu tidak sebodoh aku dulu, melewatinya tanpa banyak bertanya. Bertanyalah Gaia dan jangan pernah percaya jalan buntu dari sebuah kebenaran.


Manusia itu sama Gaia. Lihatlah agama tidak melakukan apapun atas kelas yang sengaja diciptakan manusia. Lalu apakah kamu akan diam saja Gaia? Setidaknya berteriaklah ketika kereta listrik lewat. Kamu bukan robot nak, yang diprogram untuk terus senang dan bahagia dan sabar dalam keadaan apapun. Itu bohong.


Kamu hanya bisa berpegang pada sesuatu dalam hatimu. Cinta. Dengan cinta kamu bisa menggerakan semua, dengan cinta kamu percaya, dengan cinta kamu bisa melakukan apapun, dengan cinta kamu bisa mempunyai kekuatan melebihi amarah, dengan cinta kamu berpikir, rasakanlah nak, bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan hidup layak, tanpa sebuah kebohongan yang diciptakan atas nama kelas dan hal itu menjadi identitas kualitas.

Mungkin terdengar sedikit utopia.

Tapi ketika kamu merasakan sesuatu berdetak, memanggil, kamu akan tahu itu apa. Nah, nak...selamat tidur...

Selasa, 12 April 2011

You Will Meet A Tall Dark Stranger

Saya memang sudah berniat untuk menulis resensi tentang film ini, namun sebuah koran tergeletak, nampaknya tertinggal dan begitu menggoda untuk dibuka dan…guess what, saya menemukan resensi film tersebut dan saya tidak menyukainya. Well, according to my opinion, si penulis telah salah menyimpulkan cerita because that’s not how the story I catch after I watch the movie. So this is it, You Will Meet A Tall Dark Stranger (engga tau kenapa si sutradara atau penulis naskah memilih judul ini) versi saya.

***

Menolak untuk menjadi tua, Alfie Shepridge (Anthony Hopkins) membangun kepercayaan dirinya dengan terus berolahraga dan kemudian menjadi bosan terhadap istrinya, Helena Shepridge (Gemma Jones) yang ia anggap tidak mempunyai misi yang sama. Kuat dan percaya diri, Alfie meninggalkan Helena yang kemudian mencoba bunuh diri dengan minum pil tidur. Limbung dan patah hati, Helena lalu secara teratur menemui Cristal (Pauline Colins), seorang cenayang,

“Empat puluh tahun menikah dan bersama, membuatmu cukup tergantung…”, ujar Helena ketika ia pertama kali menemui Cristal.

Ramalan-ramalan Cristal tentang masa depan Helena yang cerah cukup membantu Helena untuk meneruskan hidup dan membantu anak perempuannya, Sally (Naomi Watts), untuk membayar sewa apartemen. Suami Sally, Roy Channing (Josh Brolin), adalah seorang penulis novel sukses, namun sayang karya selanjutnya selalu ditolak oleh penerbit, berada dalam tekanan untuk menulis melebihi karya pertamanya dan menghadapi kenyataan bahwa ia adalah pengangguran, Roy memilih untuk ‘melarikan diri’ mendekati tetangga barunya, Dia (Freida Pinto) seorang musisi keturunan India.

Sally kini memilih bekerja untuk menambah pemasukan setelah Roy berhenti dari pekerjaan terakhirnya sebagai supir. Sally merasa lebih baik ketika bekerja di sebuah galeri seni milik Greg Clemente (Antonio Banderas) dan sedikit naksir bosnya tersebut, seorang pria matang yang sudah berkeluarga. Sally berselingkuh secara perasaan terhadap Greg dan hal ini mempengaruhi hubungannya dengan Roy yang makin terasa hambar.

Sementara itu, Alfie merasa membutuhkan pendamping hidup yang baru. Ia kemudian bertemu Charmaine (Lucy Punch), seorang pelacur yang kemudian dinikahinya. Kabar ini terdengar oleh Helena, yang akhirnya makin sering mengunjungi Cristal dan kini mempercayai bahwa ia punya kehidupan sebelumnya lalu kehidupan setelah ini, dan begitulah Helena membuat dirinya kuat secara spiritual. Alfie, memanjakan Charmaine dengan uang, hal ini menjerumuskannya ke dalam hutang, disisi lain ia mulai merasakan bahwa memang dirinya sudah tua dengan keharusan mengonsumsi Viagra setiap kali akan berhubungan seks.

Suatu hari, Roy mendapat sebuah kabar dari teman bermain pokernya bahwa terjadi sebuah kecelakaan yang menimpa dua kawan mereka. Satu meninggal dan yang satu lagi dalam keadaan koma. Strangler, teman yang diberitakan meninggal, pernah menyerahkan sebuah naskah pada Roy, dan naskah tersebut luar biasa bagusnya. Strangler belum pernah menunjukkan pada siapapun karyanya tersebut kecuali kepada Roy. Nekad, Roy kemudian mengklaim naskah tersebut sebagai miliknya dan membawanya kepada Ayah Dia, seorang penulis kawakan. Singkatnya naskah tersebut sukses lolos sensor dan hubungan Roy dengan Dia makin dekat.

Dia mempunyai rencana untuk menikah dengan tunangannya sebentar lagi, namun frekuensi pertemuannya dengan Roy, membuat ia mempertanyakan dirinya kembali. Berselingkuh dengan Roy adalah salah karena sebentar lagi ia akan menikah, namun ia tidak dapat memungkiri bahwa ia senang atas puji-puja yang diberikan Roy terhadap dirinya, ia sadar benar bahwa Roy sedang merayu namun ia menyukainya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat pengakuan kepada tunangan serta keluarganya dan pernikahannya pun dibatalkan.

Hubungan Roy dengan Sally makin memburuk hingga Sally memutuskan bahwa ia tidak dapat mmpertahankan rumah tangganya lagi. Harapan Sally terhadap Greg membumbung ketika si bos mengajaknya menonton opera berdua. Namun sebuah kenyataan mematahkan hal tersebut, ternyata Greg menjalin hubungan dengan teman Sally, seorang pelukis yang baru-baru ini bekerja sama dengan galeri seni milik Greg. Kesal, Sally memutuskan untuk membuka galeri seni miliknya sendiri dengan mengandalkan uang Helena yang pernah dijanjikan.

Sementara itu, Charmaine, ternyata membutuhkan partner sepadan dalam berhubungan seks dan gaya hidup. Ia kemudian berselingkuh dari Alfie. Kecewa, terjepit hutang, dan (mungkin) sadar, Alfie kembali mengubungi Helena dan mengatakan bahwa ia membutuhkan mantan istrinya tersebut untuk bersama lagi. Namun Helena menepisnya dengan mengatakan bahwa ia telah melanjutkan hidup dan itulah yang sebaiknya juga dilakukan oleh Alfie.

Sebuah kabar baik menghampiri Roy, naskah curiannya tersebut disetujui untuk diterbitkan. Namun kabar buruk segera mendatangi tak lama setelah bukunya terbit. Teman pokernya meralat pemberitaan bahwa yang meninggal justru bukan Stranggler saat kecelakaan kemarin, Stranggler dalam keadaan koma dan menunjukkan progress yang baik hingga hari ini. Segalanya jadi kacau, setidaknya bagi Roy atau Sally atau Alfie atau Dia. Helena? Ia akan baik-baik saja selama ia masih percaya bahwa ia mungkin saja reinkarnasi dari Joan of Arc dan tentu saja segelas Sherry.

Woody Allen sukses menceritakan problematika kehidupan dengan jenaka ditandai dengan latar belakang musik yang jenaka pula. Ia punya pesan-pesan yang kuat melalui dialog pemainnya, tetang bergantung, kejujuran, ego, rayuan gombal, hingga rasa sesal khas dari orang-orang yang melakukan kesalahan. Namun menurut saya, kelemahannya adalah setengah-setengah untuk menempatkan narrator untuk menjadi satu kesatuan cerita seperti Desprated Housewife atau Sex and The City.


Tapi film ini membuat saya tertawa, ah lebih banyak menertawakan kehidupan saya sendiri lebih tepatnya. Ya apalagi? Saya diselingkuhi lalu saya selingkuh juga. Ayah dan Ibu saya selingkuh (meski lebih banyak si Ayah). Hingga saya terpaku pada sesuatu yang mengetuk-ngetuk pikiran. Masih adakah kejujuran hingga hari ini? Ah, saya saja masih takut akan hal itu. Semoga suatu hari nanti saya bisa menjadi seorang manusia yang jujur.



Slipi, saat terbangun dari tidur siang dan menemukan semuanya jadi lebih sepi dari dua minggu terakhir, dan memutuskan untuk begadang.

Jumat, 08 April 2011

PECUNDANG KENTUT

Intrik.

Intrik itu ada di mana-mana, di sana, sini, di kamu, dia, saya, temanmu, temanku, sebuah hubungan, politik, pencarian kekuasaan ekonomi, pembangunan citra, di mana-mana.

Ah mengundang saya tidak penting, karena eksistensi dan esensi saya dipertanyakan, saya ini bisa apa untuk kepentingan-kepentingan yang kalian punya? Juga tidak penting mendengarkan pendapat saya karena yang tahu hidup saya akan bagus ya kalian bukan? Jadi percuma saya buka mulut ini dan berkobar bilang bahwa saya ini itu, ina ini, karena menurut kalian itu hanya sebuah pepesan kosong dan kalian bertindak sendiri. Menyuruh diri saya ini jujur, memaksa saya mengeluarkan kepastian karena sebuah kepentingan, memojokkan saya dengan banyak hal, saya telanjang sendirian sementara kalian tetap saja memakai baju. Berbisik dan berharap saya tidak mendengar rahasia-rahasia yang terjadi. Atau tidak mau saya tahu rahasia yang terjadi. SHIT! Saya rasanya sudah telanjang mandi TAHI pula.

Hidup kepentingan!

"Ah itu kan salahmu sendiri, siapa suruh kau melakukan itu dulu?"

Ya ya ya. It's my fucking fault. Yakin benar bilang bahwa bumi akan menanggung semuanya? Sementara saya ini adalah objek tanpa eksistensi dan esensi, sementara bumi, penuh eksistensi dan esensi, lebih mudah memindahkan semua beban kepada si tanpa eksistensi dan esensi karena jika ia hilang toh tak ada yang rugi, ah yang kemarin bilang rugi pun bohong.

Selamat datang pecundang kentut! Kalimat itu menggema besar-besar melalui pengeras suara ketika saya membuka pintu dan semua wajah mengarah kepada saya. Well yeah, that's me. Sehingga setiap saya berkenalan pada orang yang berada dalam lingkaran tersebut mereka seakan-akan sudah tahu dengan serta merta bilang dihadapan wajah saya,

"Oh ini yang namanya pecundang kentut..."
"Tahu darimana dan mengapa saya dibilang pecundang kentut?" tanya saya.

Lalu mereka akan memalingkan wajah dan itu berarti ada alasan yang tidak bisa dikatakan. Sebuah rahasia yang memuakkan. Yang yaaah...itu karena kesalahan-kesalahan yang kemarin saya lakukan. Ayolah BUNUH saja SAYA ini.

Kesalahan adalah tetap sebuah kesalahan, seberapapun besar usahamu untuk mencucinya, nodanya tidak akan pernah hilang.

Ya ya ya kalian tidak berbohong kok, hanya tidak mengatakan sesuatu saja, atas alasan yang tidak pernah saya mengerti dan apa yang terjadi sekarang lebih tak ku mengerti lagi. Dan tak pentinglah jika harus ku mnegerti esok hari, karena menundanya lebih penting daripada membaginya dan tidak begitu penting dibagi kepada pecundang kentut karena dia toh tidak penting. Cuma bau yang harus dienyahkan cepat-cepat.

Setuju?

Rabu, 09 Maret 2011

Selamat Jalan Kucing Hitam

"Kenapa kalian pukuli anjing itu?"


"Karena anjing kan najis, haram!"


Lalu anak-anak kecil ini kembali melempari anjing yang diikat di pohon pisang tersebut dengan batu.


Lihatlah, sebuah label, sebuah kata, memicu orang untuk membenarkan perlakuan terhadap sesuatu atau seseorang. Lempar saja batu pada orang yang dilabeli sesat, kotor, hina, murtad, bahwa membunuh yang sesat itu benar, menurunkan warisan untuk berpikir membenci dan berperang terus-terusan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


Oh lihatlah Ibu, apa yang anak-anak kecil itu lakukan. Apakah hal itu lebih baik dibanding saya menyayangi anjing? Lalu mengapa kau mengeluh tentang itu?


Anjing yang dilempari tersebut kini sudah besar dan tinggal dengan orang yang dulu menyelamatkannya dari lemparan keji mahluk-mahluk tak mengerti, anak-anak kecil yang sudah terdogma. Nanang memberi nama anjing tersebut Kimi. Ada lima ekor anjing liar lain yang diselamatkan satu per satu. Puri, Regi, Bobby, Tofu dan Merry. Mereka tinggal bersama dalam sebuah lahan luas, tempat kuda penarik delman dipelihara. Namun makin hari mata pencaharian mereka makin terdesak. Larangan delman di Monas dikeluarkan Muhayat (ketika itu Wali Kota Jakpus) melalui Surat Nomor 911/1.754 pada 15 Juni 2007 membuat sebagian besar keluarga kusir kehilangan penghasilan sehingga kuda yang dipelihara pun jadi kurus dan kelaparan.


Kini mereka beroperasi di sekitar komplek, mencoba mencari pelanggan sebagai transportasi alternatif sekaligus transportasi wisata, karena delman musti 'berdandan' sebelum jalan. Di sana kuda-kuda hidup bersama dengan anjing dan kucing yang masih sempat diselamatkan oleh orang-orang yang peduli atas semua makhluk.


Sebuah panggilan telepon mengantarkan saya ke sini, membawa seekor kucing hitam sakit dan kurus kering yang ditemukan malam hari sebelumnya. Kucing tersebut tidak bisa minum atau makan, tiap kali ia bergerak, ia gemetar.


Saya bertemu Sani pagi itu, ia menjemput saya dengan sepeda motor, kami pun bergegas agar cepat sampai karena hujan gerimis mendera. Ketika tiba di sana saya disambut oleh Dadang, seorang mahasiswa relawan yang berasal dari Yogyakarta. Ia kemudian terkejut melihat kucing yang saya bawa. Dari nada suaranya saya tahu bahwa ini darurat.


Ia menelepon seorang dokter kenalannya, namun sang dokter akan melangsungkan operasi siang ini, sehingga baru akan datang sore nanti. Kemudian dengan instruksi dari sms, sang dokter menyuruh Dadang menyuntik subcoitant sang kucing dengan cairan infus sebanyak 10 cc setiap dua jam sekali. Saya bilang bahwa saya telah berusaha memberinya susu semalam, namun ia tak bisa minum. Dadang bilang bahwa lebih baik memberinya pocari sweat dibanding susu, karena kucing ini kekurangan cairan akut.


3,5 jam sudah berlalu sejak saya datang. Sudah pukul sebelas, saya harus pamit karena ada janji bahwa saya harus datang ke pernikahan teman kemudian pulang ke cibinong. Sulit sekali jadi manusia, penuh janji yang harus ditepati.


Waktu terus berlalu semenjak saya pamit, pukul 3 sore dokter belum juga sampai. Dadang terus mengabarkan lewat sms bahwa kucing masih lemas. Saya berharap kucing bisa hidup, karena ia kucing kuat yang patut diberi kesempatan hidup. Semalam setelah diberi susu dan diletakkan dalam kardus, ia tidak tidur, matanya membelalak semalaman. Ah entah sudah berapa malam ia begitu.

Satu jam kemudian Dadang mengatakan bahwa dokter Dhani telah tiba, saya lega, terbit harapan bahwa kucing bisa di infus lalu badannya yang kurus perlahan mengisi. Lalu ia akan jadi sehat, kuat, mata hijaunya akan makin cemerlang, tidak redup seperti hari ini ataupun tadi malam.

Pukul lima sore. Saya sedang dalam perjalanan menuju depok menemui adik sehingga nanti dapat pulang bersama ke Cibinong. Memperhatikan adik bagi saya lebih penting, meski baginya mungkin perhatian ini bukan sesuatu yang penting. Hanya titik-titik lemah yang mencoba menjadi jelas saja. Sebuah sms kemudian masuk ke handphone Nokia saya yang berwarna abu-abu.

"Mbak, kucingnya baru saja meninggal...", itu ujar Dadang melalui sms.

Pernah merasakan mengendarai mobil lalu berjalan menurun dengan menukik? Kemudian kamu merasa dadamu berdesir entah geli atau entah apa rasa itu yang tidak bisa dinamakan. Seperti itulah perasaan saya ketika menerima satu baris sms yang terlihat di layar. Namun saya semestinya belajar bahwa harapan itu jauh dari kehidupan yang ditumpangi. Semua yang bagi saya mimpi akan tetap menjadi mimpi. Dan semua yang nyata berjalan menjauh. Dan harapan tak ada dikeduanya.


Sambil menghela nafas saya membalas sms orang-orang yang telah banyak membantu saya sedari tadi pagi hingga sore ini. Mengucapkan terima kasih kepada mereka dan tetap berjanji untuk datang esok hari.


Itu adalah sepenggal cerita kemarin, kini, saya berdiri di depan kuburan kucing yang kemarin saya temukan. Letaknya dekat kandang kuda. Saya tidak menangis. Ada lega di dada semacam kepasrahan dan sebuah suara menghembuskan kata bahwa 'hal ini lebih baik ketimbang si kucing lebih lama lagi menderita'. Kalimat yang diucapkan persis sama ketika Ayah saya akhirnya meninggal dunia.


Kemudian Bobby, Puri, Regi (yang masih waspada terhadap saya), dan Kimi yang manjanya minta ampun. Anjing-anjing ini bermain, kadang menjilati wajah para penghuni yang sedang giat bekerja membuat bangku dari kayu bekas. Lalu mereka kegelian lalu tertawa, lalu anjing-anjing ini tertidur bersama-sama, mengendus dan bermain dengan kucing yang skala tubuh mereka 1:10.

Oleh-oleh yang saya bawa hari ini, hanya perban, kapas dan rivanol. Karena kemarin saya lihat seorang kusir terjatuh dari kuda, ibu jari kakinya berdarah. Bagaimana pun manusia butuh diperhatikan pula selain hewan. Karena membantu membuat saya senang, bukan karena saya senang kucing, anjing dan lainnya. Saya senang semuanya dapat selamat.

Adakah kau mengerti dengan pernyataan saya ini?


Slipi, 6 maret 2011

Senin, 07 Maret 2011

Montase

montase mon.ta.se

[n] (1) komposisi gambar yg dihasilkan dr pencampuran unsur beberapa sumber; (2) karya sastra, musik, atau seni yg terjadi dr bermacam-macam unsur; (3) gambar berurutan yg dihasilkan dl film untuk melukiskan gagasan yg berkaitan; (4) pemilihan dan pengaturan pemandangan untuk pembuatan film


Saya pernah mengerjakan sebuah tugas kuliah montase, di sana saya menempel foto diri saya dengan latar belakang mobil-mobil yang macet dan asap-asap yang mengepul. Untuk tugas itu dosen memberi saya nilai B, well anyway saya memang tidak pandai menghitung hingga komposisi menjadi pas.


Yang menarik adalah begitulah montase, menempel, menyatukan materi-materi asing hingga jadi satu kesatuan namun tanpa pernah sebelumnya berkaitan. Bagi saya montase tidak berhenti pada halaman majalah seni rupa, majalah fashion, majalah remaja, sampul buku hingga montase menghampiri perjalanan hidup.


Montase kehidupan.


Stiker. Saya ini stiker jika harus di analogikan sebagai benda mati. Kamu tahu fungsi stiker? Yah menempel, tambahan, mirip cara kerja si montase.
Saya mengenal banyak orang, namun tidak pernah terlibat secara benar-benar di sana, karena yah saya cuma montase, stiker yang ditempel untuk sekedar ‘nyempil’, di depan sebuah foto. Selepas kuliah, kehidupan mulai berbeda. Saya yang biasanya hidup tenang dalam gua sendirian dengan keegoisan dan merasa selalu benar, merasa terancam dengan kenyataan-kenyataan yang terus datang dan mereka mengatakan pada saya bahwa semua yang saya lakukan hanyalah mimpi.


Menyebalkan. Mereka memaksa saya untuk keluar, padahal di luar saya tahu, atas kemampuan saya yang minim dalam bersosialisasi, bisa saja saya digiring ke tiang gantungan di dekat jurang yang menganga tinggi. Di mana sebuah pohon kekar berdiri, lalu melingkar sebuah tali tebal di salah satu dahannya. Tali itu menjuntai pada posisi tertentu dan siap menahan lehermu di ketinggian tertentu. Tali akan menggantung orang yang tidak baik hati, saya pun termasuklah dalam kategorinya. Saya selingkuh, saya berbohong, saya pelit, saya perhitungan, saya gampang marah, saya menghina dan menghakimi orang lain, saya jelek (dosa ya kalo jelek hahaha), saya sombong dan berbagai macam sifat buruk lainnya.


Begitulah kehidupan montase, saya menempel pada sebuah foto lalu nanti pada waktu lemnya habis, saya akan jatuh terbawa angin yang kencang. Fotonya? Ya tetap saja begitu, tetap sama ada atau tidak adanya saya.


Apakah hidup itu harus jadi bermakna untuk orang lain, atau kebanyakan orang lain bermakna untuk diri sendiri? Atau hidup yang saya lakukan terlalu banyak kesalahan dan eror di waktu dan kesempatan yang selalu salah sehingga waktu yang bergerak jadi percuma, nafas yang terhela cuma satu bakal dari polusi, langkah yang membawa cuma sekedar bunyi yang menganggu, lalu suara yang terucap cuma nada sumbang. Cita-cita yang di punya ya hanya mimpi. Pikiran yang di punya ya tidak teraba dan terdengar. Karena saya ini terlampau transparan sampai-sampai jika tertabrak mobil dan terkapar di jalanan, orang tiada melihat. Dan saya akan mati kehabisan darah tanpa perlu merepotkan orang-orang untuk pilu atau sedih.


Ah senangnya hidup dan mati tanpa merepotkan.


Begitulah montase, tiada orang akan kehilangan, karena memang terbiasa dengan lem yang habis yang mengelupas dengan alami dan terpisah karena memang tidak ada satu pun yang menghalangimu untuk menghilang. Tidak ada tali-tali ajaib yang menahan hati dan badanmu untuk tetap berada ditempatnya, mengikatnya kuat-kuat dengan rasa, dengan ajaib sehingga kamu akhirnya jadi bagian dari foto, tidak, tidak begitu. Itu hanya mimpi. Itu dongeng.


Montase kehidupan.


Enaknya hidup di dunia nyata. Tak perlu susah-susah belajar sihir seperti Hermione dan pada tingkat tertentu berujar “Obliviate” agar dirinya menjadi Montase. Menghilang itu sangat mudah di dunia nyata, ah mudah bagi saya mungkin.
Mungkin ketika nanti tiba saatnya, entah kematian atau apapun itu. Saya akan berujar. Obliviate. Kemudian lem tiada menempel lagi dan figur itu akan terbang bebas ke bawah dan terinjak-injak banyak orang hingga rusak. Selamat tinggal nyata…


Hehehe...

Kamis, 17 Februari 2011

Kematian

Pagi ini, kamis, 17 Februari 2011. Hari pertama saya bisa tidur dengan memadamkan lampu. Ketakutan telah lenyap, saya sudah memakannya, bukan ia memakan saya. Kuat, saya kuat. Saya terbangun karena sebuah mimpi...selain karena pengeras suara dari sebuah sekolah dasar mulai bergema, si guru sibuk mencaci murid-muridnya karena tidak dapat melakukan baris berbaris dengan rapih. Mencaci sebesar suaranya menggema melalui pengeras suara yang ringsek.


Ah Mimpi...Mimpi yang unik, mungkin menyeramkan bagi sebagian orang. Mimpi bagi saya bukan sekedar bunga tidur, ada campur tangan bawah sadar di dalamnya yang kemungkinan berwujud simbol-simbol yang dapat dianalisa, sepertinya begitu yang dibilang oleh Sigmund Freud. Saya mempercayainya.


Saya mimpi bahwa sedikit lagi saya mati.


Itu yang mimpi saya katakan. Saya didiagnosa cuma punya beberapa jam lagi untuk hidup. Kulit saya keriput, tulang terlihat jelas, hmm...tampaknya saya anorexia deh. Ketika keluar dari ruang dokter, dia bilang bahwa saya tidak akan bertahan, bahkan untuk satu hari ini, karena cairan hidup sudah berkurang hingga nyaris nol. Nah kalau sampai nol, saya sudah tamat. Mati.

Kalau begitu apa yang harus saya lakukan? Dipapah Ibu dan adik, saya naik taksi berkeliling untuk mengunjungi teman saya satu per satu. Sepertinya saya bermaksud mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Diantara waktu yang kian menipis, saya perlu bertemu satu orang lagi. Yap, itu kamu. Namun jalanan yang macet membuat saya putus asa. Cairan hidup tinggal sedikit lagi, membuat saya terduduk lemas dan pasrah. Kemudian semua jadi gelap.


"Itu Zubaedah! Ngapain kamu planga-plongo di situ kayak orang bego?? Ini pada gak bisa baris ya? GESEEEEER KANAAAAN!!"


Cahaya mulai meliputi pelupuk mata, dari suara yang berisik itu, saya tahu bahwa saya masih hidup, dan bahwa sekelumit cerita tadi hanya mimpi. Saya terlentang memandang langit-langit mengumpulkan cerita mimpi karena takut hal itu hilang. But it stick in my mind, never fly away...


"Hai pagi, ak mimpi...dsana ak didiagnosa akan meninggal, ak mw ktmu km skali lg, tp ga ktmu-ktmu...", saya kirim sms itu sebelum saya lupa. Belum kamu balas, mungkin kamu masih tidur.

Namun kamu akhirnya balas, "Ih,kmu ko serem amat c mimpiny...kamu ni..."


Bagi saya kematian adalah sesuatu yang pasti. Ia tidak tabu untuk dibicarakan. Orang seringkali berkomentar, "Ih lu ngomongnya" ketika kita berbincang atau berandai-andai, jika kita mati...

Maka, ini cita-cita saya sejak dulu, sejak berpikir bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti.
Jika saya mati, saya mau sumbangkan mata saya untuk digunakan oleh orang lain. Supaya apa yang ada ditubuh ini tidak mubazir membusuk begitu saja. Kalau ginjal bisa diambil ambillah, jika jantung bisa diambil ambillah, jika hati dan pankreas bisa diambil ambillah. You can use me, use me as you like...

Senin, 31 Januari 2011

Upacara Bendera

"Tes tes satu dua tiga...tes satu..."


Suara dari pengeras suara terdengar sayup-sayup. Kualitas pengeras suaranya sungguh buruk karena jika orang tersebut bicara dengan cepat kalimatnya tidak dapat didengar dengan baik. Kini matanya sudah terbuka dengan baik, namun ia memutuskan untuk tetap berbaring sambil mendengarkan suara yang sempat menganggu tidurnya tadi.


Sudah sebulan ia menyewa kamar di sini. Sebuah tempat kos yang dapat dicapai melalui gang kecil yang hanya dapat dilalui satu motor. Jika malam gang tersebut sedikit menyeramkan karena kadang lampu di jalan sempit tersebut tidak dinyalakan. Padahal, kiri-kanannya terhampar luas lahan tidak terpakai yang isunya akan segera dibangun gedung pencakar langit lainnya.Hanya ada tiga rumah, termasuk rumah kosnya, dalam radius lima ratus meter dan sebuah rumah kosong yang atapnya sudah melapuk dan runtuh dimakan usia serta cuaca.


Tak jauh dari sana ada dua buah sekolah dasar yang digabung. Tiap hari senin dan kamis tidurnya selalu terganggu akibat bunyi gemeresak pengeras suara yang semena-mena seakan-akan sengaja mengarah ke kamarnya yang berada di tengah-tengah, diantara dua kamar lainnya, di lantai dua, dua kamar lainnya kosong kalau kamu mau tahu. Kos ini lama tak ada peminat hingga dirinya datang.


Ibu dan bapak kosnya sudah tua, mereka pasangan Tionghoa dengan logat pasundan yang kental. Bapak kos punya tato di lengan kanan dan kirinya, tidak banyak, tidak menyeramkan kok. Sementara ibu kos suka menjahit di kamar bawah dan terlihat terampil dalam memeliihara tanaman. Buktinya, tangga menuju kamar kos dihiasi pot-pot berisi aglonema cilik dengan bunga berwarna shocking pink yang menyegarkan. Kala hujan turun ia suka menggoda bunga-bunga tersebut dengan bilang bahwa mereka pasti senang karena bulir-bulir air sudah datang.


"Kelas satu sampai enam, SD 09 dan 07, beserta paduan suara, lencang depan grak! Hayooo yang masih menyentuh bahu temannya beri jarak, mundur-mundur...Lepaaaaas grak!", suara kembali terdengar dari pengeras suara.


Ia tersenyum sambil berbaring, apakah ia yang kelewat tidak updated dengan lingkungan sekitar atau memang berbeda saja, setahunya tidak ada lepaaaaas grak! Yang ada tegaaaak grak! Namun jika ini yang dinamakan keberagaman, ia akan merayakannya dengan sukacita.


Saat itu kira-kira sudah pukul tujuh, upacara bendera sudah dimulai dengan aba-aba dari petugas upacara. Ketika bendera merah putih sudah dikibarkan, ia kira ia akan mendengar suara anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya, namun tiba-tiba suara paduan suara dari kaset rekaman terdengar lantang. Lho? jadi buat apa ada paduan suara? Dahinya berkerut-kerut ketika ia masih berbaring. Seremoni masih berlangsung hingga tiba saatnya pembina upacara naik ke atas podium untuk berceramah. Minggu lalu seingatnya perempuan yang berkhotbah, hari ini? Ternyata masih orang yang sama, ia dapat mengenali suaranya.


"Anak-anakku yang ibu sayangi, ibu senang sekali hari senin ini upacara sudah berlangsung lebih hikmat dari minggu lalu. Upacara bendera itu bukan hanya berdiri saja, tapi melatih kedisiplinan. Pakaian harus lengkap, yang tidak lengkap barisannya dipisah . Pemimpin upacaranya sudah lumayan dibanding minggu lalu. Protokol upacaranya tapi masih kurang, jangan asal tampil, sebelum tampil butuh latihan. Selebihnya sudah bagus. Tepuk tangaaan duluuuu.", lalu suara tepuk tangan terdengar riuh susul menyusul.


"Kemudian, ibu minta kepada SD 09 tolong, tempat sampah di luar kelas jika sudah penuh pindahkan ke tempat sampah yang lebih besar, jangan biasakan buang sampah di kolong meja. Nah, masalah mengerjakan tugas, tolong jika punya PR jangan dikerjakan pagi-paginya di sekolah, kerjakan pada malam harinya. Bilang sama orang tua, bahwa saya punya PR yang harus dikerjakan. Janji anak-anak??", lalu suara anak-anak serentak bilang 'Janjiiiii"


Loh kenapa musti berjanji?


"Kurang keras suaranya!", lalu suara anak-anak terdengar jauh lebih keras. "Ingat, janji adalah hutang. Hutang harus dibayar, mengerti anak-anak??"


Loh loh ini malah terdengar mirip ancaman.


Setelah itu khotbah selesai. Upacara kemudian dilanjutkan hingga selesai. Ia kini terduduk di atas tempat tidurnya. Merenungi apa saja yang sudah ia dengarkan. Apakah benar upacara bendera adalah gerbang menuju kedisiplinan? Kedisiplinan memakai seragam lengkap dengan aksesorisnya, biasanya harus disertai dasi dan topi serta sepatu hitam. Lalu bagaimana siswa yang topinya hilang dan ia hanya punya satu topi? Sedangkan ia tidak mampu untuk membeli topi lagi. Lalu bagaimana jika si murid hanya punya satu sepatu berwarna hitam dan karena kemarin hujan, sepatunya belum kering, bolehkah ia upacara dengan bertelanjang kaki? Akankah ia dihukum karena melakukan itu? Lalu kedisiplinan macam apa itu?


Lalu untuk apa ada paduan suara jika masih memutar kaset Indonesia Raya? Apakah anak-anak jaman sekarang tidak ada yang hapal lagunya? Atau mereka hapal namun karena mungkin fals jadi lebih baik pakai kaset saja? Aaah banyak yang bikin dahinya berkerut-kerut pagi ini.


Lalu kenapa dia malah tidur lagi? Bukannya segera bangun, mandi dan siap-siap berangkat kerja? Ia masih ingin memimpikan minggu yang berjalan terlalu singkat. Ia ingin meredam kekhawatirannya akan apapun yang dapat menyerangnya saat ini. Ia ingin istirahat sejenak sebelum kembali melihat kegilaan Jakarta. Motor dan mobil yang semena-mena, kadang ia lepas kendali dan memukul pengemudi yang tidak tahu malu. Naiknya harga makan siang dalam sehari yang dilakukan penjual makanan eceran untuk para pekerja kerah biru. Kedinginan dan kekurangan cairan. Memikirkan mengapa Katolik harus menikah dengan Katolik, Islam dengan Islam, Ahmadiyah dengan Ahmadiyah? Ia akan kembali pada kegilaan itu dalam satu jam lagi, kini biarkan ia tertidur sebentar yah...

Rabu, 12 Januari 2011

Bioskop Itu Sudah Hancur, Ayah...

Hari itu masih cukup pagi, sekitar pukul sebelas. Lalu lintas bersahabat jika matahari sudah agak tinggi, jalanan di Jakarta tidak penuh mobil seperti layaknya pagi hari orang-orang sub-urban berjuang dengan yang lainnya untuk mencapai daerah urban. Bulan itu di tahun 2010 saya masih tinggal di daerah sub-urban yang cukup padat lalu lintasnya yaitu Buaran, Jakarta Timur. Saya menyewa sebuah kamar di mana suhu dapat naik menjadi 27 derajat Celsius, sangat panas. Pelajaran cukup ampuh bagi orang-orang yang malas mandi macam saya, karena gerahnya bukan main.

Saya ijin dari kerja hari itu, untuk datang ke sebuah interview di daerah Kemang. Cukup jauh dari sini, namun ongkosnya tidak mahal. Delapan ribu saja bolak-balik, dengan catatan tidak kemalaman. Kopaja saja tidak perlu taksi, saya benci pendingin. Taksi cuma cocok untuk pindahan dan menuju Bandara jika dapat tiket gratis (bagi saya).

Seragam saya hari ini adalah kemeja beserta rok dan sandal abu-abu semata kaki. Ada ikat pinggang agar rok tetap pada tempatnya, karena saya sangat kurus. Setelah naik kopaja nomer 52 hingga sampai di stasiun tebet, perjalanan dapat dilanjutkan menuju Kemang dengan kopaja nomer 612. Perjalanan alot pun di mulai…

Bis tidak terlalu penuh, karena itu si supir berjalan sedikit demi sedikit mencari penumpang, istilah teman saya ‘seubin-ubin’. Walau tersendat, kendaraan ini tetap jalan. Satu penumpang naik sebelum bis mencapai Balai Sudirman. Arah sebaliknya, kendaraan sama lapangnya untuk menjelajah aspal, hei andai saja Jakarta begini setiap hari, mungkin tingkat stress dapat dikurangi diantara warganya, sehingga tidak ada lagi supir tidak sabaran yang menggerutu ketika seorang nenek mencoba turun dengan hati-hati. Mau tonjok mulutnya jika dia bilang,

“Adooooh cepet Buuuu!!”

Tapi tentu saja, saya kan terlalu pengecut untuk melakukan itu, kewarasan membatasi semuanya. Haaaahhh andai saja saya ini nekat.

Kopaja berwarna hijau ini meneruskan perjalanan. Ada lagi satu penumpang naik, ini daerah mana saya lupa, entah masuk kecamatan Tebet atau Manggarai. Seperti biasa, di dekat jendela yang terbuka, angin menerpa wajah ketika bis berjalan. Hal ini cukup menghibur meski sepi, sms juga jarang ada yang masuk, karena kebanyakan kaum muda sekarang menggunakan BBM atau YM untuk berkomunikasi, layanan ini gratis selama kamu terkoneksi dengan internet. Sulitnya mempertahankan diri dalam ritme social hari ini.

Tiba-tiba saya dikejutkan dengan suatu pemandangan yang memilukan. Mungkin bagimu ini biasa saja, ini hanya sebuah bangunan hancur yang biasa kamu lihat di Jakarta – banyak bangunan hancur entah pemiliknya bangkrut atau memang tidak terpakai. Saya mengenali dia sebagai tempat dulu dimana kami sekeluarga pernah pergi nonton bersama. Ketika saya kecil, pergi menonton ke bioskop adalah hal yang langka, karena film yang diputar juga kebanyakan untuk remaja dan dewasa.

Kepala ini bagai diketuk palu, lalu bangunlah memori yang tadinya tertidur lelap diantara lipatan neuron, tidur dalam damai namun tidak terlupakan. Macam orang disiram air dia, bangun tergagap-gagap, terkejut dan kesulitan bernafas selama beberapa detik lamanya. Dan mulailah ia bercerita, berputar seperti film menerpa layar putih.

Bangunan bioskop kembali utuh seperti semula, dinding luarnya sengaja tidak dicat memamerkan bata-bata merah yang membuat bangunan menjadi mudah dikenali. Pelataran parkir saat itu nyaris penuh dengan mobil-mobil tahun 1990-an dan di sebelah kiri berdiri tiang yang kemudian dipasang poster kain untuk memamerkan cover film yang diputar, biasanya dalam bentuk lukisan, bukan foto. Kami datang berlima. Ayah, Ibu, Kakak, Diriku dan Adik. Film yang di putar adalah Power Rangers. Belum ada teknologi VCD apalagi DVD pada masa itu, kalaupun ada, Laser Disc, namun alatnya masih sangat mahal.

Mengantri tiket butuh waktu yang cukup lama. Mungkin kamu yang hidup pada tahun 1990-an pun mengalami kejadian ini, mungkin saja kita pernah bertemu namun saat itu memang tidak saling kenal. Mungkin saja, karena dunia itu sempit.
Saya masih ingat perasaan saya malam itu. Senangnya bukan main. Rasanya mau lompat-lompat, namun pasti Ayah akan memarahi . Jadi saya tersenyum lebar-lebar untuk mengeskpresikannya. Saat itu usia saya kira-kira sembilan atau sepuluh tahun, sekitar segitu. Rambut keriting panjang. Badan kurus tinggi, sehingga orang-orang akan mengira saya berusia dua belas tahun.

Generasi tahun 1990-an dibesarkan dengan film superhero, kebanyakan berasal dari adapatasi kartun dan tokusatsu Jepang sebut saja Google Five, Ultraman, Power Rangers, Satria Baja Hitam, atau Sailor Moon. Tidak heran jika saya tumbuh menyukai film-film superhero hingga kini seperti Fantastic Four, X-Men, Hulk, Spider-Man, Batman, ah sebut saja yang lain, bahkan cerita bergambar Deni Manusia Ikan yang mengadaptasi jagoan-monster SWAMP pun secara berkala saya baca melalui majalah Bobo.

Ayah menawarkan Pop-Corn, kami menunggu dengan antusias ketika jagung goreng itu disajikan dalam kotak karton. Punya saya berhiaskan sirup hijau, rasanya manis dan ada rasa pahit diakhirannya. Adik memilih yang berwarna merah muda –warna favoritnya dulu, saya lupa kakak tiri saya pilih warna apa, namun apapun itu pasti dia habiskan karena dia suka makanan manis.

Sementara Ibu sibuk menyuruh kami berbaris menuju kamar mandi sebelum film mulai, agar tidak ada yang merengek meminta ke kamar mandi ketika film sedang mulai. Keluar dari kamar mandi saya bersemangat sekali, hingga rasanya nyaris ingin berlari masuk ke bioskop. Kami mencari tempat duduk, sulit untuk menjadi anak kecil dan disuruh tidak berisik ketika sedang sangat bersemangat. Ibu tersenyum sedikit dan duduk disamping anak-anaknya, para orang tua ini setia menemani kami agar ketika adegan berciuman tampil di layar mereka dengan sigap bilang,

“Ayoo, tutup mataaaaa…”

Namun biasanya saya mengintip. Nakalnya.

Film akhirnya usai, durasinya kurang lebih satu jam, akhirnya Power Rangers dapat menyelamatkan manusia dari ancaman monster-monster yang menyerang. Saya ingat masih tersenyum ketika meninggalkan bioskop, kami keluar dari gedung itu, lalu masuk ke dalam mobil kijang dan pulang…

Ah, saya terbangun dari kenangan. Gedung kembali rusak, lagi-lagi saya kutuki kewarasan yang mencekik kenekatan. Kenapa tak turun saja saya sebentar lalu lihat-lihat sambil pegang batanya yang telah hancur, kenapa tidak foto saya bersama gedung bioskop itu, kenapa sih saya terlalu banyak berpikir untuk melakukan sesuatu yang bagi saya berharga?

Dan sepanjang sore hingga malam, saya mengutuki diri ini…

*bioskop ini kenangan masa kecil dengan ayah saya yang kini sudah meninggal, jika dia masih hidup mungkin akan bilang begini “mari kita nonton film di bioskop dekat tebet…” lalu saya akan menghancurkan hatinya dengan bilang “bioskop itu sudah hancur, ayah…"

Jumat, 07 Januari 2011

Penjual hewan kurban yang berkorban

Udara terasa lembab siang itu di Jakarta Timur, matahari terik namun bisa saja tiba-tiba mendung. Biasanya jika langit nampak tidak konsisten seperti ini, hujan mungkin akan turun sore atau malam nanti. Di sebelah kiri jalan raya Radin Inten, ada lahan kosong, tadinya lahan-lahan ini terlantar begitu saja namun penampilannya bisa berbeda ketika menyambut hari Idul Adha yang akan tiba. Kini di sana dibangun pancang-pancang dari bambu, hingga menyerupai kandang dengan ditutupi terpal sebagai atap. Kandang tersebut dipenuhi sapi dan kambing yang diikat erat.

Bapak Sukiyo, biasa dipanggil bos oleh anak buahnya, muncul dari tenda yang berada di belakang hewan-hewan tersebut. Ia menghampiri anak bersama dua cucu perempuannya yang sedang duduk di bale -tempat duduk-duduk yang biasanya terbuat dari bambu- depan. Mereka sedang menikmati es krim yang dibeli dari restoran siap saji terdekat, Mc Donald. Jaraknya hanya dua puluh langkah, dekat sekali.

Bapak Sukiyo masih terlihat tegap di usianya yang mencapai 52 tahun, walau sudah tumbuh cukup banyak uban diantara rambut hitamnya, meski warna matanya sudah memudar, agak sulit menjelaskan warnanya namun bisa dibilang mirip abu-abu pekat dibagian pupilnya. Ia sudah punya tiga orang anak ,dua di antaranya sudah berkeluarga, dan tiga orang cucu, dua di antaranyasedang menjenguknya di sini, dipinggir jalan raya Radin Inten. Sehari-hari, ia punya sebuah kios yang menjual mainan anak-anak. Letaknya di seberang pasar Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Mainan-mainan tersebut merupakan produksi cina yang dibelinya dari Solo.

Ia datang dari Wonogiri dan menyambangi Jakarta Timur setahun sekali, menjual hewan ternak untuk kurban. Usaha ini sudah ia mulai sejak tahun 1990 di Kreo, Ciledug, Tangerang. Namun karena lahan yang makin menipis dan pengusaha yang makin marak, ia pun pindah. Akhirnya sapi dan kambing dibawanya kesini mulai tahun 2000 hingga sekarang. Ini usaha rame-rame. Dia dan empat belas orang temannya datang dengan menyewa truk puso, beserta sapi dan kambing. Mereka biasanya menetap sebelas hari untuk berjualan. Mereka mendirikan tenda dekat ternak untuk tidur, sementara mandi dan memasak dilakukan di sebuah rumah kontrakan yang disewa tidak jauh dari sana.
Sapi dan kambing yang dijual, dibeli di pasar Bulukerto di Wonogiri. Tiap tahun mereka selalu menyediakan 50 kambing dan 40 sapi yang memang sudah dipesan dari kenalan di Jakarta. Harga yang dibandrol bisa berbeda-beda, tergantung dari fisik si hewan.

“Misalnya lah yang dibelakang itu, tanduknya patah, biasanya kita jual dengan harga murah buat tukang sate,” ujarnya sambil menunjuk ke arah kambing yang dimaksud, anehnya, si kambing macam sadar diri, tadinya ia sedang mengusir-usir lalat dengan moncongnya, setelah ditunjuk ia berhenti dan melihat ke arah Pak Sukiyo.

“Tapi ya bedanya itu aja, kalau sakit ya ndak lolos, kan diperiksa. Pertama di dinas peternakan daerah, kemudian di Losari Jawa Barat, lalu ya sampe di sini diperiksa lagi,”

Harga sapi dimulai dari angka Rp9,5 juta- Rp12 juta per ekor. Sedangkan kambing berkisar Rp1,2 juta-1,7 juta per ekornya. Ketika ditanya masalah keuntungan, senyum malu-malunya merekah.

“Ya untung itu relatif yo mbak,”

Tak lama, tiga orang petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Timur datang. Dua petugas mengenakan baju dinas warna cokelat sementara yang satu lagi berseragam Satpol PP berwarna biru gelap. Hanya seorang yang membawa map untuk mendata ,sementara yang lain menunggu di pinggir jalan. Bapak Sukiyo menunjukkan surat dari Dinas Peternakan dan Perikanan yang sudah ditanda tangani 8 November 2010 lalu dan kini dipajang di bagian depan kandang dekat bale-bale tempat ia duduk tadi. Hewan yang dibawa berjumlah 94 ekor, 43 sapi dan 51 lainnya kambing, mereka semua dinyatakan sehat.

Setelah petugas tersebut melanjutkan untuk mendata usaha hewan kurban di tempat lain, empat orang laki-laki, berada di usia kira-kira empat puluh tahun, datang dengan dua motor. Mereka calon pembeli.

“Kambing sudah habis, sapi tinggal satu lagi pak,” ujar Pak Sukiyo menyambut mereka.

Di badan hewan-hewan ini macam buku yang baru dibeli saja, ditulisi nama si pembeli. Agar kelihatan, biasanya mereka menggunakan cat merah dan menamai badan si kambing dan sapi. Khalil. Jayadi. Zein. Toha. Taufik. Nama-nama tersebut terpampang jelas.
Para sapi dan kambing terlihat lesu, mungkin karena sudah dua kali mereka terpapar hujan dan terik bergantian selama sepekan. Bau kotoran hewan menguar. Jika hari ini hujan, berarti tiga hari sudah mereka terpapar hujan lagi. Hewan-hewan ini bisa terjangkiti berbagai penyakit; scabies atau kudis, pneumonia dan cacingan adalah hal yang lazim menyerang di cuaca penghujan. Gejala cacingan berupa bulu pada sapi berdiri, kulit kusam dan dubur kotor.

Sapi-sapi terikat dan sedikit berkubang di lumpur sementara kambing agak kesulitan untuk berbaring akibat ikatannya terlalu pendek. Tak jarang mereka menekuk kaki depan hanya untuk beristirahat sambil terus mengunyah rumput.
Pada sapi, tali pengekang dipasang menembus antara lubang hidung lalu disimpul hingga bisa mengekang kepala si sapi. Ah, melihatnya nampak memilukan, berulang kali si sapi menjilati lubang hidung dengan lidahnya yang besar setelah ditarik-tarik untuk dipamerkan pada pembeli . Kasihan sekali, padahal mereka mau dipotong, namun harus mengalami penderitaan yang demikian panjang.

Sebuah truk penuh sapi lalu datang, ternyata si pembeli pesan tiga. Ada tiga sapi di truk tersebut. Setelah dipilih dan menawar, si calon pembeli akhirnya memilih tiga sapi yang ada di truk tersebut. Kemudian si sapi dimandikan. Sementara yang satu, yang dari tadi belum laku, yang dari hidungnya selalu keluar lendir karena mungkin teriritasi tali tambang, selalu melenguh, terlihat gelisah.

Seorang pegawai memperhatikan si sapi yang melenguh terus, rupanya luka gores sepanjang tiga senti dibagian paha atas sapi kini selalu diganggu lalat. Ia kemudian mencari batang yang cukup kokoh, dicuil ke dalam lumpur yang sudah bercampur kotoran kemudian disapukan pada luka tersebut. Berhasil, si sapi menjadi lebih tenang.

“Resep orang desa mbak,” ujarnya.

Pak Sukiyo tinggal empat hari lagi tinggal di tendanya yang sempit, bersama empat belas orang lainnya. Atau mungkin lebih cepat jika si sapi yang tersisa sudah terjual esok hari. Langit kini berawan, arak-arak awan gelap mulai mendekat. Hujan pasti segera datang tak lama lagi.

Dalam hati saya berdoa agar sapi laku besok, kemudian yang akan memotong hewan tahu, bahwa 10 jam sebelum dipotong mereka harus terhindar dari stress, malah kalau bisa diperdengarkan musik jazz atau blues seperti yang dikatakan Eko Hendri, Dokter hewan dari Suku Dinas Peternakan dan Perikanan, Jakarta Selatan di kompas.com. Ketika hewan yang akan dipotong stress, pH akan meninggi, warna daging akan menjadi lebih gelap dan lebih mudah membusuk.

Ah, hujan!