Jumat, 31 Desember 2010

LAGU ULTAH part 2

Korban kedua untuk lagu ulang tahun kali ini adalah adik sendiri. Kalau tidak salah lagu ini dibuat 2009. Si adik sedang mulai manggung saat itu, dengan band jepangnya, untung ada pasar senen yang menyediakan segala kebutuhan baju yang aneh bin ajaib tersebut. Saya beli hadiahnya sembari menengok Nata dan setelahnya ketinggalan dompet dikosan, ahahahah menyusahkan jadinya.

Dedek ini lagunya!

Hari ini kamis 25 Juni,
adikku sedang bertambah umur,
hadiah sudah diberi sejak kemarin,
semoga ia akan suka,

kita bersaudara memang sudah lama,
seringnya kita berantem aja,
tapi jadi akur kalo lagi belanja,
kenapa? saya juga gak tau


*
sekarang umurnya dua puluh,
paling suka pake 'celak' di mata...


#
tapi dedek selamat ulang tahun,
kamu tambah tua dari kemarin,
semoga sehat selalu dan bahagia,
bijaksana dan rajin menabung,

dia mulai tahu tentang barang murah,
belajar tentu dari kakaknya,
belanja tidak harus selalu di mall,
di pasar tentu juga bisa...

back to *, #2x

hihih hahaha



Adik masih dengan band jepangnya, dia vokalis, tiap hari bisa bikin anak bayi nangis karena latihan nyanyi malem-malem, mirip kakaknya kalo nyanyi gak tau waktu. Salah saya kasih contoh yang kurang baik...

Sementara Nata, sudah pindah dari dekat Senen, ia sekarang mungkin menemukan ritme yang pas di sebuah surat kabar harian, sempat main ke kosnya beberapa kali, menganggunya saat patah hati, maaf yah Nata jika aku mengatakan hal yang kurang pantas...menyesal sekali mengingatnya...
What has been told cannot be lick anymore, itu jadi dosa besar seumur hidup, maka itu aku terus minta maaf seumur hidupku padamu.

Kamis, 30 Desember 2010

LAGU ULTAH

Tiba-tiba ada ide begini, membuat lagu ulang tahun untuk menggantikan kartu ucapan. Orang pertama dan pelopor dan pemicu adalah Nita. Lirik lagu ini dibuat kira-kira tahun 2007. Agak sulit menjelaskan iramanya macam apa, mungkin nanti bisa di upload juga ke blog kalau bisa...

Nita! Ini Lagunya!!

Hari ini Jumat tanggal tiga Juli,
sahabatku sudah bertambah umur,
hadiah sudah disiapkan olehku,
semoga ia akan suka,

Kita berteman sudah agak lama,
trima kasih ucapku padamu,
selalu peka dikala aku BT,
Bad Mood atau Bau Tai

*
Saya tahu kamu lagi pusing,
mikirin kripsi enggak kelar-kelar

#
Tapi Nita selamat ulang tahun,
kamu tambah tua dari kemarin,
semoga sehat selalu dan bahagia,
si bambang semoga cepat sembuh...
AMIN...

Lewat kamu juga aku kenal Deno,
yang sekarang jadi kekasihku,
kenal dita, evi, ceceu, opik,
dito, aal, jawa, jjong, gun-gun,
uri, metri de ka kaaaa...

back to *, #2x

si bambang, semoga cepat sem bu u u uh a a miiin...

hehehehehe


- Sekarang Nita sedang berjuang agar tulangnya menyambung dengan baik lagi setelah kejadian dua bulan lalu, dirinya jatuh dari ketinggian empat meter. Ayo kuat Nita, kamu tentu bisa berdiri lagi, ini cuma kaki yang patah, sayapmu masih ada :)


salam sayang...

Rabu, 06 Oktober 2010

Kata-kata terakhir

Kata-kata terakhir mereka adalah yang bisa saya ingat dalam kepala saya yang kecil (dalam arti harafiah). Kadang saya merasa otak yang menyimpan memori yang hilang dan timbul ini adalah dalam cara yang sangat misterius. Kadang muncul justru sebuah kenangan yang kamu tidak duga kenapa hal itu justru yang muncul dalam seluk beluk neuron yang rumit?

Thomas : "Jangan mengeluh terus tam, lu mengeluh terus..."
Nah setelah kelulusan itu, saya rasa kamu menghilang Tom, kemana kamu kawan?

Hendi : "Jangan lupa di forward ke gua ya tam..."
Si gendut Dora yang dengan baik memberi saya tumpangan semasa kuliah dan membantu untuk saling mendukung ketika sidang dilaksanakan. Biasanya kami ngobrol di ym, tapi sekarang sudah jarang sekali.

Ella : masih berkomunikasi hingga sekarang lewat Ym. Terakhir kami ngobrol masalah mekanisme media agency tempatnya bekerja yang tidak kasih uang lembur ketika jam kerjanya diperpanjang.

Hera : "Gua punya cowok baru sekarang tam, cowok gua yang ini baik..."
terakhir saya bertemu dengannya adalah dikosannya didaerah kuningan dan kami sama-sama menuju sebuah pernikahan teman. Dulu kami dekat, namun kini rupanya pekerjaan dan kesibukan sudah membuat dunianya masing-masing.

Ferry : "Tetep menurut gue film paling bagus itu adalah 2 fast 2 furious"
Quote yang menarik jika kamu bertanya masalah film dengan si Ferry. Terimakasih sudah boleh minta contoh tugas akhir Fer...

Kharisma : "Gue sekarang jadi guru mi, disebuah sekolah internasional"
Saya melihat keadaannya tepat kira-kira 2 tahun lalu, dia sudah baik-baik saja dan semoga dia tetap begitu. Terima kasih sudah pinjamin komputer dan kamar kamu agar saya bisa edit flash disana ketika komputer butut saya kena virus.

Inyo : "Apa kabar Tam? Gua dibandung"
Terakhir saya dengar dia bekerja disebuah distro yang cukup terkenal di Bandung. Yang paling saya ingat dari Inyo adalah quote yang luar biasa ketika melihat muda mudi sekarang memakai celana kedodoran hingga boxernya kelihatan dan memakai topi yang sengaja dimiringkan.
"Gua bayar lu ceban kalo ada yang lewat dan lu berani untuk benerin celana serta topinya sambil bilang 'pake baju yang bener!'"
Saya gak bisa lupa hal itu.

Adi : "Eh kamu yang suka fashion show di Chitos ya?"
Padahal saat itu dia pasti asal saja bilang begitu, saya sering gak mandi ke kampus hingga penampilan saya agak dekil.

Syarif : "Yaudah ambil tuh helm, bareng gua aja ke kampus"
Katanya ketika melihat saya menunggu bis dipinggir jalan dan menyarankan saya ambil helm dari motor orang yang parkir. Orang gila. Dan dia menikah tanpa mengundang saya minggu lalu dasar Syarif.

Tiwi : "tam-tam, temenin gua yah disini, jangan pulang dulu"
Sekarang tiwi sudah menikah dan mungkin sudah melahirkan.

Rio : "tam ada kerjaan buat gua?"
terkahir di ym.

Leo : "tam, ini tami kan?mi punya kenalan media gak?"
Telepon dari Leo masuk sekitar 2 minggu lalu, dia sedang mengerjakan project acara musik untuk event organizernya.

Noval : saya mengenal Noval sebagai orang yang bersemangat dan penuh konsep yang kadang-kadang rumit, namun Noval adalah Noval.

Emon : "Hati-hati tam..."
Itu katanya ketika dia menginjinkan saya nebeng motornya sampai UKI setelah pernikahan kawan lama kami, Ivan.

Yudha : Ah saya lupa kata-kata Yudha yang terakhir, saya cuma ingat suaranya yang berat.

Enrico : "Ayo kita bikin agama baru!!"
Begitu selalu kelakarnya, apa yang saya ingat dari Enrico? rambut keriting gondrongnya.

Zaki : Ada Enrico ada Zaki. Terakhir kami berbincang tentang teman kampus kami, bergosip seru.

Dika : "Gitu lu tam ya, nyela gua mulu, awas lu gua nanti jadi kaya, nanti lu suka sama gua!"
Dan saya jawab : "Mau lu kaya-nya sekarang kek gua juga gak suka sama lu"
Bercanda tentunya kami ini, sedang berkelakar...

Yonne : "Tamtam makan eskrim aja kalau mau gemuk, ini gua buktinya..."

Tito : Saya lupa kata-kata Tito, tapi dia senang sekali ganggu saya dengan menarik rambut kuncir kuda saya dulu. Oh, Tito, walau badannya tinggi besar dia suka musik yang lembut dan romantis.

Ah, siapa lagi yah, otak dalam kepala yang kecil ini mulai berasap berusaha mengingat meraih setiap tetesannya yang saya takutkan menghilang. Tidak ada orang yang mau dilupakan tentunya, bukan? Tentu, saya juga tidak. Lalu, teman-teman dimana kalian sekarang? Semoga kalian baik-baik saja. Malu mengatakannya, tapi saya rindu kalian.

Kamis, 23 September 2010

Up in the air

Saya pikir tadinya film ini akan menceritakan cinta lokasi, cinta segitiga dan semcamnya, tipikal film drama. Namun ternyata Up in The Air memberikan sesuatu yang lebih, bagi saya secara pribadi. Berikut sinopsis filmnya saya copy-paste semena-mena dari embah wiki.




Ryan Bingham (George Clooney) adalah orang yang bepergian ke berbagai tempat di seluruh dunia dan mengatur proses PHK atas nama bos-bos yang terlalu pengecut untuk melakukannya sendiri. Ryan menjalani kehidupan yang bebas, dia jarang mengunjungi keluarganya dan lebih suka hidup sendiri. Dalam perjalanannya, Dia bertemu Alex (Vera Farmiga) dan Natalie Keener (Anna Kendrick). Masuknya mereka berdua dalam kehidupannya membuatnya mempertanyakan kembali pandangan hidupnya.




Dan lalu saya tambahkan sendiri secara semena-mena pula, inilah dia,




Well, sebenarnya Ryan tidak begitu suka kehidupannya yang soliter maka itu dia protes besar-besaran ketika Natalie tiba-tiba datang menawarkan sebuah ide kepada kantornya untuk menghemat biaya perjalanan yang dikeluarkan perusahaan untuk mengirimkan agen-agennya dalam memecat orang yang mungkin berada di negara bagian lainnya, yaitu dengan menggunakan video call. Dan Ryan berhasil membuktikan bahwa metode tersebut tidak efektif dan selamat Mr Bingham! Dia pun bisa kembali 'jalan-jalan', menikmati fasilitas-fasilitas 'ekslusif' ketika dalam perjalanannya untuk memecat orang atau memberikan ceramah motivasi.




Dalam ceramah motivasi, ia selalu memasukkan gagasannya bahwa hidup soliter itu akan menjadikan pergerakan kita, sebagai manusia, lebih mudah. Karena kita tak perlu memikirkan hal yang berat-berat tentang keluarga, tentang kekasih, tentang anak, tentang binatang peliharaan, tentang rumah. Kasarnya jalanilah kehidupan bebas tanpa terikat pada sesuatu pun yang bisa membuat kita lemah. Hei, cinta bisa membuat menjadi orang lebih lemah lembut bukan? Itulah yang ditolak oleh Ryan Bingham. Ia menolak mencintai.




Ryan kemudian bertemu Alex, perempuan matang yang cantik dan seksi (menurut saya) ketika ia sedang bersantai di sebuah lounge hotel. Hei, kebetulan selalu mempertemukanmu dengan seseorang kadang-kadang. Alex, sama seperti Ryan, menjunjung kehidupan bebas tanpa terikat, namun ketika dirinya bertemu Natalie disebuah kesempatan, ia mengemukakan kata-kata yang membuat Ryan cukup menelan ludah yaitu pria impiannya adalah yang menyukai anak-anak.




Oke, kita bicara tentang Natalie dulu, semenjak idenya dibantah habis-habisan oleh Ryan, ia pun dijadikan asisten Ryan Bingham dan kemudian 'mengekor' Ryan kemana pun ia pergi (meski Ryan tadinya menolak). Natalie pindah ke kota ini karena sang pacar diterima bekerja pula disini. Saya bisa mengerti dirinya, macam saya yang juga mau pindah kota agar dekat dengan pacar saya. Lalu disinilah Natalie, mengekor Ryan dan menyaksikan orang-orang dipecat dan dihidupkan mimpi lainnya agar mereka tetap optimis dan tidak tenggelam dalam depresi dan bunuh diri, namun pada kenyataannya kejiwaan seseorang tidak bisa digeneralisasi.




Pada suatu waktu, sebuah kejadian menimpanya, Natalie diputuskan oleh pacarnya begitu saja melalui pesan instan. Menangis sesengukan, mengantarnya bertemu dengan Alex. Natalie mencoba melihat hubungan yang dijunjung dua orang ini, yaitu bebas dan tidak terikat. Ia tidak setuju sepenuhnya akan hal tersebut, tipikal anak muda, macam saya, banyak protes pada hal-hal yang dijunjung. Tapi hei, itu prinsip kan? (prinsip tai kucing hehehehe).




Ryan Bingham mengalami guncangan atas prinsip hidup yang selama ini dijunjungnya, tahu-tahu ada kerinduan berbagi kebahagiaan yang tadinya dia nikmati sendirian. Hal itu melahirkan keinginannya mempunyai pasangan, maka itu dengan segala resiko, meninggalkan ceramahnya, lalu ia menyusul Alex ke Chicago, dan voila! Ditemukanlah Alex dalam sebuah rumah penuh dengan anak-anak yang ramai dan yap! Seorang suami. Macam mendukung keadaaan hati Ryan Bingham, udara bersalju menyuruh orang-orang untuk berlindung dalam rumah dan disanalah Ryan Bingham, sendirian dalam hotelnya, entah apa yang ada dalam pikirannya, yang pasti ia sedih.



Kembali ke kantornya, ia mendapatkan berita yang cukup mengejutkan. Natalie mengundurkan diri dari kantor. Alex menelepon Ryan, mengutarakan bahwa si Bingham nyaris saja mengacaukan segalanya dengan kemunculannya yang mendadak. Secara personal, saya sangat menghormati ketika Ryan Bingham menutup teleponnya dan memutuskan tidak berkompromi lagi.


Memang film berakhir, namun yang saya pertanyakan apakah yang ada dalam benak Bingham sekarang? Apakah dia akan berpikir bahwa ternyata sebenarnya ceramahnya ada benarnya? Apakah sebenarnya dia seharusnya terus-terusan hidup soliter? Lalu saya pandang lagi diri saya ini, saya lama hidup secara individual. Namun menurut saya teman sangat penting dan yah, cinta dan sayang menghasilkan kegelisahan, ketakutan kehilangan dan semua itu yang membebani kita, apakah perlu kita masukkan dalam tas dan tenggelamkan di laut?

Saya pikir saya mau membawanya kemana-mana di punggung saya. Hei, itu pilihan kan??

Jumat, 03 September 2010

Dingin

Dingin,
Tetes tetes air kala hujan, angin yang menderu,
tiupannya membuat kedua tangan bersedekap,
namun dua tangan tak dapat melindungi rusuk
yang ditusuk-tusuk oleh hawa...

Dingin,
Merasuk, menambah kosong menjadi nyata
Harusnya kita berlari-lari agar tidak kena
hypothermia
Namun aku hanya disana, merasakan air sedikit
demi sedikit menenggelamkan paru-paru

Dingin,
Rasanya jantung ini sedikit lagi pecah,
berhamburan isinya, bercucuran asanya,
kemana-mana, ke jalan-jalan,
berteriak-teriak ia membantah kebisuan
mengaum di lorong-lorong yang biasa kau lalui

Dingin,
Air akhirnya keluar dari segala penjuru,
lubang hidung, lubang telinga, mulut,
dan lubang mata.
Alirannya tidak sederas beberapa waktu lalu,
Namun penyebabnya tetap sama,
Segala sesuatu yang tersumbat menyebabkan banjir

Dingin...

Senin, 02 Agustus 2010

Banjarmasin



Setelah cerita horor itu, cerita horor nan lucu, kami semua terbang menuju Kalimantan. Yang ada dalam benak saya hanyalah, andaikan saya punya satu hari kosong disana, tolong bawa saya ke karantina orang utan.


Pagi ini saya dijemput oleh taksi. Saya bawa Narji, seperti biasa di tiap-tiap kota. Dia dengan setia bawakan semua barang-barang saya. Ayo Narji...masih ada empat kota lagi yang harus kita tempuh setelah ini!!


Butuh waktu sekitar satu jam empat puluh menit untuk sampai ke Banjarmasin. Pesawat mengudara begitu lama sementara itu kami diberi makan oleh pramugari-pramugari cantik yang selalu segar dengan pulasan make up beserta sanggul yang rapih.


Hari ini pesawatnya cukup canggih karena kita bisa nonton film tepat di depan bangku yang masing-masing tersedia layar LCD sebesar kira-kira 8 inchi dengan teknologi touchscreen. Pada awalnya saya antusias karena ada sajian film Korea, banyak film dari negara tersebut yang cukup membangkitkan inspirasi, namun sayang hal itu tidak saya temukan ketika 10 menit film diputar.


Saya mengalihkan menu menjadi paparan musik. Diantara sekian banyak genre, saya memilih kings of convenience yang cukup syahdu. Lalu berganti menjadi Jason Mraz yang saya ingat dia pertama kali muncul dengan Remedy-nya saat saya masih duduk di kelas satu SMA. Wah, sudah lama, kira-kira enam sampai tujuh tahun yang lalu. Hei, ternyata saya sudah tua. Namun mengapa saya merasa seperti terus-terusan di Neverland?


Tiba-tiba musik yang saya dengarkan berhenti, pilot mengumumkan bahwa kami akan mendarat sebentar lagi. Saya selalu bergairah jika pesawat bersiap terbang ke udara atau bersiap mendarat, seperti menyambut kematian yang bisa saja datang tiba-tiba. Menerima, dengan ikhlas.


Pesawat kami mendarat dengan mulus, hingga kami tidak cacat sedikitpun. Bandara di luar kota selalu sederhana dan tidak semewah Soekarno-Hatta, saya suka. Semua orang melirik pada kami, apalagi kalau bukan rambut yang agak nyentrik ini? Kami menunggu mobil jemputan untuk langsung menuju hotel untuk menaruh semua barang-barang yang kami bawa. Ketika pintu kamar dibuka, ada bau aneh yang menguar, aneh sekali hingga beberapa dari kami sakit kepala. Saya putuskan untuk menyalakan pendingin ruangan sembari membuka jendela agar ada pertukaran udara. Semoga.


Di kota ini, satu kamar kami tidur bertiga, okelah tidak apa-apa, saya dibagian ekstra bed. Masih empuk kok walau cuma selembar. Narji cukup diam di pojok, dia selalu begitu, pasrah saja jika saya suruh tidur di lantai terlalu sempit jika kami harus berbagi ranjang.
Hari ini Noni sakit flu, ingusnya turun naik mungkin karena sistem imunnya menurun. Sementara saya rasanya menderita pusing mendadak. Mungkin karena bau cat yang lapuk atau entahlah apa yang membuat migrain saya kambuh. Beberapa lama setelah istirahat sebentar, kami naik ke lantai lima untuk gladi resik. Blocking seperti biasa. Pemandangan kebingungan dan omelan makin biasa bagi kami. Saya takut saya jadi beku hati gara-gara ini. Tidak. Jangan. Cinta membuat saya hidup, tolong jangan tinggalkan saya.


Selesai blocking dan pengulangan koreografi, kami makan malam di restoran hotel, bosan sekali sebenarnya melakukan rutinitas ini, namun berjalan-jalan keluar sendirian dikota ini pun desas-desusnya kurang nyaman dan aman.


Lonceng gereja berdentangan tiap satu jam sekali, mungkin sudah disetel otomatis untuk bergema karena ketika saya melongok gereja nampak sangat sepi. Namun saya selalu menyesali kepengecutan yang saya punya karena menahan saya untuk lompat menyebrang menuju gereja dan melihat apa yang bisa saya amati dari sana. Saya menyesali sisi saya yang seperti itu, mungkin begitu juga Narji menertawakan saya. Diam kamu Narji!


Setelah tahu pesawat baru akan membawa saya lusa, impian saya mengambang, mungkinkah saya dapat melongok hutan orang pada hutan lindung? Saya bertanya pada supir mobil yang menjemput kami, dengan kecewa saya harus meneriman kenyataan bahwa hutan karantina tersebut harus ditempuh dua jam perjalanan dari kota Banjarmasin. Sudah pasti saya tidak dapat berkunjung ke sana. Hasrat ini begitu menggebu-gebu sehingga akhirnya saya harus kecewa melihat kenyataan. Harusnya saya hidup dalam mimpi saja.


Sudahlah jangan kecewa, saya bilang pada diri saya sendiri, karena saya lahir untuk bersabar. Malam ini harusnya saya tidur dengan nyenyak, namun ternyata ada beberapa suara gaduh serta lonceng gereja secara samar-samar menganggu kenikmatan tidur. Hingga tahu-tahu hari sudah pagi. Sudah waktunya bangun. Saya mengirimkan beberapa pesan pada teman-teman saya di Jakarta, mengadu pada mereka bahwa saya harus bangun pukul empat pagi untuk melakukan make up.


”Tadi malem gue kok kayak denger suara orang lagi begituan ya...” kata teman sekamar saya.
”Wah mimpi kali lu...mimpi dan pengen, hahahaha...” begitu kata saya sambil tertawa.


Menunggu show dimulai, kami duduk di belakang panggung, saling bertukar cerita. Tersebutlah hotel ini ternyata adalah sebuah hotel short time, tempat prostitusi dilakukan. Pantas saja semenjak kemarin kenapa lelaki yang ’nongkrong’ di lobby memandang kami ini bagai mangsa. Untunglah saya mirip bencong. Ya Narji? Maka selamatlah saya dari hawa nafsu angkara murka. Eh? Belum tentukah? Betul, saya terlalu yakin.


Saya pun merasa bukan wanita yang menarik, tidak seperti Noni yang muka campuran Arabnya membuatnya menjadi sangat cantik, lalu Niken dengan kulitnya yang sangat cantik, membuatnya selalu terlihat segar. Sementara saya kurus kering kerontang. Teman sekantor saya pun bercemooh,


”Siapa yang mau dengan dia? Kurus kering dada rata.”, jika didengar secara sepintas
kata-kata ini akan berbentuk seperti pisau dan menyakitkan, membelah-belah hati orang yang ditujukan. Namun jika kamu lihat lagi, potong-potong lagi, kata tersebut berasal dari mulut orang yang patut dikasihani, karena mengira manusia hanya satu tipe, sesuai dengan pikirannya, kasihan dia sudah empat puluh tahun hidup di dunia namun tidak mengerti arti cinta, yang dia mengerti hanya nafsu. Kasihanilah dia dunia.


Show hari ini berjalan seperti biasa, setelahnya yang tidak biasa. Noni, selain sebagai model ’petite’ dia adalah seorang desainer pakaian. Setelah show berakhir, ia meminta saya menjadi model baju-baju yang sudah ia bawa. Tentu, saya dengan sukarela akan sangat senang membantunya. Wow, saya tidak menyangka (setelah melihat hasil fotonya) kulit saya kini berubah menjadi begitu eksotis. Coklat. Eksotis. Tadinya saya tidak percaya ketika hairstylist saya diatas panggung menyebut ”ini Tami, model saya yang eksotis”, ternyata dia benar.


Entah kapan itu ketika saya menjadi salah satu remaja yang juga mengidamkan kulit putih, karena seakan-akan hal itu lebih menarik dari pada kulit saya sendiri. Namun kini, saya lebih suka menjadi apa adanya. Karena lebih baik kamu dibenci dengan menjadi apa adanya dibanding kamu disukai namun itu bukan kamu. Saya membela mati-matian orang yang benci saya karena apa adanya.


Diluar saya lihat beberapa orang berbondong-bondong mengangkat spanduk meneriakkan ”Allahuakbar!” mereka berdemonstrasi dengan melakukan long march yang kebetulan melewati hotel yang saya tempati, memprotes bahwa penyerangan Israel pada kapal untuk bantuan kemanusiaan pada Palestina yang saat itu masih diberitakan dengan hangat. Mereka menuntut keadilan, bahwa Israel harus dihukum atas ulahnya ini. Berita semakin meruncing ketika ada beberapa relawan yang di duga diracuni oleh tentara Israel. Miris saya mendengarnya, ada apa dengan manusia saat ini? Lalu seperti kamu tahu, berita itu kini tenggelam dengan kasus Ariel Peter Pan beserta ke 32 video pornonya.


Hari masih panjang sebelum pesawat pagi memulangkan kami beserta semua kenangan akan Banjarmasin dan kembali ke Jakarta yang sibuk. Maka kami pun menuju Marthapura, saya ikut saja, katanya itu tempat membeli permata. Bah, permata, uang darimana? Menyusuri toko tanpa tahu apa musti saya beli, akhirnya saya mampir juga ke salah satu untuk membeli oleh-oleh untuk teman-teman yang baik, sebuah gantungan kunci mungkin? Ya itu sajalah, menipisnya kantong membuat saya harus memilah oleh-oleh.


Hari tiba-tiba saja menjadi malam setelah kami berbelanja, hujan turun rintik-rintik. Berada di tengah-tengah khatulistiwa dengan iklim hutan hujan, membuat saya memaklumi keadaan ini. Kalimantan memang masih hutan. Dan karena itulah saya terpuaskan. Lagi-lagi, kewarasan masih saja menahan saya untuk mendekati sungai serta memperhatikan kapal-kapal nelayan yang tertambat disana atau lebih jauh lagi naik ke atas kapal dan mungkin jika beruntung diantar keliling sungai ditengah kota. Kewarasan saya menahan semua itu, maka dari itu saya seringkali tidak puas terhadap diri sendiri. Mengapa saya dulu di dogma untuk mengikuti aturan sih?


Hari berangsur malam, saya harus tidur karena besok pukul lima pagi mobil kami sudah menunggu untuk mengantar semua kru ke Bandara. Haaah...selesai sudah Banjarmasin, kota sepi dengan kesempatan saya yang sedikit untuk mengenal kehidupannya. Maka itu tinggallah kenangan saya yang sedikit ini, tinggallah lonceng bunyi gereja, tinggallah hutan-hutan sepanjang perjalanan menuju Marthapura. Tinggallah dalam memori saya ini.

Selasa, 06 Juli 2010

Ikan Sapu Sapu di Tanah Kering



Pagi itu, tumben. Tumben saya datang ke kantor jam 09.30 WIB (Waktu Indonesia dan Bekasi, hehehe). Meninggalkan kamar kos-kosan saya yang masih 'awut-awutan' karena kemalasan dan keacuhan saya akan kesehatan dan kerapihan. Biasanya saya langsung belok kiri masuk ke kantor yang lantai dasarnya jadi gudang susu, tapi kali ini saya berjalan lurus ke depan menuju warung nasi uduk yang biasanya nangkring di dekat kali. Tapi ternyata hari ini dia tidak ada, kemana si eceu itu? Seorang pedagang asongan memberi tahu saya untuk melihat di sebuah tanah lapang tidak berpenghuni yang dibatasi pagar. Tanah lapang tersebut terletak di belakang ruko tempat ruko-ruko tersebut berdiri. Sebenarnya tanah tersebut tidak sebenar-benarnya kosong karena ada bangunan yang terbuat dari tumpukan seng beserta MCK yang sangat kumuh, namun selebihnya tanah ini ditumbuhi ilalang liar yang mengurangi kegersangannya.

Saya membeli sebungkus nasi uduk seperti biasa. Lalu sebelum menuju kembali ke kantor, saya melihat untaian sungai berbusa yang lewat begitu saja di depan saya dan tiba-tiba saja saya berpikir, mungkin hal ini pula yang membuat saya membeli kamera digital. Harus ada tujuan yang bermacam-macam terhadap kamera itu, karena saya nyaris saja menjualnya kembali dengan harga yang dibanting sebab kehilangan pentingnya tujuan awal ketika membelinya.

Sungai dan busa yang lewat lalu jadi beku dalam LCD kamera digital saya. Saya berjalan sebentar, lalu menemukan hal yang janggal. Ada dua ekor ikan bertebaran di jalan yang gersang, tergeletak begitu saja tak berdaya, tak bergerak. Astaga, apa yang terjadi? Mungkinkah mereka keracunan sungai berbusa ini? Atas pertanyaan-pertanyaan dalam kepala saya tersebut maka saya bertanya.



“Pak, kenapa ikan ini berada disini”, saya bertanya pada dua orang yang duduk dibawah pohon yang cukup rindang dan memperhatikan saya dalam diam.

“Itu ikan sapu-sapu neng”, jawab si Bapak.

”Lalu kenapa mereka ada di sini Pak?”, tanya saya.

”Dibuang tuh sama yang mencari ikan di situ...”, lalu mereka menunjuk orang yang sedang menjaring ikan dengan pintu air.

”Oh kalo ikan sapu-sapu enggak bisa dimakan ya Pak?” tanya saya

”Enggak...”, jawab mereka santai sambil mengepulkan asap rokok.

Lalu jika ikan sapu-sapu tidak bisa dimakan, apa sulitnya mengembalikan mereka ke air lagi? Mengapa melempar mereka ke daratan yang sudah pasti membuat mereka mati perlahan? Saya kemudian memegang ekor si ikan sapu-sapu yang terkecil lebih dahulu, badannya sudah kaku, namun insangnya masih sedikit bergerak, saya pikir bahwa saya mungkin saja terlambat menyelamatkannya, namun lebih baik menceburkannya ke air, kadang alam punya caranya sendiri dalam menghidupi atau mematikan.

Beralih ke ikan sapu-sapu yang lebih besar, membuat saya berpikir bahwa mereka ini adalah Ibu dan Anak. Insangnya masih bergerak lebih cepat dari yang kecil, saya gembira, karena mungkin saja kesempatan hidupnya jadi lebih lama. Ironis, saya pernah ingin menceburkan diri ke laut untuk mengakhiri hidup, sementara saya disini selamatkan kamu ikan. Karena saya yakin binatang jauh lebih kuat daripada manusia. Mereka tidak pernah menyerah untuk bertahan hidup. Karena menurut saya dunia manusia terlalu rumit, terlalu banyak tipu muslihat, terlalu banyak kebohongan, terlalu banyak pencari pembenaran, terlalu banyak...

”Terimakasih sudah menyelamatkan ikan itu ya...muach...” smsnya manis.

”Hmm kenapa terima kasih?” tanya saya.

”Kan aku jelmaan ikan itu, hihihihi...”

Andai saja memori itu layaknya memori dalam handphone, di mana penyimpanan nomor panggilan keluarnya akan terhapus secara otomatis ketika sudah mencapai jumlah tertentu. Saya dapat menghapus memori yang menyakitkan, sehingga rasanya saya tidak perlu merasa bersalah jika melihat binatang dan manusia terlantar...

Jumat, 18 Juni 2010

Anjing di lapo



Saya bertemu dia di hari yang hangat cuaca di Bekasi umumnya. Seekor anjing di depan rumah makan lapo, ironis sekali. Apa kamu lihat tiap hari teman-temanmu dibunuh untuk dimasak kemudian dimakan? Lihatkah kamu dengan mata coklatmu yang tulus bening itu? Lihatkah kamu sayang? Takutkah kamu akan itu?

Saya ketemu dia nyaris tiap hari tiap saya menyusuri jalan untuk pulang dari kantor. Dia akan terus ada disana dalam keadaan terikat lehernya. Kadang rasanya saya ingin iseng melepaskan ikatannya dan membiarkannya bebas, berlari-lari dengan kakinya yang kuat dan lidahnya yang terjulur riang.

Tiap saya mengelusnya dia pasti menjilat sedikit tangan saya, entah mengapa saya merasa akrab tiap kali dia melakukan itu, bahkan ketika tiap kali dia dengan nakal sedikit iseng menggigit saya. Saya sungguh yakin dia tidak rabies. Ya kan cantik? Tiap saya peluk dan akan meninggalkannya pasti dia meloncat-loncat memeluk pinggang saya, meminta saya sekali lagi mengelusnya sebelum meninggalkannya disana, tercekik dengan tali dan memandangi motor dan mobil yang lalu lalang.

"Ih kok mau dijilat anjing??!" katanya mengingatkan dengan sedikit marah. Kamu tidak mengerti. Ada rasa yang tidak dapat dijelaskan disana tiap kali saya berinteraksi dengan si cantik di depan lapo ini. Ada mata coklat bening yang tidak menatap saya seperti anak autis, dia tidak pernah diam, seperti menanti sesuatu. Apakah yang kau nanti sayang? Kebebasankah?

Lama setelah saya tidak melihat dia tiap saya pulang kerja, mugkin karena saya pun sudah seminggu tidak menyusuri jalan pulang tersebut akibat pekerjaan lain untuk keluar kota, lalu melarikan diri sejenak ke rumah orang lain dibandingkan kamar sendiri.

Lalu kemana dia?

Saya berdo'a semoga dia tidak dimasak. Dia anjing yang baik, itu kata pemilik rumah makan lapo, anjing yang baik menurut mereka yang tidak berisik. Jadi jika ada anjing yang menyalak pasti mereka masak. Maka itukah kamu jadi bisu cantik? Kamu tidak pernah menyalak sama sekali. Jahat sekali kami manusia ini...padahal suara adalah universal, kamu dan suaramu adalah kebebasan...

Lalu tiba-tiba, disuatu hari yang berangin, saya baru saja pulang dari Banjarmasin sebelum pulang kantor hari ini. Itu dia, si cantik!! Dia sudah bebas, tanpa ikatan lagi yang membelenggu geraknya. Dia tampak sangat menikmati kebebasannya bersama tiga teman lainnya, dua pejantan belang coklat-putih, lalu seekor betina muda berwarna coklat tanah. Cantik, kamu terlihat senang sekali, syukurlah, saya sayang kamu maka itu saya ikut senang.

Berhari-hari kamu senang dengan mereka, hari-harimu tidak lagi sepi diikat sendirian di depan rumah makan lapo dan duduk memandangi motor yang bahu membahu lewat trotoar. Berhari-hari hingga saya tahu kamu sedang hamil, pasti oleh salah satu dari anjing pejantan tersebut. Wah cantik, saya iri, kamu bisa punya anak dengan mudahnya. Tanpa pernikahan, tanpa di cela, tanpa di hina, bahwa anak tersebut adalah anak haram karena terjadi di luar nikah. Saya mau jadi kamu, cantik, hamil, punya anak dan bebas saya bawa kemana saja dengan kelapangan yang tanpa batas. Lapang dan bebas...

Kamu hamil dan tetap bisa berlari-lari dengan lincah. Dasar anjing. Kamu senang sekali lari-lari, sana-sini, seperti orang baru bebas dari penjara, seperti merpati yang terbang lepas mengudara, seperti hati yang mengangkat ke angkasa tersenyum tanpa beban, kamu mirip simbol kebebasan bagi saya. Bagi saya yang merindukan kebebasan dari ketakutan karena hal itu hanya membawa saya pada ketidakbahagiaan yang hakiki. Lepaskan saya dari ketakutan, wahai cantik.

"Udah deh gak usah main-main sama anjing...iiih...najis..." kata Ibu saya.

Kan ada sabun cuci tangan ma, jangan takut, setelah cuci tangan akan higienis. Saya tahu dia takut saya sakit setelah bercengkrama dengan beberapa anjing liar. Saya tahu Bunda, saya tahu kamu malas mendengar saya sakit lagi untuk ratusan kali dalam hidupmu. Namun biarkanlah saya bahagia dengan mereka yang tidak menghakimi ini, tidak menghakimi bahwa saya perempuan baik-baik atau tidak, tidak menghakimi bahwa saya bodoh atau pintar, tidak menghakimi bahwa saya hamil atau tidak, seperti saya tidak menghakimi dirimu bersalah atau tidak.

Cantik, berhari-hari setelah itu, berminggu-minggu bahkan. Setelah saya kembali dari Cibinong mengurus adik saya yang sakit anemia. Kamu tahu anemia? Kekurangan darah, sehingga dia jadi pucat dan dapat sewaktu-waktu meninggal. Karena itu dia harus ditolong dengan jus buah bit yang sewarna dengan darah ketika diminum. Adik saya jadi mirip vampir, walau dia sudah jadi vampir beberapa tahun lalu ketika dia harus ditansfusi darah karena lagi-lagi anemia. Vokalis Band yang keras kepala dia itu.

Beda lagi dengan kakak saya, cantik, kakak tiri saya sebenarnya karena kami beda ibu meski satu ayah. Kakak yang sebenarnya perempuan namun terlalu tomboi dan sedang kesulitan menempatkan kemana dia akan pergi, disorientasi akut dalam hidupnya. Sementara saya yang sudah disorientasi dulu, memutuskan, lalu disorientasi lagi sekarang ini, membuat saya membiarkan dia mengalami proses yang sama yang mungkin nantinya menghasilkan sebuah keputusan yang apapun itu akan saya hormati mati-matian.

Berminggu-minggu setelah itu, kamu tiba-tiba tidak ada lagi disana. Kemana kamu? Saya cari-cari dan tengok-tengok. Cuma ada tiga teman mu itu yang nampak ketakutan dengan orang asing. Tapi si pejantan yang satu sudah mau pegang dan jilat saya begitupun teman kecilmu yang betina.

Lalu saya dengar berita menggembirakan sekaligus menyedihkan. Kamu sudah melahirkan, namun salah satu dari tiga anakmu mati. Cantik, hari itu saya tengok kamu ingat? Kamu disana, berada dalam kardus dengan anak-anak anjing kecil yang masih tidak berdaya dan menyusu. Kamu menggoyangkan ekor menyambut saya, mengenali saya, begitu terharunya saya, benarkah kamu ingat saya ini, cantik? Ah kamu cuma anjing yang ramah.

Ooh saya jadi mengerti mengapa teman-teman mu tidak duduk disampingmu, menemani atau mungkin menghiburmu atas anakmu yang meninggal. Kamu anjing. Ketika melahirkan, anjing tidak butuh ada anjing lain didekatnya. Karena naluri keibuanmu bilang bahwa mereka ancaman. Meski tadinya mereka itu teman-temanmu, atau mungkin ayah si anak. Cantik, kuatnya kamu, tanpa ketakutan. Benarkah begitu??

Hari itu saya sadari, meski kamu marah, kamu tidak menyalak...kamu masih tidak bersuara...Begitupun teman-temanmu yang lain... Cantik, saya sedih, ternyata kami menyebabkan ketakutan itu. Ketakutanmu untuk menyalak dengan bebas...

Saya jadi ingin dengar kamu menyalak cantik...

Rabu, 02 Juni 2010

Si Silver

Informasinya kurang lengkap ketika saya memutuskan untuk berderu dengan kereta ekonomi menuju tempat Achan yang saya kenal 5 tahun lalu, seorang keturunan tionghoa yang punya cukup modal hingga punya toko elektronik di mangga dua. Saat itu saya masih kuliah dengan pekerjaan sampingan sebagai guru privat dan penulis teenlit. Pertemuan saya dengan Achan bukan tidak sengaja, karena saat itu saya dan Nita sama-sama ingin membeli sebuah MP3 player murah. Cuma toko Achan yang menawarkan harga paling murah.


Ketika akhirnya benda itu terbeli, saya yang patungan dengan adik berbagi hari untuk menggunakannya. Apa yang memotivasi saya untuk membeli benda tersebut? Selain untuk mendengarkan musik, saya menggunakan si silver (begitu saya menamainya) untuk menyimpan data elektronik. Waktu berlalu setahun, si silver terus menemani saya melewati jalan-jalan Jakarta yang macet walau kadang mati karena batu baterainya tidak dapat bertahan mengalahkan waktu macet di jalan.


Lalu hari ini, saya berdiri lagi di depan pusat perbelanjaan elektronik yang benar-benar besar itu. Si silver sudah empat tahun yang lalu saya hibahkan kepada adik saya. Agar dia senang, agar kami tidak lagi rebutan. Namun sekarang si silver tergeletak tak berdaya dalam genggaman saya. Kacanya retak mungkin karena mendarat pada sesuatu yang keras, terjatuh pasti. Cat silvernya sudah mengelupas disana-sini. Sudah usang memang, sudah jelek menurut orang. Tapi dia tetap bagus buat saya.


Saya nyaris lupa dengan si silver sebelum menemukannya tergolek pada meja belajar adik saya di Cibinong. Kenangan mulai kembali merasuki otak yang mulai beku. Lalu saya angkat si silver dari situ, berharap mudah-mudahan dia dapat hidup lagi dengan sedikit perbaikan.


Berdiri di depan toko yang tertutup rapat, ternyata pertokoan ini sudah tutup sejak jam 6 sore, sementara saya baru sampai di sana pukul setengah delapan malam. Kehilangan arah, masih menggenggam si silver, saya menuju stasiun kota. Tadinya berniat untuk pulang, namun entah mengapa kaki ini memutuskan untuk melangkah menuju fatahilah. Batin saya fatahilah pasti sepi, namun ternyata saya salah. Disana ramai sekali macam pasar malam. Banyak muda mudi berduaan, banyak penjual kaki lima mengais rejeki malam ini, tukang tato, tukang makanan, minuman serta ojek sepeda yang masih nangkring.


Kecewa karena gagal menemukan tempat untuk menyendiri, kaki melangkah lagi menjauhi fatahilah dan menuju stasiun kereta. Malam terasa dingin untuk badan setipis ini. Bunyi sms berkali-kali datang, mengingatkan saya untuk pulang. Bilang bahwa apakah saya tidak berpikir malam-malam ke fatahilah sementara besok pagi harus kerja? Kaki saya berpikir sendiri malam ini. Si silver saya masukkan ke dalam tas, dia yang mengantar saya ke sini, dalam keadaan koma yang parah dan saya berniat membangunkannya.


Saya kini menuruni tangga bawah tanah menuju stasiun kota, sambil berharap kereta terakhir masih ramah untuk mengangkut saya pulang. Ternyata menunggu kereta terakhir dan terdampar di stasiun cukup membosankan. Kesendirian dan anonim membuat saya mampu mengamati apa saja tanpa teralihkan. Seekor kucing menyebrang menuju sebuah taman kecil yang lebih mirip hiasan. Dia duduk saja diatas sebuah batu. Sejak kecil saya kenal kucing, sudah hafal tingkah laku mereka. Kucing tadi terlihat aneh mungkin karena bentuk matanya yang tajam dan sedikit sipit menurut saya. Kucing, binatang yang selalu haus kasih sayang dengan merapatkan badannya kepadamu berharap dibelai, menggemaskan namun jika sudah puas ia akan meninggalkanmu tidur...benarkah begitu?


Kereta terakhir lama sekali tiba...makin banyak orang bertumpuk untuk menumpang satu-satunya kendaraan bebas dari macet karena punya jalur sendiri. Kereta ekonomi cukup murah walau memang bobrok. Kamu bisa lihat orang-orang berlomba naik gratis si atas atap tanpa memedulikan keselamatannya sendiri. Entah karena kita dikuasai waktu atau karena harga yang menurut saya murah namun mahal bagi sebagian besar orang lain?


Kereta ekonomi akhirnya datang. Orang-orang tiba-tiba memenuhi peron untuk berebutan tempat duduk yang tersedia. Saya lebih memilih mengalah karena malas untuk berseteru untuk sebuah tempat duduk. Saya lelah, tapi saya masih sanggup berdiri. Kereta berhenti lama, menunggu penumpang yang mungkin berharap kereta masih nangkring, seperti sekarang ini. Terbekatilah dia yang berhasil naik.


Kereta kemudian mulai meninggalkan stasiun kota, mengantar penumpangnya satu-satu menuju rumah, menuju tempat sekedar tinggal, menuju kepuasan sesaat. Bunyinya yang berisik berkelontangan bagaikan mendengar vespa tua yang dipaksa hidup meski terbatuk-batuk. Seperti si silver yang speakernya sudah rusak. Mesin itu ada umurnya. Manusia juga ada umurnya. Hati pun kadang kala ada umurnya.


Si silver kini tergeletak setelah dilempar-lempar oleh seorang pegawai kantor entah karena dia mau bercanda atau memang tidak mengindahkan bahasa cinta saya ketika bilang ’jangan’ dengan lembut sehingga saya harus bilang lebih kasar. Saya kini tidak dapat menolong kamu silver, kecuali tiba-tiba saja saya jadi pintar dan paham kamu sakit apa.


Kini saatnya ucapkan selamat tinggal. Sulit karena saya agak pelit dan aneh. Namun, selamat tinggal silver...

Rabu, 05 Mei 2010

Pulang

Sebelumnya saya hanya bercerita denganmu masalah ini, karena hidup saya diisi denganmu beberapa tahun terakhir. Namun sejak hal itu terjadi, saya bercerita kepada semuanya, kepada siapa saja.

Suasana di Bekasi seketika menjadi sangat panas. Ketika saya bilang saya mungkin tidak akan sujud selama beberapa tahun ke depan karena tidak tahu maknanya secara personal. Saya berani bilang ini kepadamu Bunda bukan karena saya membangkang, tidak menghargaimu. Namun saya mencoba membuatmu berpikir, bahkan dengan atau tanpa saya bersujud, saya pun menyayangimu walau kamu bersikap jahat terhadap orang lain, menyayangimu walau kamu terlihat lelah mengurus saya, menyayangimu karena memang saya sayang. Menyayangimu dan tidak ingin kamu susah lagi karena saya.

Bunda, apakah kamu tahu? Ketika kamu menangisi semua semua yang hilang karena tekanan hidup itu diatas sajadah, saya sedang coba untuk berpikir waras. Berpikir dengan logika bahwa dengan hidupnya saya yang sering sekali sakit-sakitan, akan menambah beban finansial lebih banyak lagi. Saya sangat waras, bahkan ketika memutuskan untuk menjual bagian-bagian tubuh saya yang bagi orang kaya berharga. Atau memutuskan mengakhiri hidup untuk memotong pengeluaran yang kamu tanggung.

Saya mau jual apa saja Bunda, jual ginjal, jual selaput dara, jual rahim. Apa saja yang cepat menghasilkan uang untuk menutup mulut orang-orang yang pernah menggedor-gedor pintu rumah yang kita sewa. Penuh dengan peristiwa mencekam Bunda, dan ini adalah suatu proses yang harus kita lalui dan tidak akan berhenti dengan hanya do'a. Mungkin do'a menahanmu dari segala kegilaan dan bertahan pada kewarasan. Bunda, kita semua mengalaminya, memahami rasanya dan sama-sama menderita.

Ketika itu saya pikir dirimu punya rumah untuk saya. Hingga saya ditawari batu untuk diikat diperut agar saya merasakan hamil sembilan bulan yang menggambarkan bahwa saya sudah sangat amat kurang ajar ketika mengaku hal yang bahkan melukaimu saja tidak. Dan kamu dengan amat sangat murka mengusir saya seraya berkata,

"Kamu bukan anak saya."

Sejak saat itu saya mengerti, bahwa tidak ada rumah untuk saya. Tidak dimata Bunda, tidak ada apa-apa disana. Tidak dimata adik saya. Saya tersesat sejak saat itu, terseok-seok untuk mencari rumah bagi saya bernaung, dimana saya merasa aman, saya dapat menjadi diri sendiri dengan jujur, saya dapat benar-benar merasa 'pulang', merasa hangat, merasa terselamatkan.

Lalu saya menemukan kamu, tiga tahun lalu berdiri dengan mata cemerlang memamerkan senyum dibalik jendela. Menawarkan saya berbagi tempat untuk pulang. Dan karena hal itu saya selalu saja tidak sabar untuk pulang dan bertemu kamu. Kamu rumah saya. Tempat saya bernaung, tempat saya merasa aman, tempat saya menjadi diri sendiri dengan jujur, tempat saya merasa hangat, merasa terselamatkan. Tempat kita sama-sama menggeluti waktu, tertawa, bersatu, bertukar keluh, bertukar peluh.

Hingga suatu ketika, saya menemukan rumah tiba-tiba saja kosong. Saya menunggu dan menunggu, menunggu kamu untuk pulang. Hingga saya pikir tidak ada gunanya menunggu. Lalu saya mendengar laju motormu mendekati. Bukan, bukan ke rumah ini. Bukan ke sini lagi...

Terluka dan kecewa untuk kesekian kalinya dalam hidup membuat saya mengemasi semua barang-barang, walau tidak ingin saya harus pergi dari rumah ini. Ternyata rumah ini hanya penampungan sementara. Padahal saya tidak ingin cinta untuk sementara. Lagi, saya harus terseok-seok mencari tempat untuk pulang. Saya tidur dijalanan, dibangunkan oleh teman saya, mereka bilang saya boleh menginap barang dua atau tiga malam ditempat mereka selagi saya mencari rumah yang hilang.

Terima kasih...

Beginikah sulitnya ketika kamu kehilangan tempat untuk pulang? Seakan-akan kaki mu tidak dapat diam pada tempatnya untuk berisitirahat sejenak, namun terus berlari, berlari tanpa arah hingga kamu benar-benar tersesat. Tersesat dan kehilangan arah. Ke dalam hutan gelap tanpa hewan. Lalu teman-temanmu dari jauh memanggil-manggilmu, menyalakan obor agar kau tahu arah. Kamu masih terseok-seok. Terseok-seok menemukan jalan pulang. Mirip seperti kucing tiba-tiba dimasukkan dalam karung, lalu dibawa entah kemana. Dibuang. Ketika karung terbuka, dunia sama sekali asing bagimu...


Bebas berbeda dengan tersesat, Sesat berarti bingung,
Bingung menyita pikiran, mencoba untuk keluar dan
Merasakan lagi sebuah kehangatan dan rasa aman
Sebuah perlindungan dari kehampaan.

Dunia tidak selalu sama, bagi tiap orang yang menjejakinya
Apakah kita ada karena kita memang ada,
Atau kita ada karena ada dirinya?
Terpujilah orang yang benar-benar ada...

Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Rumah...

