Rabu, 05 Mei 2010

Belajar Bicara

Hari sudah berangsur sore, pukul tiga, namun matahari masih terik membakar semua orang yang berada di terminal Pulo Gadung hari itu. Bau pesing menguar, seakan itu ciri khas semua terminal di Ibukota.

Ada seorang Ibu dan dua anaknya, laki-laki dan perempuan yang masih kecil dalam sebuah angkot. Anak laki-laki itu lebih tua dari adik perempuannya yang tertidur lelap dipangkuan Ibunya.

Angkot lama berhenti mencari penumpang, kadang mobil digas sedikit agar calon penumpang tertipu bahwa angkot yang ini akan segera jalan. Mobil masih berhenti, bukan dipinggir jalan, melainkan di tengah, membuat pengendara lain merasa marah, membunyikan klakson sekencang-kencangnya hingga telinga terasa pekak.

Udara panas menguap di dalam angkot, membuat sang anak laki-laki gelisah dan merengek. Sang Ibu tidak peduli atau pura-pura tidak peduli. Si anak makin gelisah dan mungkin juga kesal karena kepanasan, airmatanya menumpuk di pelupuk mata. Ingusnya mulai ditarik ulur lewat dengusan hidungnya. Mobil akhirnya jalan dengan sang supir menggerutu karena tak ada penumpang. Si supir memacu mobil sekencang-kencangnya untuk melampiaskan rasa kecewanya.

Sang anak masih kepanasan, merengek karena kekesalannya tertahan. Ia mulai gelisah, tidak duduk dengan baik atau bisa dibilang sedang mengamuk kecil. Sang Ibu habis kesabaran dan tidak mengerti dengan perilaku si anak, ia pun memukulnya. Si anak balas memukul. Lalu dipukul lagi. Balas memukul. Sepanjang perjalanan menuju Kampung Melayu mereka saling memukul, tentu sang Ibu menang, tenaganya lebih kuat.

"Mati aja kamu! Mati!" ujar sang Ibu kepada sang anak sambil memukul kepalanya keras.
Mendengar 'kerusuhan' di belakang tempatnya mengemudi, si supir bertanya

"Ada apa si??"

"Tau nih..." ujar sang Ibu yang sekarang sedang memberi minum anak perempuannya yang sudah terbangun. Ternyata si supir adalah ayah dari dua anak itu dan suami dari sang Ibu.

"Udah! Turun aja sana!!" ujarnya kasar kepada si anak laki-laki. Tiba-tiba saja...

"Udah..."
Satu bogem mentah melayang ke pipi si anak laki-laki dengan tenaga penuh.
"Dibilang!"
Dua
"Jangan nakal!!!"
Tiga, empat...

"Udah pak, sabar..." seorang penumpang laki-laki mencoba menenangkan.

"Dilempar aja kamu ke jalan!!" lalu tubuh si anak laki-laki dihempas, namun tidak ke jalan. Sang Ibu diam saja berwajah datar, begitupun adik perempuannya, seolah pemandangan ini adalah biasa. Tak ada gurat ketakutan atau pun iba pada wajah mereka.

"Sabar Pak..." penumpang laki-laki tadi mencoba menenangkan kembali sebelum dirinya turun.

Sang anak laki-laki pindah tempat duduk untuk menghindari dirinya kena pukul lagi. Tak ada lagi tangis di matanya, namun ada sisa luka disana yang suatu saat akan melahirkan amarah dan dendam.

Dia adalah satu dari jutaan anak Indonesia yang dibesarkan dengan kekerasan, tekanan psikis dan fisik. Yang akan tumbuh dengan kekerasan dan akhirnya akan selalu mengancam dan memukul tanpa punya kesempatan untuk belajar menggunakan cinta untuk bicara. Hingga kapan mata rantai ini akan berakhir?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar