Selasa, 06 Juli 2010

Ikan Sapu Sapu di Tanah Kering



Pagi itu, tumben. Tumben saya datang ke kantor jam 09.30 WIB (Waktu Indonesia dan Bekasi, hehehe). Meninggalkan kamar kos-kosan saya yang masih 'awut-awutan' karena kemalasan dan keacuhan saya akan kesehatan dan kerapihan. Biasanya saya langsung belok kiri masuk ke kantor yang lantai dasarnya jadi gudang susu, tapi kali ini saya berjalan lurus ke depan menuju warung nasi uduk yang biasanya nangkring di dekat kali. Tapi ternyata hari ini dia tidak ada, kemana si eceu itu? Seorang pedagang asongan memberi tahu saya untuk melihat di sebuah tanah lapang tidak berpenghuni yang dibatasi pagar. Tanah lapang tersebut terletak di belakang ruko tempat ruko-ruko tersebut berdiri. Sebenarnya tanah tersebut tidak sebenar-benarnya kosong karena ada bangunan yang terbuat dari tumpukan seng beserta MCK yang sangat kumuh, namun selebihnya tanah ini ditumbuhi ilalang liar yang mengurangi kegersangannya.

Saya membeli sebungkus nasi uduk seperti biasa. Lalu sebelum menuju kembali ke kantor, saya melihat untaian sungai berbusa yang lewat begitu saja di depan saya dan tiba-tiba saja saya berpikir, mungkin hal ini pula yang membuat saya membeli kamera digital. Harus ada tujuan yang bermacam-macam terhadap kamera itu, karena saya nyaris saja menjualnya kembali dengan harga yang dibanting sebab kehilangan pentingnya tujuan awal ketika membelinya.

Sungai dan busa yang lewat lalu jadi beku dalam LCD kamera digital saya. Saya berjalan sebentar, lalu menemukan hal yang janggal. Ada dua ekor ikan bertebaran di jalan yang gersang, tergeletak begitu saja tak berdaya, tak bergerak. Astaga, apa yang terjadi? Mungkinkah mereka keracunan sungai berbusa ini? Atas pertanyaan-pertanyaan dalam kepala saya tersebut maka saya bertanya.



“Pak, kenapa ikan ini berada disini”, saya bertanya pada dua orang yang duduk dibawah pohon yang cukup rindang dan memperhatikan saya dalam diam.

“Itu ikan sapu-sapu neng”, jawab si Bapak.

”Lalu kenapa mereka ada di sini Pak?”, tanya saya.

”Dibuang tuh sama yang mencari ikan di situ...”, lalu mereka menunjuk orang yang sedang menjaring ikan dengan pintu air.

”Oh kalo ikan sapu-sapu enggak bisa dimakan ya Pak?” tanya saya

”Enggak...”, jawab mereka santai sambil mengepulkan asap rokok.

Lalu jika ikan sapu-sapu tidak bisa dimakan, apa sulitnya mengembalikan mereka ke air lagi? Mengapa melempar mereka ke daratan yang sudah pasti membuat mereka mati perlahan? Saya kemudian memegang ekor si ikan sapu-sapu yang terkecil lebih dahulu, badannya sudah kaku, namun insangnya masih sedikit bergerak, saya pikir bahwa saya mungkin saja terlambat menyelamatkannya, namun lebih baik menceburkannya ke air, kadang alam punya caranya sendiri dalam menghidupi atau mematikan.

Beralih ke ikan sapu-sapu yang lebih besar, membuat saya berpikir bahwa mereka ini adalah Ibu dan Anak. Insangnya masih bergerak lebih cepat dari yang kecil, saya gembira, karena mungkin saja kesempatan hidupnya jadi lebih lama. Ironis, saya pernah ingin menceburkan diri ke laut untuk mengakhiri hidup, sementara saya disini selamatkan kamu ikan. Karena saya yakin binatang jauh lebih kuat daripada manusia. Mereka tidak pernah menyerah untuk bertahan hidup. Karena menurut saya dunia manusia terlalu rumit, terlalu banyak tipu muslihat, terlalu banyak kebohongan, terlalu banyak pencari pembenaran, terlalu banyak...

”Terimakasih sudah menyelamatkan ikan itu ya...muach...” smsnya manis.

”Hmm kenapa terima kasih?” tanya saya.

”Kan aku jelmaan ikan itu, hihihihi...”

Andai saja memori itu layaknya memori dalam handphone, di mana penyimpanan nomor panggilan keluarnya akan terhapus secara otomatis ketika sudah mencapai jumlah tertentu. Saya dapat menghapus memori yang menyakitkan, sehingga rasanya saya tidak perlu merasa bersalah jika melihat binatang dan manusia terlantar...