Perjalanan terasa menyakitkan, ketika luka di kaki
yang belum sembuh dipaksa berjalan di atas kerikil tajam,
mengulum senyum dalam duka dan bertanya
apakah aku diinginkan?

Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Rumah...

Bali


Saya kembali lagi ke Pulau Dewata ini. Jika dulu yang pertama adalah tragedi yang kedua ini, bagaimana saya harus gambarkan yah? Ada komedi, ada tragedi, ada kekonyolan. Baiklah mari kita mulai saja ceritanya.

Saya cium bau laut ketika saya turun di Bandara. Bohong saya. Cuma karena saya kangen sekali dengan laut. Daerah wisata pertama saya adalah laut, ketika saya kecil. Ayah yang membawa saya ke sana, dan tidak di sangka hal itu mengingatkan saya akan dirinya lagi, padahal sudah genap tiga tahun berlalu semenjak kematiannya. Entah mengapa seperti ada angin dingin merasuk ke dada yang telah bolong. Saya terlalu lama kehilangan figurnya semenjak saya bisa mengingat.

Seperti biasa, kami langsung menuju ke salon. Wajah saya masih sama, sama pucatnya karena terlalu banyak bergadang, kesulitan tidur kerap datang semenjak saya pindah ke Bekasi, kota koboi yang sepi. Karena Bekasi suka tiba-tiba direnggut oleh malam gelap yang sebenar-benarnya gelap. Cuma ada tukang roti yang nongkrong dipinggir komplek yang kerjanya bersiul ketika melihat perempuan lewat. Dan disebelah sana sedikit lagi ada banyak kumpulan gembel dengan penghasilan kotor empat juta satu bulan, jauh lebih besar dari kuli tinta di majalah fashion ABG yang pernah saya lamar.

Dunia itu selalu tidak adil. Tidak adil padamu. Padanya. Pada mereka.

Hei, saya kan ada di Bali. Bali, yang sudah penuh wisatawan asing itu. Entah dari mana-mana mereka datang yang dianggap sangat menguntungkan perekonomian kota ini. Dan dengan entah apa tujuan mereka datang. Kalau boleh saya tebak, sebagian besarnya adalah untuk bersenang-senang.

"Bli, nanti kita habis dari hotel boleh antar ke Legian...?" tanya teman saya yang memang asli Bali. Bli adalah sebutan Bali untuk Mas atau Abang yang dipakai di propinsi lain.

Legian adalah tempat yang ramai, kalau boleh saya bandingkan mirip Kemang di Jakarta, kawasan pertokoan dengan merek-merek luar negeri yang teman saya ngiler untuk membelinya. Saya lebih tertarik melihat toko-toko kecil yang menyediakan produk lokal. Melihat apa saja yang mereka jual.

Banyak toko tato bertebaran, ada Bli yang menawarkan saya Mushroom...saya berhenti.
"Berapa?" saya tanya padanya.
"Seratus lima puluh ribu aja..." katanya.

Alaaaah...terlalu mahal buat kantong saya, terlalu mahal untuk mabuk dengan nikmat malam itu. Belum saya tawar teman saya sudah bawel mau masuk ke toko. Okelah oke oke. Kami berempat dengan perbedaan etnis yang sangat mencolok itu harus selalu bersama-sama. Saya yang tidak punya tujuan apa-apa di Bali selain bekerja, hanya ikut saja. Tadinya sepanjang perjalanan saya celingak celinguk mencari musisi jalanan bernyanyi indah layaknya di Yogyakarta, namun nihil. Padahal saya pernah menonton pertunjukan musik jazz berbayar dimana musisinya menggabungkan alat musik modern dengan alat musik dari Bali yang menghasilkan harmoni yang membuat mata saya berbinar karena terpukau. Mana itu disini...? Hmmmhhh, saya jadi merasa hampa.

Tanpa terasa langit menarik selimutnya yang berwarna hitam, seolah-olah memerintahkan manusia untuk menyalakan penemuan yang tadinya berawal dari pencurian ide dan berhasil lebih dulu dipatenkan, yaitu bola lampu. Orang Perancis dan Jerman banyak yang protes melihat namanya bertengger sebagai penemu bola lampu. Saya pun mustinya protes karena disuruh menghafal bahwa namanya lah yang tercatat di buku sejarah saya, pertanyaan pada soal ulangan umum 'siapakah penemu lampu pijar?' yang harusnya saya isi 'masih misteri'

Sudahlah. Biar Tuhan yang balas perbuatan itu (hal itulah yang sering saya dengar dari mulut banyak orang yang akhirnya berhasil menahan beberapa orang untuk balas memukul, balas memaki, balas membunuh, balas menyiksa. Nilai yang tidak saya punya).

Tiba-tiba Kuta-Legian bukan hanya diselimuti kegelapan, rintik-rintik hujan jatuh dengan serunya dari langit menghantam tanah dengan keras dan menghamburkan orang-orang dari jalan, sehingga mereka mencari perlindungan ditempat-tempat yang kira-kira terlindungi. Jika saya tidak ingat bahwa saya sakit kala itu, saya mau mandi hujan saja... rindu kesenangan masa kecil dimana menyambut hujan seperti menyambut kegembiraan yang tak tertahankan.

Lalu akan kemanakah kita?

DUGEEEEM!!

Okelah saya ikut saja, sebenarnya saya lebih tertarik mencari pertunjukan musik sederhana dimana saya dapat melihat permainan gitar dan alunan suara yang apik. Tapi tak apalah, DJ juga sebuah permainan musik. Saya bisa tongkrongin DJ boothnya melihat tombol-tombol penghasil suara apa saja disana. Setelah berdebat sedikit akhirnya kami masuk sebuah klub. Masih sepi karena masih pukul sepuluh.

Isi klubnya sebagian besar adalah orang asing dengan dansa yang meracau tanpa konsep yang jelas. Jika boleh saya tebak, mungkin karena setengah botol anggur sudah dia tenggak sendirian.

"Lemon tea lemon tea..." teman saya berteriak heboh menyodorkan minuman ke mulut saya yang langsung saya seruput karena saya haus. Sial. Long Island. Mabuk dengan cara yang tidak enak hanya akan meninggalkan migrain parah bagi saya besok pagi. Mereka hanya cekikikan karena berhasil membohongi saya.
"Besok fashion show sinting, gue gak mau mabok ah, ntar gue belet diomelin.." ujar saya.
Saya melihat sekeliling dan sadar, kami menjadi orang asing di negeri sendiri karena terlalu banyak bule di Bali dan hampir seluruh klub ini isinya bule baik di lantai satu maupun lantai dua.

Musik berdentum-dentum. DJ mulai memainkan lagu-lagu yang sering saya dengar dan memang mengajak saya bergoyang, contohnya Bad Romance Lady Gaga dan Black Eyed Peas dengan Good Good Night. Salah satu teman saya tersiksa karena tak dapat bergoyang dengan bebas karena agamanya melarang dia (sebenarnya masuk ke dalam klub saja dia dilarang...) untuk berpesta macam itu. Saya juga sebenarnya tidak suka konsep clubbing, konsep pesta karena hal-hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memang punya uang yang necis dan bergaya. Seakan-akan dengan pestalah ada kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan mungkin saja ada disana, disitu, di kamu, di saya yang menghibur kamu atau kamu menghibur saya dengan kata-kata lucu yang memancing gelak tawa.

Seorang bule menghampiri saya, bertanya nama dan asal saya. Yang sudah pasti saya isengi.
"Nama siapa?" tanyanya.
"Hai, Marni..." saya menyambut tangannya untuk menjabat tangan saya.
"Where you from?" tanyanya lagi.
"Suriname..."
Lalu dia mengangguk-angguk sok ngerti padahal mungkin dia bingung. Dia berasal dari Perancis dan karena saya meracau antara bahasa Inggris-Indonesia yang sengaja saya buat serumit mungkin hingga akhirnya dia pergi. Baguslah, sungguh saya sebenarnya sedang bangun dunia saya sendiri sekarang, tapi kamu datang tanpa saya undang.

Pukul sebelas malam kami pulang ke hotel, hujan masih mengguyur lebat. Sampai disana ternyata kamar yang kami minta satu lagi belum diurus. Alhasil kami harus urus sendiri. Lelah dan memang selalu kekurangan nutrisi atas badan saya yang kurus ini, kami masuk kamar. Teman sekamar saya gelisah. Mengecek Blackberrynya berulang kali. Saya tahu dia masih mencari, mencari orang yang sudah hilang.

Ini adalah hari terakhir teman sekamar saya untuk ikut kami keliling tiga belas kota. Saya sedih, karena jarang ada orang seperti dia. Dia orang gila, saya orang gila, kita cocok. Dengan sikap pro lesbiannya yang kadang membuat saya ngeri karena dia suka melihat perempuan cantik dan kadang mengelus-elus paha saya, hahahaha... Ven, i will miss you a lot. I'll spent my night at your place, i will. Just wait for my message!

Semarang Marathon Yogyakarta

Senin ini saya akan bertolak ke Semarang, menjalani serangkaian pekerjaan rambut lagi. Melelahkan karena saya hanya bisa melangkah melewati kota-kota tersebut tanpa bisa mengakrabkan diri dengan apa yang ada di dalamnya, dingin sekali. Padahal dengan akrab kita bisa hangat.

Senin pagi, menuju Kampung Melayu sama dengan macet. Setelah mencoba naik bis, satu-satunya angkutan yang menuju ke sana. Saya turun setelah selama 500 meter bis itu hanya berjalan-jalan santai sementara saya diburu waktu. Saya turun dengan koper saya yang besar, lalu memanggil sebuah kendaraan siap tempur dikala macet, OJEK! Untuk jarak dekat dikala macet dan sangat dibutuhkan, Ojek dapat pasang tarif mahal. Lima Belas ribu. Sial. Saya pun jadi menyalahkan produsen mobil, saya menyalahkan pemerintah yang mengijinkan begitu banyak mobil beroperasi, menyalahkan orang yang terlalu banyak uang sehingga memutuskan untuk membeli mobil, menyalahkan saya yang pernah berpikir untuk membeli mobil.

Ayo Abang lariiiiii!! Saya semangati tukang ojek agar ngebut dalam mengendarai motor, agar saya cepat sampai di tempat saya akan dijemput. Saya sudah ditunggu, saya ini orang penting. Minggiiiir semuanya minggiiiiiir, saya orang penting. Kira-kira itulah yang akan saya teriakan jika saya bersuara. Menumpahkan seluruh ekspresi saya pada apa saja.

Setelah ngebut selama dua puluh menit, saya akhirnya sampai, sudah ditunggu, tunggu dulu, bukan taksi?? Aaaaagggh ternyata susah sekali cari taksi disini. Kami maju sedikit searah ke mangga dua karena akan mampir sebentar disana. Menghentikan taksi dengan semena-mena, turun dari mobil dengan semena-mena, membuat orang lain berpikir kami semena-mena. Hei, kami panik, bukan semena-mena! Hehehehe

Akhirnya kami naik taksi menuju mangga dua. Ada orang gila disitu. Orang gila karena cinta, dimakan cinta, tenggelam dalam cinta. Selamat datang di dunia yang busuk kawan! Dia naik dan mengulum senyum lebar kepada saya, padahal saya tahu hatinya sedang hancur berantakan. Saya tahu kawan...

Bandara masih disitu, masih sama belum pindah. Di Cengkareng. Sebenarnya dia akan tersiksa pergi ke bandara yang penuh kenangan maka itu dia selalu mencengkeram blackberrynya yang jika rusak mungkin dia akan panik karena kehilangan arah dan tujuan. Benda itu mirip GPS untuk hatinya.

Kami tertawa padahal kami hancur, apa yang coba kami bangun dari sana? Sebuah obat? Benarkah demikian?

Pekerjaan ini tidak nikmat, karena terlalu banyak konflik didalamnya, membuat saya ingin egois karena hanya ingin memikirkan masalah saya sendiri. Namun sebuah hubungan itu butuh perjuangan, begitu kata teman saya. Begitupun hubungan dengan rekan kerja. Haaaah membuat saya ingin menonton My Name is Khan. Karena sepertinya tokoh di film tersebut punya konflik sama dengan saya yang terisolir ini.

Seperti yang saya bilang, kita tertawa dan kita kelelahan setelahnya dan lalu butuh lebih banyak tertawa lagi sampai kita tidak tahu nikmatnya tertawa. Seperti morfin. Seperti makan kebanyakan lalu muntah, seperti yang palsu, seperti itulah dunia.

Setelah lelah dan kesulitan tidur datang lagi. Saya bekerja lagi esok harinya, bekerja dan bekerja untuk membunuh waktu yang kadang-kadang seolah-olah jahat karena menyempilkan waktu istirahat buat saya. Harusnya kamu buat saya saja seperti robot, agar saya cepat aus dan rusak dengan engsel-engsel yang terlepas karena tak mampu lagi untuk bergerak. Karena begitu tujuannya kita dibuat, dibuat, dikonsumsi, lalu rusak dan dibuang. Begitu pula kita lahir menuju mati. Semuanya berakhir pada lubang yang sama.

Yogyakarta mengingatkan saya pada keramaian sebelum puncak kemarahan berbulan-bulan lalu. Yogyakarta mengingatkan saya pada kehilangan setelah kenikmatan dan hangat yang dirasa. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa semua orang sudah beranjak dewasa dan punya hidup masing-masing. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa mereka sibuk. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa saya seharusnya jadi orang utan di tengah kota....


-dari semarang dan yogya beberapa waktu lalu-

Bogor sehabis hujan


Sore itu di Bogor. Ramalan cuaca mengatakan bahwa kota kecil ini akan disambangi hujan deras. Betul saja, sesuai namanya, kota hujan yang sekarang mungkin sudah jadi dua julukan, kota hujan dan kota macet. Bogor sering macet. Kami menunggu hujan reda disebuah tempat yang kira-kira kokoh melindungi. Tahan terpaan angin dan air.

Kira-kira dua puluh menit dengan lagu-lagu yang bertebaran disepanjang waktu tersebut, diantara hujan yang menerpa kaca-kaca bangunan, diantara hembusan nafas dari makhluk-makhluk yang hidup, diantara kata, diantara canda, diantara tawa, diantara marah, diantara duka, hingga kembali lagi pada tawa.

"Lihat ada rusa" ujarnya.

Saya jika melihat binatang, entah kenapa jadi merasa sangat akrab dan dekat. Ada kira-kira 5 ekor rusa disana, berdiri ditanah berlumpur yang basah karena hujan barusan. Mereka sibuk merumput dan lari jika saya mendekat. Dia tertawa, entah menertawakan saya atau rusanya. Saya bilang saya ini mungkin dulunya binatang, buktinya saya lebih suka menegur binatang daripada dia. Tertawa lagi. Tertawa melulu, memangnya saya sule??

"Rambut kamu aneh."
"Memang, ini untuk cari uang."
"Hmmm...mau makan?"
"Enggak, kamu?"
"Mau, saya mau makan rusa itu"
"Gak boleh mereka teman-teman saya"
"Sejak kapan jadi teman?"
"Sejak sekarang, oh lihat! Itu ada yang tanduknya hilang..."

Saya tunjuk seekor rusa jantan tanpa tanduk dengan sisa luka yang masih basah. Kasihan, kira-kira kenapa ya?

"Kalau teman tanya dong, kenapa tanduknya bisa hilang?"
"Ngejek ya? Saya kan gak bisa bahasa rusa..."
"Lho gimana kamu bisa tahu mereka teman sementara mereka tidak pernah mengungkapkan hal itu kepadamu?"
Kata-katanya ada benarnya juga, tapi saya tidak mau kalah.
"Bahasa saya bahasa cinta..."
Lalu dia tertawa terbahak-bahak.
"Serius..."
Seketika dia diam. Lalu memandang mata saya sedikit lama dan kemudian memalingkan muka. Apa yang dia cari? Apa yang kamu cari disana? Ada apa disana?
"Ya ya ya..." ujarnya sambil tersenyum. "Ada luka, ada cinta..." gumamnya.

Ketemu.
You read me like a book.
I hate it.
I hate to be lame right now.
I hate myself.
I hate all of it.

Kami berjalan lagi, menelusuri tempat lain, jauh dari rusa memandangi jalan yang lalu lintasnya telah kembali sibuk. Hei, hidup ini dagelan. Jika saya utarakan itu dia pasti akan setuju. Karena dia sudah kenyang menertawakan hidupnya yang jauh dari lapar. Dia kenyang dengan kelaparan yang bertubi-tubi menyambanginya tiap hari.

"Saya mau makan..."
"Makan apa?"
"Makan cinta?"
"Hmmm...bisakah?"
"Entah..."
"Bolehlah daripada makan anjing"
"Daripada makan ayam"
"Daripada makan babi"
"Daripada makan sapi"
"Daripada makan ular"
"Daripada makan tikus"
"Daripada dimakan..."
"Dimakan?"
"Kamu, dimakan cinta"
"Dimakan apa?"
"Tenggelam dalam hatimu sendiri yang membesar dan kamu tidak tahu bagaimana membawanya hingga kamu kesulitan untuk bergerak."
"Shit, you read me a lot!!"
"Ssssh...gak perlu teriak-teriak kan."
"Saya kesal dengan kamu dari tadi."
"Kenapa? Because I read you like a book?"
Damn!

Saya tinggal dia disana dengan kamera yang masih bertengger ditangannya. Mengingatkan saya bahwa gambar-gambar yang seharusnya beku dan indah dipandang menjadi hilang karena memorinya segera terhapus oleh waktu. Namun, langkah saya terhenti dan kembali menghampirinya.

"Kamu benar, I hate myself."
"Let it be then..."


-Bogor, sehabis hujan-

note : mimit kamu taulah saya ini...

Berangkat dari Cibinong

Akhirnya kesampaian.

Kesampaian juga berangkat kerja dari Cibinong. Hasilnya?? Jika pada waktu normal hanya butuh waktu perjalanan selama 45 menit dari Cibinong ke Bekasi namun pagi ini, di hari Senin pagi ini butuh dua jam lamanya karena disertai macet dan kegerahan karena saya naik bis kaleng yang tanpa AC, tak apa, berarti saya tidak dipersalahkan ikut andil dalam global warming?? Hahahaha.

Sampai di kantor semuanya bertanya.
"Kamu belum mandi...?"

Memang benar saya belum mandi. Hahahaha. Tenanglah tidak perlu tutup hidung, saya tidak bau kok, karena jaringan lemak saya sangat tipis jadi saya jarang sekali bau badan. Terakhir saya bau badan itu SMP. Hahaha. Disaat saya jarang mandi sepulang saya bermain basket. Memang saya jauh lebih kurus dari masa saya SMP dulu. Berat saya sekarang 44 kilo sementara dulu 49 kilo.

Sudahlah jangan disesali...jangan disesali 5 kilo yang hilang itu. Tinggi saya sekarang 175cm sementara sepertinya berat badan saya 44 kilo jika memang tidak turun drastis. Bisa kamu bayangkan kurang berapa kilo dari berat badan normal? Kira-kira sepuluh kilo pun masih belum terlalu ideal. Tuh kan saya jadi berbicara tentang berat badan lagi...seharusnya dilupakan saja.

Hari ini aneh.
Anginnya aneh.
Sinar Mataharinya aneh.
Baunya aneh.
Semuanya aneh.
Saya pun orang aneh. Karena lebih banyak menegur kucing dibanding manusia...

Pada pagi hari saya teringat harus pergi ke suatu tempat namun saya urungkan. Karena saya banyak hutang artikel hari ini. Ayolah otak bekerja. Seharusnya kamu bekerja sekarang. Bukan hanya bengong memandangi komputer yang berkedip-kedip berganti layar karena terlalu sering kamu pandangi tanpa sentuh.

Eh itu teman saya mengirimi saya pesan. Teman yang rumahnya saya tiduri, numpang tidur, numpang makan, numpang ee. Ada ketakutan dalam diri saya bahwa saya akan kehilangan dia lagi sebagai teman karena kebodohan saya. Belum apa-apa saya sudah takut lagi. Membuat saya berpikir bahwa seharusnya saya jangan menyusahkannya empat hari kemarin. Karena jika dia pergi pun saya sama sedihnya dengan empat hari lalu. Begitupun dengan yang lain jika mereka pergi saya akan kembali jadi orang hutan ditengah kota, bukan manusia.

Semoga tidak.

Menjelang sore, anginnya aneh. Aneh hingga harus merasuk ke dalam diri saya. Membuat sesak, namun ketika saya coba menghela nafas panjang semuanya jadi kembali seperti basa. Ramalan teman saya benar. Saya masuk ke tahap kedua. Apakah setelah tahap ini saya akan baik-baik saja?

Tiba-tiba saja saya ingin menggagas menjadi orang utan di tengah kota. Sebelum semuanya menghilang. Mungkinkah? Mungkin. Saya pernah menjadi orang utan di desa. Masak tidak bisa jadi orang utan di kota. Atau saya serahkan diri saja ke kebun binatang agar bisa satu kandang bersama Kumbo? Tapi terkungkung. Saya mau jadi orang utan yang masih bisa naik angkot. Masih bisa naik pesawat. Masih bisa sewa kamar kos. Masih bisa ketemu cemong...

Ohiyah...saya lupa saya rindu cemong. Cemong apa kamu rindu saya? Saya pulang...

-ditulis sambil buru-buru pulang setelah sebelumnya mendengar The Beatles - Let it Be-

Libur Panjang

Libur panjang. Jika sebagian besar orang memilih mudik, saya juga. Mudik dari Bekasi menuju Cibinong. Sebelumnya mampir di rumah teman saya di pasar minggu. Dimana disana ada maaf, ada kebesaran hati, ada arti bahwa dia ada disini untuk saya. Saya yang seharusnya tidak dia berikan maaf karena sudah terlampau tidak peduli sebagai sahabat.

Sudah tiga hari berturut-turut saya menginap dikamarnya sampai-sampai si adik yang biasa tidur bersamanya berceletuk spontan
"Ga pulang-pulang ini orang??"
Saya tertawa namun merasa bersalah pula. Jadi sejak itu saya bertekad harus pulang. Kadang saya iri dengannya karena tampaknya dia selalu tahu apa yang harus dia lakukan. Dia terlihat percaya diri, sedangkan saya mungkin tidak.

Sore itu saya melakukan perjalanan pulang ke Cibinong dengan tiga kali sambung angkot. Jalanan terasa asing karena saya jarang pulang. Saya mampir di Apotek sebentar, tempat Ibu saya membuka usaha. Hei itu ada banyak anak-anak anjing lucu. Mereka sangat menggemaskan dan ramah. Jika saya harus mendeskripsikan ramah pada binatang, berarti mereka jinak, gampang didekati dan disentuh.

Anak-anak anjing itu sudah tumbuh lebih besar daripada saya terakhir bertemu mereka. Sudah tidak berkutu karena sudah dimandikan dan diberi obat. Semua orang sayang dan gemas melihat mereka yang tinggal berjumlah empat ekor tersebut. Sebelumnya ada tujuh ekor anak anjing, termasuk satu dari anak anjing lain yang diadopsi karena Ibunya didakwa menggigit orang dan kemudian berakhir menjadi masakan di panci. Kasihan dan tidak manusiawi memang. Apa itu cuma anggapan saya yang aneh ini??

Rasanya waktu tidak akan habis jika bermain bersama mereka. Saya pergi sebentar untuk membelikan Ibu saya camilan karena sekarang Ibu saya tukang makan. Beda dari dia yang sepuluh tahun yang lalu. Sudah gemuk, tidak lagi kurus kering macam saya sekarang ini. Mungkin nanti jika waktu mengijinkan, saya juga akan gemuk!! Semangat! Hahahaha...

Saya kehilangan energi karena kelelahan yang semu. Entah mengapa rasanya lelah terus. Padahal kerja saya cuma berpikir, berpikir dan berpikir. Bukan seperti kuli bangunan yang angkat-angkat berkarung-karung tanah, bukan petani yang mencangkul sepanjang hari, bukan atlet yang latihan terus tiap hari. Lalu mengapa saya lelah? Harusnya saya menertawakan diri sendiri jika saya lelah.

"Jangan tidur terus, itu namanya bukan manusia, itu sampah." seorang teman mengingatkan saya untuk bangkit. Saya mau tanya apakah saya manusia apa bukan, dia sudah jawab...

"Masih bisa merasa sakit, merasa senang, itu manusiawi. Masih bisa menangis, itu manusiawi..."

Saya ngeri juga sama orang ini lama-lama...Hahahaha. Dukun kali dia.

Saya beruntung dikelilingi orang-orang yang bersedia saya susahkan akhir-akhir ini. Dan mereka berharap saya punya pijakan yang kuat untuk diri saya sendiri, karena hal itu memang harus lahir dari diri sendiri. Saya harap mereka memaafkan saya karena untuk saat ini belum bisa...Tapi nanti pasti...


-merasa bodoh dan tolol sendiri, ditulis sambil merindukan cemong yang mungkin saja tidak merindukan saya-

terimakasih nita,aal,nata :)

Medan

Naik taksi?? Aaaah mahal! Saya sebal jika pilihan saya hanya naik taksi, tak perlulah naik taksi, bisa naik mobil kalong atau bisa numpang mobil orang?? Hahahaha. Kenapa orang selalu berpikiran negatif jika ada perempuan ditawari tumpangan? Tapi tidak pernah berpikiran seperti itu kepada laki-laki?? Tidak adil.

Badan saya terasa lemas ketika melangkahkan kaki keluar dari kos-kosan. Saya memang sudah tiga hari ini merasa tidak sehat. Tubuh saya menjerit-jerit meminta saya beristirahat sementara percikan neuron dalam otak memaksa saya untuk selalu bangun dan berpikir. Jadilah saya putuskan memakai taksi dari kos saya menuju kuningan untuk kemudian dilanjutkan ke bandara, itupun karena saya punya voucher taksi.

Saya tertidur didalam taksi, kedinginan, padahal saya sudah memakai sweater. Hari ini penampilan saya aneh bin ajaib, dengan terusan bunga-bunga beserta cardigan hitam bunga-bunga pula, legging dan sepatu boot, membuat saya merasa seperti Loona Lovegood yang aneh. Tapi tak apa saya aneh, karena saya adalah saya. Telepon berdering ketika saya tertidur diantara jalan yang padat dan macet. Saya menjawab dengan lemah, saya bilang bahwa saya sudah di dalam perjalanan. Lalu telepon disudahi. Saya bertanya pada supir taksi,

”Sudah sampai mana pak?” tanya saya.
”Sedikit lagi sampai kuningan... tidur aja lagi mba...” dia kasihan melihat saya yang kurus gepeng tak berdaya ini rupanya.

Saya akhirnya sampai ke kuningan. Sebelum saya turun sang supir taksi bertanya apakah saya bekerja di dalam gedung ini, saya bilang tidak, walau saya bilang tidak dia menitip pekerjaan sebagai supir tetap, selain jadi supir taksi. Saya minta nomer teleponnya, bertekad mencarikannya pekerjaan baru yang mungkin saja lebih baik daripada supir taksi. Saya berbicara sendiri, berangan-angan berbicara dengannya. Bapak, sebenarnya semenjak kemarin saya banyak melewatkan kesempatan untuk membalas perbuatan baik dari orang yang saya tidak kenal. Hari ini saya simpan nomer telepon bapak, saya akan carikan, doakan saya dapatkan pekerjaan untuk bapak ya...

Kami berganti taksi untuk pergi menuju Bandara. Ini masih terlalu pagi dan kami bertiga tertawa, menertawakan kebodohan. Saya tertawa diantara beban deadline yang menumpuk dan tidak saya mengerti karena tidak ada teman untuk berdiskusi. Pesawat kami yang menuju medan tertunda selama dua puluh menit. Sedari tadi saya mengantuk karena saya mengonsumsi obat tidur semalam. Efeknya masih terasa sekarang.

Ini pertama kali dalam seumur hidup saya menginjakkan kaki ke Medan. Namun karena saya kesini untuk bekerja bukan berkeliling, jadi mungkin hanya sedikit saya bisa cerita tentang hal yang unik-unik.

Masih seperti kemarin, kami langsung ke salon begitu mendarat, melakukan glasi resik dan fitting baju lagi. Karena waktu luangnya lebih banyak, kami pun memutuskan untuk pergi makan terpisah dari kru. Kami berputar-putar naik becak yang jika di Medan becak dikemudikan dengan motor. Menyenangkan? Biasa saja, jauh lebih menyenangkan ketika saya dulu kecil dan tidak khawatir terhadap apapun.

Makan-makan diluarnya singkat. Lalu dengan taksi kami kembali ke hotel, dan itu kamar kami di bagi dua. Saya punya partner yang pas untuk tidur dengan tidak menyalakan AC. Badan saya rontok karena serangan yang bertubi-tubi, hingga saya sepertinya anoreksia akut sekarang dan butuh istirahat serta penanganan medis secara berkesinambungan. Tapi saya kan’ enggak punya uang.

Singkat. Sekejap.

Kami sudah mau pulang, menunggu pesawat jam enam. Dari hotel selesai acara fashion show dan di kritik karena tak terlihat bersemangat, jika dulu saya dapat kritik itu saya akan bersemangat, namun perasaan menggebu-gebu ini sudah hilang. Punyakah saya semangat yang baru?

Tiba-tiba, saya ingin tinggal satu atap dengan teman-teman saya yang lain. Supaya ketika saya bangun, saya tidak merasa asing dan sendirian. Namun hal itu mustahil kan? Mustahil dari kultur kita saat ini... Mustahil karena saya orang yang jahat...

Misi yang gak mungkin...

Bandung

Saya pergi dengan sejuta harapan dan hati yang tenang...
Matahari masih mengintip, syukurlah, karena jika ia sudah keluar dengan garang, saya bisa kehabisan energi menghadapi marahnya.
Keluarlah dari rasa ketakutan karena kamu akan meninggalkan zona aman...

Ratusan kilometer terasa jauh akhir-akhir ini. Rasanya mau menyerah karena lelah.
Saya bekerja keras memang untuk uang. Untuk sebagian kecil bayar hutang ayah saya yang tertinggal sebelum dia meninggal. Dia benar-benar melakukan sumpahnya meninggalkan kami tanpa apapun, disaat kami harusnya bisa punya sedikit untuk tidak terseok-seok menjalankan hidup.

Tak apalah ayah...kamu sudah berusaha, namun dengan cara dan jalan yang salah saja. Anggap saja kami tumbal...dalam kehidupan selalu ada yang harus dikorbankan (katanya begitu - walau saya tidak setuju).

Siang berganti malam, saya masih berada pada kondisi menyenangkan namun sedikit khawatir. Bagaimana caranya saya dapat keberanian untuk keluar dari semua ini?
Ketika tengah malam pun semuanya dapat di jawab...

Tidak ada yang menyangka saya dapat kehilangan segala sesuatunya termasuk kewarasan. Saya pikir saya tidak waras. Seperti anak kecil mengamuk karena tidak dibelikan mainan. Hahahah jadi lucu jika diingat lagi.

Saya melalui fase mengamuk ketika anak-anak, membuat Ibu saya berpikir bahwa saya kesetanan. Lalu saya menjelma jadi malaikat berkerudung yang sebenarnya hanya pencarian jati diri yang pincang. Hingga akhirnya saya menemukan diri saya kembali, menjadi manusia yang kosong dan siap diisi.

Saya menyesal menganggap bahwa semua ini terlalu kekal. Padahal saya tahu tidak ada yang kekal. Sebenarnya, seharusnya saya menertawakan diri saya sendiri. Namun saya terlalu malu untuk melakukan itu.

Mrs Dalloway menertawakan saya keras-keras. Dia bilang seharusnya kita menghabiskan waktu berdua sedari kemarin untuk makan jamur di pinggir pantai batu karas. Menjadi intim dengannya lalu berpelukan di dalam air.

"Suruh siapa kamu ragu-ragu terhadap saya??!!" kata Mrs Dalloway kecewa, dia jadi marah dan mengancam bahwa semuanya akan berakhir dengan cepat. Begitu katanya, tapi saya tidak percaya karena dia orang yang penuh tipu muslihat. Ketika waktu itu saya nyaris terjebak oleh ajakannya.

"Saya harus jaga singa..." ujar saya

"Alasan!!" bentaknya. "Kamu punya sejuta alasan!"

"Saya benar-benar harus jaga singa, orang utan, penyu dan lumba-lumba...Saya harus jaga mereka..." ujar saya sambil menangis.

"Kamu..." ujarnya dengan nada bergetar karena marah, "Kamu akan menderita!" Mrs Dalloway masih disana, marah sambil menangis.

"Maafkan saya..." ujar saya lemah. "Mungkin kamu bisa ajak saya nanti...kamu tahu keadaan saya...kamu bisa ajak saya...nanti..."

"Kamu...hiduplah..." ujarnya sambil mengecup saya manis.

-dirubah penuh hari ini-

3 Trilogi Surabaya

Saya tidur seranjang berdua dengan teman model lainnya. Untunglah ranjangnya muat. Walau tidak nyenyak yang penting saya tidur sebentar. Pukul setengah enam pagi, saya terbangun. Telepon berdering menyuruh kami semua bangun dan siap-siap. Iya, saya sudah bangun. Air panas, kalian siap untuk menimpa tubuh ini sehingga aliran darahnya terpompa untuk bekerja?? Siap??

Saya sudah siap, memakai baju yang kemarin saya ganti di bandara. Kami pun turun ke bawah untuk bersiap di rias dan rambut kembali diseterika. Kasihan sekali rambutku, saya membunuhmu pelan-pelan ya?

Para penata rias berbicara dalam bahasa surabaya yang saya tidak mengerti. Jadi jika saat itu mereka mengatai saya bodoh, tai, monyet atau kata-kata kasar lainnya, percuma, karena saya tidak mengerti. Jadi mereka buang-buang tenaga. Lalu kenapa juga mereka harus bilang harus bilang saya bodoh, tai dan monyet? Kenapa? Entahlah kenapa saya berpikir demikian.

Itu kami, dengan lipstik merah gelap, mata penuh dengan pewarna berwarna hitam ketika saya berkaca saya nyaris terlihat seperti vampir. Biarlah. Rambut saya pun sudah tidak normal. Bulu mata saya ditambah hingga dua lapis, membuat kantuk kembali menyergap. SAYA INGIN TIDUR. Tapi tidak bisa.

Ternyata bekerja begini melelahkan. Saya yang kurang gizi ini pun dengan cepat merasa kelelahan, lesu dan tampak tidak bergairah. Baiklah, itu kami sudah berada di belakang panggung, bersiap-siap untuk tampil sebagai model pembuka. Rambut yang tadi sudah rapi kembali ditutupi dengan rol palsu warna-warni. Kaki saya yang memar sudah dibubuhi foundation yang terlihat makin belang karena warna kulit saya berbeda dengan warna foundationnya.

Bodo amat.

Yang penting saya kerja sekarang. Cepat selesai. Cepat pulang menuju kos-kosan yang meski panas namun itu kamar saya tempat saya tidur, memakai baju dan berkaca. Tempat saya menjadi saya. Jujur, saya butuh sandaran. Saya rindu kucing saya yang bisa menimbulkan senyum itu. Saya juga butuh orang...

Pukul dua siang, kami sudah bisa kembali ke kamar untuk menghapus riasan dan beristirahat. Tadi kami sudah makan setelah show berakhir, saya sebenarnya masih ingin makan, namun rasa lelah dan kantuk mengalahkan semuanya. Jadi, ketika teman-teman lain memilih untuk berjalan-jalan di waktu senggang. Saya memilih untuk tidur di kamar yang penuh dengan koper. Kamar itu memang difungsikan untuk ramai-ramai karena kamar lainnya sudah diputus masanya. Saya sendirian. Sebenar-benarnya sendirian, oh tidak, ada Sonny ketika saya bangun, sedang beres-beres peralatan salonnya.

Waktu terasa lambat karena kemacetan melanda jalan menuju bandara. Belum lagi, setelah kami tiba di Bandara, teman saya yang hamil harus melalui serangkaian administrasi. Singkatnya, setelah keriwehan itu semua, kami pun duduk manis menunggu pesawat untuk mengudara. Lamaaaaa sekali pesawat untuk mengudara dan mendarat. Kami sampai bosan melihat landasan pacu.

Malam sudah menyelubungi langit dengan warna hitam bertabur gliter alias kerlip bintang. Walau saya dapat hadiah voucher taksi, saya tetap nebeng dengan teman saya yang searah. Agar voucher taksi dapat digunakan pada pagi buta seperti waktu itu. Yang aneh, model ada empat, voucher taksi diserahkan cuma tiga. Apa maksudnya?? Silahkan simpulkan sendiri, yang jelas saya tidak suka.

Saya sampai dikos-kosan setelah berjibaku dengan jalan raya dengan mandiri, tabah dan kuat karena diiringi hujan serta mengangkat-angkat beban ini sendirian. Sekali lagi jika saya kaya, tanpa pikir seratus kali saya akan naik taksi. Namun saya bukan kaya, saya berjuang, saya dibawah, saya spesial, mungkinkah?

Tidak mungkin.

Karena saya tidak spesial.


-ditulis sambil mendengarkan soundtrack origin dan sangat merindukan laut-

2 Trilogi Surabaya

Naik pesawat membuat telinga berdengung dan pusing karena beberapa guncangannya, saya malah tidak bisa tidur. Sudahlah saya menyerah. Saya cuma bisa memejamkan mata tanpa tertidur karena saya tidak suka sensasinya. Seperti saya tidak suka jika disuruh cium bau kentut. Satu jam adalah lama perjalanan Jakarta-Surabaya. Yeay! Akhirnya kita semua sampai. Dengan selamat, tadinya sih jika pesawat itu jatuh juga tidak apa-apa. Saya siap mati kok kapan saja.

Setelah makan roti diatas pesawat, kami pun sarapan lagi dibandara karena harus menunggu barang-barang yang menyusul. Cukup lama kami disana, bahu membahu menghabiskan kentang goreng, roti isi, dan satu cangkir teh manis hangat. Perut terasa bergejolak namun hasrat untuk buang air besar belum terlalu merongrong.

Kami meluncur menuju salon, perjalanan rupanya cukup jauh. Lelah rasanya. Mau tidur. Namun sampai disana kami langsung 'dieksekusi'. Perut yang makin tidak karuan ditambah bau obat kimia yang sangat mengganggu rasanya bisa buat kehamilan seseorang keguguran. Ups, maaf saya berlebihan. Teman saya yang lagi hamil tampak baik-baik saja atau kita lihat hasilnya setelah anaknya besar?

Beginilah kronologis eksekusinya. Rambut saya dicuci, lalu ditempeli krim-krim yang sangat bau tadi hingga saya tidak bisa menikmati sekarton susu coklat, sebuah cemilan ataupun makan siang yang menggiurkan karena terlampau memuakkan. Setelah 40 menit berlalu, hasilnya WALAH rambut saya jadi lurus rus rus. Jika hal ini terjadi 6 tahun lalu, mungkin saya akan sangat senang karena saya sedang benci-bencinya dengan rambut keriting yang dimiliki. Namun kini saya sedang bangga dengan rambut ikal, malah diluruskan. Hah, tuhan memang tidak adil.

Setidak adil bahwa lambung saya tidak dapat menerima makanan sehingga saya menjadi kurus kering. Padahal saya ingin gemuk. Setidak adil bahwa saya punya nyawa tapi terasa sia-sia (curcoooool lagi). Setidak adil nasib. Memang tidak adil!

Setelah mengalami penyiksaan pelurusan karena bau kimianya, rambut saya itu kembali dicuci, lalu diwarnai. Dalam hati saya berkomat-kamit baca mantra semoga saja hal itu membantu mempercepat waktu dan penderitaan ini. Diantara waktu yang berlarian, saya pun sibuk menelepon saudara tiri Ibu saya yang kebetulan tinggal di dekat kota Surabaya. Rupanya dia berada di gresik. Mengapa saya sangat ingin bertemu dia? Dialah yang membiayai kuliah setelah saya cuti, hingga saya lulus. Saya berhutang budi padanya hingga kapanpun.

Ketika dia merasa kesal karena saya tidak dapat bertemu dengannya, entah kenapa saya merasa sedih sekali hingga menangis. Saya tidak ingin menyusahkan orang-orang yang sudah baik kepada saya. Untungnya dia bisa mengerti bahwa saya datang ke kota itu bukan untuk main, tapi untuk kerja. Untunglah.

Lama sekali rambut semua model dieksekusi, termasuk saya. Pukul enam petang kami baru keluar dari salon untuk gladi resik. Sungguh saya lelah dan tertekan sehingga tidak dapat memakan apapun. Sementara koreografi rumit diulang-ulang karena kami semua mulai kehilangan fokus akibat terlalu lelah. Itu Tante saya sudah menunggu saya bersama suami dan anak-anaknya.

Sudahlah, cepatlah, saya mau bertemu mereka. Mau berbincang sebentar dengan mereka. Lalu akhirnya selesai juga. Saya bertemu mereka sebentar. Sejujurnya, saya sangat lelah. Ingin mandi dan tidur karena sedari tadi belum beristirahat sedikitpun. Lalu mereka mengajak makan. Ketika saya tolak, terlihat raut kecewa di wajah mereka.

"Ayolah tami, kamu tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam dengan mereka, paling lama satu jam...mereka sudah menempuh perjalanan dua jam bolak-balik untuk menemuimu, ayo tami, jangan menyesal lagi untuk kesekian kalinya."

Berbekal semangat dan rasa sayang saya mengorbankan segala raga yang telah lelah ini, untuk ikut mereka berputar-putar. Tadinya saya pikir makanan berbentuk sup dapat masuk dengan lancar memenuhi lambung saya. Namun, ternyata tidak juga. Rawon daging yang terlihat menggiurkan ketika saya sehat dan lambung baik-baik saja, porsi sekarang rasanya bisa saya santap habis. Namun ketika alarm 'muntah' menyala ketika saya menyendok, saya dengan terpaksa tidak menghabiskannya.

Lagi-lagi muka mereka kecewa. Namun tidak apa-apa mereka kecewa, daripada mereka khawatir ketika saya muntah secara spontan??

Akhirnya mereka kembali antar saya ke hotel. Mungkin saya terlihat tidak sabar untuk sampai. Memang. Saya tidak sabar untuk memeluk kasur. Namun sebelumnya saya harus mandi karena badan rasanya lengket dan basah dengan keringat. Untung siraman air panas ini membuat badan saya sedikit rileks.

Saya siap tidur. Ayolah mata terpejamlah. Tidak bisa. Saya tidak tenang. Seperti layaknya segala aspek hidup saya membayangi, berjubelan di otak saya. Ayolah saya hanya ingin tidur dengan tenang. Mereka makin berdesakan, andai kata pikiran punya beban secara nyata, saya yakin kepala saya tidak akan beranjak dari lantai karena saya tak kuat mengangkatnya.

Tidurlah...

Bersambung

Trilogi Surabaya

Ini bukan ritual debus atau pesugihan ketika saya mandi pukul dua pagi. Bukan juga menjadi seseorang yang religius untuk meneruskan setelahnya sholat tahajud. Saya mau jualan rambut saya ke Surabaya, sementara tiket pesawat saya menandakan bahwa pukul lima saya sudah harus berada di sana. Di bandara Soekarno-Hatta, betul, yang jauh itu, sangat jauh jika harus jalan kaki.

Mata masih mengantuk, karena sebenarnya saya insomnia, susah sekali tertidur nyenyak. Entah karena beban pikiran, entah karena panasnya udara jakarta sementara kipas yang baru dibeli lima bulan lalu 'meninggal' secara tiba-tiba, diagnosa saya bahwa terlalu banyak debu di motor penggeraknya rupanya salah. Sayang sekali, saya bukan dokter.

Sedari kemarin saya sudah menyiapkan satu buah travel bag (maaf saya sok kebarat-baratan) maksud saya tas besar untuk bepergian, untuk menampung semua kebutuhan saya mulai dari celana dalam, alat-alat mandi beberapa baju ganti yang saya beli dengan harga murah, karena saya suka yang murah. Hidup murah!!!

Pukul tiga pagi.

Saya pamit, sama rekan kosan yang kebetulan terbangun. Sama kucing saya, namanya cemonk yang patuh untuk tidur diberanda kos-kosan. Kucing pintar. Malah cemonk antar saya sampai tempat sampah, sampai dia sadar bahwa saya bukan hendak memberinya makan tapi hendak pamit. Saya sudah komat-kamit bilang bahwa saya mau ke Surabaya, tapi dia tidak mengerti juga. Maklumlah saya belum belajar bahasa kucing.

Gelap. Langit begitu gelap, saya dibantu berjalan dengan beberapa penerangan yang berpendar lemah. Sampai di depan sebelum jalan raya, portal tertutup rapat. Disamping portal ada sedikit jalan keluar, kayu-kayu tersebut menutupi got dibawahnya biasanya tempat itu dipakai berjualan pada pagi hari.

Saya memang sial.

Kenapa diantara kayu-kayu lain yang kokoh, saya menginjak kayu yang rapuh dan tidak terpaku rapih? Kenapa?? Apa memang orang yang selalu sial itu ada di dunia, seperti film korea yang bertajuk "SEE YOU AFTER SCHOOL" dimana pemeran utamanya selalu tertimpa sial. Seperti saya pukul tiga pagi ini dan saya pada masa-masa lainnya.

Kamu tidak akan bisa membayangkan pose saya saat itu. Terlalu ekstrem untuk dijelaskan. Cuma ada bukti memar dan luka gores disepanjang betis sebelah kiri. Tenang, saya masih bisa berjalan. Masih bisa berjalan sepanjang 300 meter ke depan untuk mencari angkutan umum yang saya sendiri ragu untuk bisa menemukannya atau tidak.
Mungkin kamu bertanya apakah saya tidak ngeri untuk berjalan sejauh itu sendirian di pagi buta? TIDAK! Hahaha biasa saja. Tidak. Saya lebih takut ketemu kuntilanak walau saya pun takut juga jika bertemu rampok. Namun hal berikutnya yang saya lakukan mungkin akan lebih mengejutkan.

Sebuah mobil bak terbuka hitam, bentuknya mirip mobil kalong yang pernah saya naiki ketika akan pulang ke depok pada tengah malam. Saya pikir dia akan mengambil penumpang, ternyata tidak. Supirnya masih muda, dia dan temannya berdua. Saya waspada, tetap waspada karena citra kota Jakarta yang tidak aman ketika malam, banyak rampok, banyak setan, banyak yang jelek-jelek ketika malam tiba, padahal siang juga banyak yang jelek.

Supir mobilnya menawarkan saya untuk menumpang mobilnya karena sudah malam. Sejujurnya, jika saya kaya, saya lebih baik naik taksi hingga sampai dibandara. Namun terlalu sayang menghabiskan uang sebanyak 200 ribu hanya untuk transportasi sedangkan dengan uang sebegitu banyak saya bisa makan selama 10 hari atau uang segitu adalah 3/4 uang kos saya. Maka itu saya tempuh jalur yang berbahaya. Saya pun menumpang dengan mobil tersebut. Rencananya hanya sampai saya menemukan angkot. Namun sial, angkot tidak ada satupun yang lewat.

Mobil masih melaju, supirnya bilang mau mengantarkan saya ke terminal rawamangun. Waduh, jalan mobilnya cepat sekali. Pikiran negatif bertebaran sepanjang saya berada dalam mobil tersebut. Saya perhatikan jalannya, benar, ini jalan menuju Rawamangun. Tak berapa lama kemudian saya pun sampai dengan selamat di terminal Rawamangun.

Supir dan temannya yang sangat baik hati itu, saya beri sepuluh ribu, setelah saya pikir, jumlah itu sebenarnya kurang. Saya tega sekali memberi mereka segitu. Sungguh saya bodoh.

Saya naik Damri yang sudah nangkring dibarisan paling depan. Saya pikir akan lama mereka ngetem, namun ternyata beberapa menit berikutnya mereka sudah jalan. Wah masih pagi sekali! Saya terlalu rajin, membuat saya menyesal, andai saya tidak terlalu takut terlambat, saya mungkin tidak akan terperosok, mungkin bisa naik angkot dan tak perlu was-was.

Lalu lintas pada pagi buta di hari minggu jika mau digambarkan adalah seperti layaknya hati saya sekarang, kosong. (Hahaha Curcol). Jika pada hari biasa yang siang benderang dengan kemacetan luar biasa, perlu waktu setidaknya tiga jam untuk sampai di Bandara. Namun kini? Hanya sekitar 45 menit saja. Membuat saya menyesal karena tidak memanfaatkan waktu tersebut untuk kembali tidur, namun malah bersms dengan orang-orang yang saya anggap penting saat itu.

Saya sudah sampai Bandara. Wah ternyata ada banyak orang. Saya menuju tempat favorit (lagi-lagi bahasa inggris), toilet (lagi-lagi!!!). Setelah buang air kecil, saya pun mengganti baju dengan dress (Apa sih bahwa indonesianya dress, saya malu sebagai orang indonesia tidak tahu!) hitam pendek. Biar kelihatan seksi? Bukan. Biar saya dapat mengobati luka kecil ketika saya terperosok tadi dengan salep yang sebenarnya lebih tepat digunakan untuk luka bakar. Lukanya agak memerah dan sedikit membiru.

Rasanya saya mau tidur, badan terasa sakit semua. Namun belum bisa. Saya menunggu tiga teman yang lainnya. Mereka belum datang, saya pun duduk untuk menelepon Ibu saya, agar dia tidak khawatir. Saya benci membuat orang khawatir, terutama orang yang sudah susah dengan masalahnya sendiri. Diantaranya Ibu saya. Tenang saja Ibu, saya sudah besar dan dapat menjaga diri sendiri.

Singkatnya. Setelah teman-teman saya datang dan tim rambut dari Jakarta pun tiba. Kami berangkat.

Saya sudah lama tidak menggunakan pesawat untuk bepergian. Jadi saya sedikit norak dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh saya yang langsung ditertawakan teman-teman lain. Saya tidak marah. Saya tidak malu. Saya berbeda. Saya berjuang. Sementara mereka hanya menjalani. Saya berbeda. Saya spesial. Mungkinkah?


Bersambung....