Senin, 31 Januari 2011

Upacara Bendera

"Tes tes satu dua tiga...tes satu..."


Suara dari pengeras suara terdengar sayup-sayup. Kualitas pengeras suaranya sungguh buruk karena jika orang tersebut bicara dengan cepat kalimatnya tidak dapat didengar dengan baik. Kini matanya sudah terbuka dengan baik, namun ia memutuskan untuk tetap berbaring sambil mendengarkan suara yang sempat menganggu tidurnya tadi.


Sudah sebulan ia menyewa kamar di sini. Sebuah tempat kos yang dapat dicapai melalui gang kecil yang hanya dapat dilalui satu motor. Jika malam gang tersebut sedikit menyeramkan karena kadang lampu di jalan sempit tersebut tidak dinyalakan. Padahal, kiri-kanannya terhampar luas lahan tidak terpakai yang isunya akan segera dibangun gedung pencakar langit lainnya.Hanya ada tiga rumah, termasuk rumah kosnya, dalam radius lima ratus meter dan sebuah rumah kosong yang atapnya sudah melapuk dan runtuh dimakan usia serta cuaca.


Tak jauh dari sana ada dua buah sekolah dasar yang digabung. Tiap hari senin dan kamis tidurnya selalu terganggu akibat bunyi gemeresak pengeras suara yang semena-mena seakan-akan sengaja mengarah ke kamarnya yang berada di tengah-tengah, diantara dua kamar lainnya, di lantai dua, dua kamar lainnya kosong kalau kamu mau tahu. Kos ini lama tak ada peminat hingga dirinya datang.


Ibu dan bapak kosnya sudah tua, mereka pasangan Tionghoa dengan logat pasundan yang kental. Bapak kos punya tato di lengan kanan dan kirinya, tidak banyak, tidak menyeramkan kok. Sementara ibu kos suka menjahit di kamar bawah dan terlihat terampil dalam memeliihara tanaman. Buktinya, tangga menuju kamar kos dihiasi pot-pot berisi aglonema cilik dengan bunga berwarna shocking pink yang menyegarkan. Kala hujan turun ia suka menggoda bunga-bunga tersebut dengan bilang bahwa mereka pasti senang karena bulir-bulir air sudah datang.


"Kelas satu sampai enam, SD 09 dan 07, beserta paduan suara, lencang depan grak! Hayooo yang masih menyentuh bahu temannya beri jarak, mundur-mundur...Lepaaaaas grak!", suara kembali terdengar dari pengeras suara.


Ia tersenyum sambil berbaring, apakah ia yang kelewat tidak updated dengan lingkungan sekitar atau memang berbeda saja, setahunya tidak ada lepaaaaas grak! Yang ada tegaaaak grak! Namun jika ini yang dinamakan keberagaman, ia akan merayakannya dengan sukacita.


Saat itu kira-kira sudah pukul tujuh, upacara bendera sudah dimulai dengan aba-aba dari petugas upacara. Ketika bendera merah putih sudah dikibarkan, ia kira ia akan mendengar suara anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya, namun tiba-tiba suara paduan suara dari kaset rekaman terdengar lantang. Lho? jadi buat apa ada paduan suara? Dahinya berkerut-kerut ketika ia masih berbaring. Seremoni masih berlangsung hingga tiba saatnya pembina upacara naik ke atas podium untuk berceramah. Minggu lalu seingatnya perempuan yang berkhotbah, hari ini? Ternyata masih orang yang sama, ia dapat mengenali suaranya.


"Anak-anakku yang ibu sayangi, ibu senang sekali hari senin ini upacara sudah berlangsung lebih hikmat dari minggu lalu. Upacara bendera itu bukan hanya berdiri saja, tapi melatih kedisiplinan. Pakaian harus lengkap, yang tidak lengkap barisannya dipisah . Pemimpin upacaranya sudah lumayan dibanding minggu lalu. Protokol upacaranya tapi masih kurang, jangan asal tampil, sebelum tampil butuh latihan. Selebihnya sudah bagus. Tepuk tangaaan duluuuu.", lalu suara tepuk tangan terdengar riuh susul menyusul.


"Kemudian, ibu minta kepada SD 09 tolong, tempat sampah di luar kelas jika sudah penuh pindahkan ke tempat sampah yang lebih besar, jangan biasakan buang sampah di kolong meja. Nah, masalah mengerjakan tugas, tolong jika punya PR jangan dikerjakan pagi-paginya di sekolah, kerjakan pada malam harinya. Bilang sama orang tua, bahwa saya punya PR yang harus dikerjakan. Janji anak-anak??", lalu suara anak-anak serentak bilang 'Janjiiiii"


Loh kenapa musti berjanji?


"Kurang keras suaranya!", lalu suara anak-anak terdengar jauh lebih keras. "Ingat, janji adalah hutang. Hutang harus dibayar, mengerti anak-anak??"


Loh loh ini malah terdengar mirip ancaman.


Setelah itu khotbah selesai. Upacara kemudian dilanjutkan hingga selesai. Ia kini terduduk di atas tempat tidurnya. Merenungi apa saja yang sudah ia dengarkan. Apakah benar upacara bendera adalah gerbang menuju kedisiplinan? Kedisiplinan memakai seragam lengkap dengan aksesorisnya, biasanya harus disertai dasi dan topi serta sepatu hitam. Lalu bagaimana siswa yang topinya hilang dan ia hanya punya satu topi? Sedangkan ia tidak mampu untuk membeli topi lagi. Lalu bagaimana jika si murid hanya punya satu sepatu berwarna hitam dan karena kemarin hujan, sepatunya belum kering, bolehkah ia upacara dengan bertelanjang kaki? Akankah ia dihukum karena melakukan itu? Lalu kedisiplinan macam apa itu?


Lalu untuk apa ada paduan suara jika masih memutar kaset Indonesia Raya? Apakah anak-anak jaman sekarang tidak ada yang hapal lagunya? Atau mereka hapal namun karena mungkin fals jadi lebih baik pakai kaset saja? Aaah banyak yang bikin dahinya berkerut-kerut pagi ini.


Lalu kenapa dia malah tidur lagi? Bukannya segera bangun, mandi dan siap-siap berangkat kerja? Ia masih ingin memimpikan minggu yang berjalan terlalu singkat. Ia ingin meredam kekhawatirannya akan apapun yang dapat menyerangnya saat ini. Ia ingin istirahat sejenak sebelum kembali melihat kegilaan Jakarta. Motor dan mobil yang semena-mena, kadang ia lepas kendali dan memukul pengemudi yang tidak tahu malu. Naiknya harga makan siang dalam sehari yang dilakukan penjual makanan eceran untuk para pekerja kerah biru. Kedinginan dan kekurangan cairan. Memikirkan mengapa Katolik harus menikah dengan Katolik, Islam dengan Islam, Ahmadiyah dengan Ahmadiyah? Ia akan kembali pada kegilaan itu dalam satu jam lagi, kini biarkan ia tertidur sebentar yah...

Rabu, 12 Januari 2011

Bioskop Itu Sudah Hancur, Ayah...

Hari itu masih cukup pagi, sekitar pukul sebelas. Lalu lintas bersahabat jika matahari sudah agak tinggi, jalanan di Jakarta tidak penuh mobil seperti layaknya pagi hari orang-orang sub-urban berjuang dengan yang lainnya untuk mencapai daerah urban. Bulan itu di tahun 2010 saya masih tinggal di daerah sub-urban yang cukup padat lalu lintasnya yaitu Buaran, Jakarta Timur. Saya menyewa sebuah kamar di mana suhu dapat naik menjadi 27 derajat Celsius, sangat panas. Pelajaran cukup ampuh bagi orang-orang yang malas mandi macam saya, karena gerahnya bukan main.

Saya ijin dari kerja hari itu, untuk datang ke sebuah interview di daerah Kemang. Cukup jauh dari sini, namun ongkosnya tidak mahal. Delapan ribu saja bolak-balik, dengan catatan tidak kemalaman. Kopaja saja tidak perlu taksi, saya benci pendingin. Taksi cuma cocok untuk pindahan dan menuju Bandara jika dapat tiket gratis (bagi saya).

Seragam saya hari ini adalah kemeja beserta rok dan sandal abu-abu semata kaki. Ada ikat pinggang agar rok tetap pada tempatnya, karena saya sangat kurus. Setelah naik kopaja nomer 52 hingga sampai di stasiun tebet, perjalanan dapat dilanjutkan menuju Kemang dengan kopaja nomer 612. Perjalanan alot pun di mulai…

Bis tidak terlalu penuh, karena itu si supir berjalan sedikit demi sedikit mencari penumpang, istilah teman saya ‘seubin-ubin’. Walau tersendat, kendaraan ini tetap jalan. Satu penumpang naik sebelum bis mencapai Balai Sudirman. Arah sebaliknya, kendaraan sama lapangnya untuk menjelajah aspal, hei andai saja Jakarta begini setiap hari, mungkin tingkat stress dapat dikurangi diantara warganya, sehingga tidak ada lagi supir tidak sabaran yang menggerutu ketika seorang nenek mencoba turun dengan hati-hati. Mau tonjok mulutnya jika dia bilang,

“Adooooh cepet Buuuu!!”

Tapi tentu saja, saya kan terlalu pengecut untuk melakukan itu, kewarasan membatasi semuanya. Haaaahhh andai saja saya ini nekat.

Kopaja berwarna hijau ini meneruskan perjalanan. Ada lagi satu penumpang naik, ini daerah mana saya lupa, entah masuk kecamatan Tebet atau Manggarai. Seperti biasa, di dekat jendela yang terbuka, angin menerpa wajah ketika bis berjalan. Hal ini cukup menghibur meski sepi, sms juga jarang ada yang masuk, karena kebanyakan kaum muda sekarang menggunakan BBM atau YM untuk berkomunikasi, layanan ini gratis selama kamu terkoneksi dengan internet. Sulitnya mempertahankan diri dalam ritme social hari ini.

Tiba-tiba saya dikejutkan dengan suatu pemandangan yang memilukan. Mungkin bagimu ini biasa saja, ini hanya sebuah bangunan hancur yang biasa kamu lihat di Jakarta – banyak bangunan hancur entah pemiliknya bangkrut atau memang tidak terpakai. Saya mengenali dia sebagai tempat dulu dimana kami sekeluarga pernah pergi nonton bersama. Ketika saya kecil, pergi menonton ke bioskop adalah hal yang langka, karena film yang diputar juga kebanyakan untuk remaja dan dewasa.

Kepala ini bagai diketuk palu, lalu bangunlah memori yang tadinya tertidur lelap diantara lipatan neuron, tidur dalam damai namun tidak terlupakan. Macam orang disiram air dia, bangun tergagap-gagap, terkejut dan kesulitan bernafas selama beberapa detik lamanya. Dan mulailah ia bercerita, berputar seperti film menerpa layar putih.

Bangunan bioskop kembali utuh seperti semula, dinding luarnya sengaja tidak dicat memamerkan bata-bata merah yang membuat bangunan menjadi mudah dikenali. Pelataran parkir saat itu nyaris penuh dengan mobil-mobil tahun 1990-an dan di sebelah kiri berdiri tiang yang kemudian dipasang poster kain untuk memamerkan cover film yang diputar, biasanya dalam bentuk lukisan, bukan foto. Kami datang berlima. Ayah, Ibu, Kakak, Diriku dan Adik. Film yang di putar adalah Power Rangers. Belum ada teknologi VCD apalagi DVD pada masa itu, kalaupun ada, Laser Disc, namun alatnya masih sangat mahal.

Mengantri tiket butuh waktu yang cukup lama. Mungkin kamu yang hidup pada tahun 1990-an pun mengalami kejadian ini, mungkin saja kita pernah bertemu namun saat itu memang tidak saling kenal. Mungkin saja, karena dunia itu sempit.
Saya masih ingat perasaan saya malam itu. Senangnya bukan main. Rasanya mau lompat-lompat, namun pasti Ayah akan memarahi . Jadi saya tersenyum lebar-lebar untuk mengeskpresikannya. Saat itu usia saya kira-kira sembilan atau sepuluh tahun, sekitar segitu. Rambut keriting panjang. Badan kurus tinggi, sehingga orang-orang akan mengira saya berusia dua belas tahun.

Generasi tahun 1990-an dibesarkan dengan film superhero, kebanyakan berasal dari adapatasi kartun dan tokusatsu Jepang sebut saja Google Five, Ultraman, Power Rangers, Satria Baja Hitam, atau Sailor Moon. Tidak heran jika saya tumbuh menyukai film-film superhero hingga kini seperti Fantastic Four, X-Men, Hulk, Spider-Man, Batman, ah sebut saja yang lain, bahkan cerita bergambar Deni Manusia Ikan yang mengadaptasi jagoan-monster SWAMP pun secara berkala saya baca melalui majalah Bobo.

Ayah menawarkan Pop-Corn, kami menunggu dengan antusias ketika jagung goreng itu disajikan dalam kotak karton. Punya saya berhiaskan sirup hijau, rasanya manis dan ada rasa pahit diakhirannya. Adik memilih yang berwarna merah muda –warna favoritnya dulu, saya lupa kakak tiri saya pilih warna apa, namun apapun itu pasti dia habiskan karena dia suka makanan manis.

Sementara Ibu sibuk menyuruh kami berbaris menuju kamar mandi sebelum film mulai, agar tidak ada yang merengek meminta ke kamar mandi ketika film sedang mulai. Keluar dari kamar mandi saya bersemangat sekali, hingga rasanya nyaris ingin berlari masuk ke bioskop. Kami mencari tempat duduk, sulit untuk menjadi anak kecil dan disuruh tidak berisik ketika sedang sangat bersemangat. Ibu tersenyum sedikit dan duduk disamping anak-anaknya, para orang tua ini setia menemani kami agar ketika adegan berciuman tampil di layar mereka dengan sigap bilang,

“Ayoo, tutup mataaaaa…”

Namun biasanya saya mengintip. Nakalnya.

Film akhirnya usai, durasinya kurang lebih satu jam, akhirnya Power Rangers dapat menyelamatkan manusia dari ancaman monster-monster yang menyerang. Saya ingat masih tersenyum ketika meninggalkan bioskop, kami keluar dari gedung itu, lalu masuk ke dalam mobil kijang dan pulang…

Ah, saya terbangun dari kenangan. Gedung kembali rusak, lagi-lagi saya kutuki kewarasan yang mencekik kenekatan. Kenapa tak turun saja saya sebentar lalu lihat-lihat sambil pegang batanya yang telah hancur, kenapa tidak foto saya bersama gedung bioskop itu, kenapa sih saya terlalu banyak berpikir untuk melakukan sesuatu yang bagi saya berharga?

Dan sepanjang sore hingga malam, saya mengutuki diri ini…

*bioskop ini kenangan masa kecil dengan ayah saya yang kini sudah meninggal, jika dia masih hidup mungkin akan bilang begini “mari kita nonton film di bioskop dekat tebet…” lalu saya akan menghancurkan hatinya dengan bilang “bioskop itu sudah hancur, ayah…"

Jumat, 07 Januari 2011

Penjual hewan kurban yang berkorban

Udara terasa lembab siang itu di Jakarta Timur, matahari terik namun bisa saja tiba-tiba mendung. Biasanya jika langit nampak tidak konsisten seperti ini, hujan mungkin akan turun sore atau malam nanti. Di sebelah kiri jalan raya Radin Inten, ada lahan kosong, tadinya lahan-lahan ini terlantar begitu saja namun penampilannya bisa berbeda ketika menyambut hari Idul Adha yang akan tiba. Kini di sana dibangun pancang-pancang dari bambu, hingga menyerupai kandang dengan ditutupi terpal sebagai atap. Kandang tersebut dipenuhi sapi dan kambing yang diikat erat.

Bapak Sukiyo, biasa dipanggil bos oleh anak buahnya, muncul dari tenda yang berada di belakang hewan-hewan tersebut. Ia menghampiri anak bersama dua cucu perempuannya yang sedang duduk di bale -tempat duduk-duduk yang biasanya terbuat dari bambu- depan. Mereka sedang menikmati es krim yang dibeli dari restoran siap saji terdekat, Mc Donald. Jaraknya hanya dua puluh langkah, dekat sekali.

Bapak Sukiyo masih terlihat tegap di usianya yang mencapai 52 tahun, walau sudah tumbuh cukup banyak uban diantara rambut hitamnya, meski warna matanya sudah memudar, agak sulit menjelaskan warnanya namun bisa dibilang mirip abu-abu pekat dibagian pupilnya. Ia sudah punya tiga orang anak ,dua di antaranya sudah berkeluarga, dan tiga orang cucu, dua di antaranyasedang menjenguknya di sini, dipinggir jalan raya Radin Inten. Sehari-hari, ia punya sebuah kios yang menjual mainan anak-anak. Letaknya di seberang pasar Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Mainan-mainan tersebut merupakan produksi cina yang dibelinya dari Solo.

Ia datang dari Wonogiri dan menyambangi Jakarta Timur setahun sekali, menjual hewan ternak untuk kurban. Usaha ini sudah ia mulai sejak tahun 1990 di Kreo, Ciledug, Tangerang. Namun karena lahan yang makin menipis dan pengusaha yang makin marak, ia pun pindah. Akhirnya sapi dan kambing dibawanya kesini mulai tahun 2000 hingga sekarang. Ini usaha rame-rame. Dia dan empat belas orang temannya datang dengan menyewa truk puso, beserta sapi dan kambing. Mereka biasanya menetap sebelas hari untuk berjualan. Mereka mendirikan tenda dekat ternak untuk tidur, sementara mandi dan memasak dilakukan di sebuah rumah kontrakan yang disewa tidak jauh dari sana.
Sapi dan kambing yang dijual, dibeli di pasar Bulukerto di Wonogiri. Tiap tahun mereka selalu menyediakan 50 kambing dan 40 sapi yang memang sudah dipesan dari kenalan di Jakarta. Harga yang dibandrol bisa berbeda-beda, tergantung dari fisik si hewan.

“Misalnya lah yang dibelakang itu, tanduknya patah, biasanya kita jual dengan harga murah buat tukang sate,” ujarnya sambil menunjuk ke arah kambing yang dimaksud, anehnya, si kambing macam sadar diri, tadinya ia sedang mengusir-usir lalat dengan moncongnya, setelah ditunjuk ia berhenti dan melihat ke arah Pak Sukiyo.

“Tapi ya bedanya itu aja, kalau sakit ya ndak lolos, kan diperiksa. Pertama di dinas peternakan daerah, kemudian di Losari Jawa Barat, lalu ya sampe di sini diperiksa lagi,”

Harga sapi dimulai dari angka Rp9,5 juta- Rp12 juta per ekor. Sedangkan kambing berkisar Rp1,2 juta-1,7 juta per ekornya. Ketika ditanya masalah keuntungan, senyum malu-malunya merekah.

“Ya untung itu relatif yo mbak,”

Tak lama, tiga orang petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Timur datang. Dua petugas mengenakan baju dinas warna cokelat sementara yang satu lagi berseragam Satpol PP berwarna biru gelap. Hanya seorang yang membawa map untuk mendata ,sementara yang lain menunggu di pinggir jalan. Bapak Sukiyo menunjukkan surat dari Dinas Peternakan dan Perikanan yang sudah ditanda tangani 8 November 2010 lalu dan kini dipajang di bagian depan kandang dekat bale-bale tempat ia duduk tadi. Hewan yang dibawa berjumlah 94 ekor, 43 sapi dan 51 lainnya kambing, mereka semua dinyatakan sehat.

Setelah petugas tersebut melanjutkan untuk mendata usaha hewan kurban di tempat lain, empat orang laki-laki, berada di usia kira-kira empat puluh tahun, datang dengan dua motor. Mereka calon pembeli.

“Kambing sudah habis, sapi tinggal satu lagi pak,” ujar Pak Sukiyo menyambut mereka.

Di badan hewan-hewan ini macam buku yang baru dibeli saja, ditulisi nama si pembeli. Agar kelihatan, biasanya mereka menggunakan cat merah dan menamai badan si kambing dan sapi. Khalil. Jayadi. Zein. Toha. Taufik. Nama-nama tersebut terpampang jelas.
Para sapi dan kambing terlihat lesu, mungkin karena sudah dua kali mereka terpapar hujan dan terik bergantian selama sepekan. Bau kotoran hewan menguar. Jika hari ini hujan, berarti tiga hari sudah mereka terpapar hujan lagi. Hewan-hewan ini bisa terjangkiti berbagai penyakit; scabies atau kudis, pneumonia dan cacingan adalah hal yang lazim menyerang di cuaca penghujan. Gejala cacingan berupa bulu pada sapi berdiri, kulit kusam dan dubur kotor.

Sapi-sapi terikat dan sedikit berkubang di lumpur sementara kambing agak kesulitan untuk berbaring akibat ikatannya terlalu pendek. Tak jarang mereka menekuk kaki depan hanya untuk beristirahat sambil terus mengunyah rumput.
Pada sapi, tali pengekang dipasang menembus antara lubang hidung lalu disimpul hingga bisa mengekang kepala si sapi. Ah, melihatnya nampak memilukan, berulang kali si sapi menjilati lubang hidung dengan lidahnya yang besar setelah ditarik-tarik untuk dipamerkan pada pembeli . Kasihan sekali, padahal mereka mau dipotong, namun harus mengalami penderitaan yang demikian panjang.

Sebuah truk penuh sapi lalu datang, ternyata si pembeli pesan tiga. Ada tiga sapi di truk tersebut. Setelah dipilih dan menawar, si calon pembeli akhirnya memilih tiga sapi yang ada di truk tersebut. Kemudian si sapi dimandikan. Sementara yang satu, yang dari tadi belum laku, yang dari hidungnya selalu keluar lendir karena mungkin teriritasi tali tambang, selalu melenguh, terlihat gelisah.

Seorang pegawai memperhatikan si sapi yang melenguh terus, rupanya luka gores sepanjang tiga senti dibagian paha atas sapi kini selalu diganggu lalat. Ia kemudian mencari batang yang cukup kokoh, dicuil ke dalam lumpur yang sudah bercampur kotoran kemudian disapukan pada luka tersebut. Berhasil, si sapi menjadi lebih tenang.

“Resep orang desa mbak,” ujarnya.

Pak Sukiyo tinggal empat hari lagi tinggal di tendanya yang sempit, bersama empat belas orang lainnya. Atau mungkin lebih cepat jika si sapi yang tersisa sudah terjual esok hari. Langit kini berawan, arak-arak awan gelap mulai mendekat. Hujan pasti segera datang tak lama lagi.

Dalam hati saya berdoa agar sapi laku besok, kemudian yang akan memotong hewan tahu, bahwa 10 jam sebelum dipotong mereka harus terhindar dari stress, malah kalau bisa diperdengarkan musik jazz atau blues seperti yang dikatakan Eko Hendri, Dokter hewan dari Suku Dinas Peternakan dan Perikanan, Jakarta Selatan di kompas.com. Ketika hewan yang akan dipotong stress, pH akan meninggi, warna daging akan menjadi lebih gelap dan lebih mudah membusuk.

Ah, hujan!