Rabu, 02 Juni 2010

Si Silver

Informasinya kurang lengkap ketika saya memutuskan untuk berderu dengan kereta ekonomi menuju tempat Achan yang saya kenal 5 tahun lalu, seorang keturunan tionghoa yang punya cukup modal hingga punya toko elektronik di mangga dua. Saat itu saya masih kuliah dengan pekerjaan sampingan sebagai guru privat dan penulis teenlit. Pertemuan saya dengan Achan bukan tidak sengaja, karena saat itu saya dan Nita sama-sama ingin membeli sebuah MP3 player murah. Cuma toko Achan yang menawarkan harga paling murah.


Ketika akhirnya benda itu terbeli, saya yang patungan dengan adik berbagi hari untuk menggunakannya. Apa yang memotivasi saya untuk membeli benda tersebut? Selain untuk mendengarkan musik, saya menggunakan si silver (begitu saya menamainya) untuk menyimpan data elektronik. Waktu berlalu setahun, si silver terus menemani saya melewati jalan-jalan Jakarta yang macet walau kadang mati karena batu baterainya tidak dapat bertahan mengalahkan waktu macet di jalan.


Lalu hari ini, saya berdiri lagi di depan pusat perbelanjaan elektronik yang benar-benar besar itu. Si silver sudah empat tahun yang lalu saya hibahkan kepada adik saya. Agar dia senang, agar kami tidak lagi rebutan. Namun sekarang si silver tergeletak tak berdaya dalam genggaman saya. Kacanya retak mungkin karena mendarat pada sesuatu yang keras, terjatuh pasti. Cat silvernya sudah mengelupas disana-sini. Sudah usang memang, sudah jelek menurut orang. Tapi dia tetap bagus buat saya.


Saya nyaris lupa dengan si silver sebelum menemukannya tergolek pada meja belajar adik saya di Cibinong. Kenangan mulai kembali merasuki otak yang mulai beku. Lalu saya angkat si silver dari situ, berharap mudah-mudahan dia dapat hidup lagi dengan sedikit perbaikan.


Berdiri di depan toko yang tertutup rapat, ternyata pertokoan ini sudah tutup sejak jam 6 sore, sementara saya baru sampai di sana pukul setengah delapan malam. Kehilangan arah, masih menggenggam si silver, saya menuju stasiun kota. Tadinya berniat untuk pulang, namun entah mengapa kaki ini memutuskan untuk melangkah menuju fatahilah. Batin saya fatahilah pasti sepi, namun ternyata saya salah. Disana ramai sekali macam pasar malam. Banyak muda mudi berduaan, banyak penjual kaki lima mengais rejeki malam ini, tukang tato, tukang makanan, minuman serta ojek sepeda yang masih nangkring.


Kecewa karena gagal menemukan tempat untuk menyendiri, kaki melangkah lagi menjauhi fatahilah dan menuju stasiun kereta. Malam terasa dingin untuk badan setipis ini. Bunyi sms berkali-kali datang, mengingatkan saya untuk pulang. Bilang bahwa apakah saya tidak berpikir malam-malam ke fatahilah sementara besok pagi harus kerja? Kaki saya berpikir sendiri malam ini. Si silver saya masukkan ke dalam tas, dia yang mengantar saya ke sini, dalam keadaan koma yang parah dan saya berniat membangunkannya.


Saya kini menuruni tangga bawah tanah menuju stasiun kota, sambil berharap kereta terakhir masih ramah untuk mengangkut saya pulang. Ternyata menunggu kereta terakhir dan terdampar di stasiun cukup membosankan. Kesendirian dan anonim membuat saya mampu mengamati apa saja tanpa teralihkan. Seekor kucing menyebrang menuju sebuah taman kecil yang lebih mirip hiasan. Dia duduk saja diatas sebuah batu. Sejak kecil saya kenal kucing, sudah hafal tingkah laku mereka. Kucing tadi terlihat aneh mungkin karena bentuk matanya yang tajam dan sedikit sipit menurut saya. Kucing, binatang yang selalu haus kasih sayang dengan merapatkan badannya kepadamu berharap dibelai, menggemaskan namun jika sudah puas ia akan meninggalkanmu tidur...benarkah begitu?


Kereta terakhir lama sekali tiba...makin banyak orang bertumpuk untuk menumpang satu-satunya kendaraan bebas dari macet karena punya jalur sendiri. Kereta ekonomi cukup murah walau memang bobrok. Kamu bisa lihat orang-orang berlomba naik gratis si atas atap tanpa memedulikan keselamatannya sendiri. Entah karena kita dikuasai waktu atau karena harga yang menurut saya murah namun mahal bagi sebagian besar orang lain?


Kereta ekonomi akhirnya datang. Orang-orang tiba-tiba memenuhi peron untuk berebutan tempat duduk yang tersedia. Saya lebih memilih mengalah karena malas untuk berseteru untuk sebuah tempat duduk. Saya lelah, tapi saya masih sanggup berdiri. Kereta berhenti lama, menunggu penumpang yang mungkin berharap kereta masih nangkring, seperti sekarang ini. Terbekatilah dia yang berhasil naik.


Kereta kemudian mulai meninggalkan stasiun kota, mengantar penumpangnya satu-satu menuju rumah, menuju tempat sekedar tinggal, menuju kepuasan sesaat. Bunyinya yang berisik berkelontangan bagaikan mendengar vespa tua yang dipaksa hidup meski terbatuk-batuk. Seperti si silver yang speakernya sudah rusak. Mesin itu ada umurnya. Manusia juga ada umurnya. Hati pun kadang kala ada umurnya.


Si silver kini tergeletak setelah dilempar-lempar oleh seorang pegawai kantor entah karena dia mau bercanda atau memang tidak mengindahkan bahasa cinta saya ketika bilang ’jangan’ dengan lembut sehingga saya harus bilang lebih kasar. Saya kini tidak dapat menolong kamu silver, kecuali tiba-tiba saja saya jadi pintar dan paham kamu sakit apa.


Kini saatnya ucapkan selamat tinggal. Sulit karena saya agak pelit dan aneh. Namun, selamat tinggal silver...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar