Rabu, 05 Mei 2010

Semarang Marathon Yogyakarta

Senin ini saya akan bertolak ke Semarang, menjalani serangkaian pekerjaan rambut lagi. Melelahkan karena saya hanya bisa melangkah melewati kota-kota tersebut tanpa bisa mengakrabkan diri dengan apa yang ada di dalamnya, dingin sekali. Padahal dengan akrab kita bisa hangat.

Senin pagi, menuju Kampung Melayu sama dengan macet. Setelah mencoba naik bis, satu-satunya angkutan yang menuju ke sana. Saya turun setelah selama 500 meter bis itu hanya berjalan-jalan santai sementara saya diburu waktu. Saya turun dengan koper saya yang besar, lalu memanggil sebuah kendaraan siap tempur dikala macet, OJEK! Untuk jarak dekat dikala macet dan sangat dibutuhkan, Ojek dapat pasang tarif mahal. Lima Belas ribu. Sial. Saya pun jadi menyalahkan produsen mobil, saya menyalahkan pemerintah yang mengijinkan begitu banyak mobil beroperasi, menyalahkan orang yang terlalu banyak uang sehingga memutuskan untuk membeli mobil, menyalahkan saya yang pernah berpikir untuk membeli mobil.

Ayo Abang lariiiiii!! Saya semangati tukang ojek agar ngebut dalam mengendarai motor, agar saya cepat sampai di tempat saya akan dijemput. Saya sudah ditunggu, saya ini orang penting. Minggiiiir semuanya minggiiiiiir, saya orang penting. Kira-kira itulah yang akan saya teriakan jika saya bersuara. Menumpahkan seluruh ekspresi saya pada apa saja.

Setelah ngebut selama dua puluh menit, saya akhirnya sampai, sudah ditunggu, tunggu dulu, bukan taksi?? Aaaaagggh ternyata susah sekali cari taksi disini. Kami maju sedikit searah ke mangga dua karena akan mampir sebentar disana. Menghentikan taksi dengan semena-mena, turun dari mobil dengan semena-mena, membuat orang lain berpikir kami semena-mena. Hei, kami panik, bukan semena-mena! Hehehehe

Akhirnya kami naik taksi menuju mangga dua. Ada orang gila disitu. Orang gila karena cinta, dimakan cinta, tenggelam dalam cinta. Selamat datang di dunia yang busuk kawan! Dia naik dan mengulum senyum lebar kepada saya, padahal saya tahu hatinya sedang hancur berantakan. Saya tahu kawan...

Bandara masih disitu, masih sama belum pindah. Di Cengkareng. Sebenarnya dia akan tersiksa pergi ke bandara yang penuh kenangan maka itu dia selalu mencengkeram blackberrynya yang jika rusak mungkin dia akan panik karena kehilangan arah dan tujuan. Benda itu mirip GPS untuk hatinya.

Kami tertawa padahal kami hancur, apa yang coba kami bangun dari sana? Sebuah obat? Benarkah demikian?

Pekerjaan ini tidak nikmat, karena terlalu banyak konflik didalamnya, membuat saya ingin egois karena hanya ingin memikirkan masalah saya sendiri. Namun sebuah hubungan itu butuh perjuangan, begitu kata teman saya. Begitupun hubungan dengan rekan kerja. Haaaah membuat saya ingin menonton My Name is Khan. Karena sepertinya tokoh di film tersebut punya konflik sama dengan saya yang terisolir ini.

Seperti yang saya bilang, kita tertawa dan kita kelelahan setelahnya dan lalu butuh lebih banyak tertawa lagi sampai kita tidak tahu nikmatnya tertawa. Seperti morfin. Seperti makan kebanyakan lalu muntah, seperti yang palsu, seperti itulah dunia.

Setelah lelah dan kesulitan tidur datang lagi. Saya bekerja lagi esok harinya, bekerja dan bekerja untuk membunuh waktu yang kadang-kadang seolah-olah jahat karena menyempilkan waktu istirahat buat saya. Harusnya kamu buat saya saja seperti robot, agar saya cepat aus dan rusak dengan engsel-engsel yang terlepas karena tak mampu lagi untuk bergerak. Karena begitu tujuannya kita dibuat, dibuat, dikonsumsi, lalu rusak dan dibuang. Begitu pula kita lahir menuju mati. Semuanya berakhir pada lubang yang sama.

Yogyakarta mengingatkan saya pada keramaian sebelum puncak kemarahan berbulan-bulan lalu. Yogyakarta mengingatkan saya pada kehilangan setelah kenikmatan dan hangat yang dirasa. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa semua orang sudah beranjak dewasa dan punya hidup masing-masing. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa mereka sibuk. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa saya seharusnya jadi orang utan di tengah kota....


-dari semarang dan yogya beberapa waktu lalu-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar