Rabu, 05 Mei 2010

Mencontek

Hari-hari telah berlangsung seperti biasa, seperti pagi pada minggu-minggu ulangan umum. Kelas yang berbeda, teman sebangku yang berbeda, tak jarang adik kelas atau kakak kelas berada disamping. Kadang ada yang baik dan ramah. Kadang ada pula yang menjengkelkan. Kamu tidak bisa memilih untuk dipasangkan dengan siapa. Siapa saja bisa duduk disebelahmu. Suka atau tidak.

Saya selalu seperti itu. Seperti apa? Seperti orang yang merasa 24 jam adalah tidak cukup. Selalu mencuri-curi waktu untuk belajar, berlomba dengan jalanan yang macet, berlomba dengan kebisingan jalan raya, berlomba dengan waktu yang terasa selalu berlari.

Apakah sekolahmu juga mempunyai kebiasaan macam ini? Yaitu meletakkan semua tas yang dibawa murid-murid ke depan kelas. Tujuannya apalagi jika bukan untuk menghindari murid-murid mencontek dari buku teks.

Mencontek banyak caranya. Mencontek dari buku langsung, mencontek dengan bertanya teman, mencontek melalui sms, mencontek dengan mengintip (pemaksaan jika tidak diberi contekan). Menulis jawaban dalam rok atau diatas paha. Dan mungkin masih banyak lagi cara lainnya.

Namun entah kenapa saya jarang tertarik. Yang ada justru merasa bersalah jika saya tidak dapat menjawab sebuah pertanyaan, lalu kemudian bertanya pada teman saya (berarti saya menconteki teman saya) lalu jawaban saya pun jadi benar. Rasanya tidak enak berhutang budi terus menerus. Yang ingin saya bilang, bahwa saya orang yang malas dan tidak dapat menjawab soal adalah akibat dari kemalasan saya.

Kembali lagi pada paragraf ketiga. Tas dan seisinya diharuskan untuk ditaruh ke depan kelas. Saya pun begitu, kecuali beberapa buku yang tetap saya pegang dengan tujuan saya baca selagi guru membagikan soal dengan lambat. Lalu saya yang gampang gugup ini akan melemparkan begitu saja buku yang sedang saya baca ke dalam kolong meja. Tanpa ditutup rapih.

Ulangan dimulai, dibuat sedemikian rupa hening agar semua orang berkonsentrasi. Satu per satu soal dijawab. Lalu saya akui saya gila, segila pidi baiq yang ingin mengetahui reaksi orang atas tindak tanduknya. Saya pun begitu. Saya sengaja mengerjakan soal bukan dimeja namun justru dipangkuan. Seolah-olah saya mencontek. Untuk apa saya lakukan itu? Tidak ada. Hanya untuk menguji mungkin? Atau saya memang tidak benar-benar tahu tujuan untuk melakukan itu.

Biasa. Guru pengawas akan berjalan-jalan disetiap meja dan memandang saya mengerjakan dipangkuan lalu memandang kolong meja saya. Itu, ada buku terbuka. Saya tahu. Dengan segera dia mengambil kertas ulangan yang sedang saya kerjakan. Saya pun di vonis.

Di vonis mencontek.

Padahal dia tidak lihat saya mencontek kan? Aneh ya...

Saya pun bilang yang sejujurnya,
"Tapi saya tidak mencontek Bu..."

"Enggak mencontek dari mana?Kamu mengerjakan soal dengan menunduk, di kolong meja mu ada buku teks, terbuka. Kamu harap keluar dari ruangan ini secepatnya.", sahut Ibu Guru tersebut mengemukakan bukti-bukti yang dianggapnya benar.

Lalu seisi kelas yang meilhat kejadian itu pun terkejut. Membangun opini yang sama. Bahwa saya ketahuan mencontek. Ya sudah, saya pun keluar kelas.

Ketika jam istirahat berdentang, saya pun melenggang dengan biasa menuju kantin. Lalu seorang teman lewat sambil bertanya, namanya didik, saya masih ingat.

"Lu ketahuan nyontek ya Tam??" tanyanya sambil tersenyum maklum dan miris. Saya enggak begitu ngerti jika harus digambarkan dengan kata-kata. Terlalu rumit.

"Gue engga nyontek kok..." dan itu adalah kebenaran.

"Udaah enggak usah malu, setiap orang berbuat kesalahan kok, ini hari sial lu aja..." katanya sembari memberi nasihat yang ia kira bijak untuk saya, lalu Didik berlalu ke arah kantin mendahului saya.

"Tapi gue memang enggak nyontek Dik..." begitu kata saya dalam hati, karena saya tidak bebas berteriak-teriak, karena terlalu sering direpresi untuk bertindak ekspresif semenjak di dalam rumah.

Seminggu setelah kejadian tersebut, dengan saya yang masih menceritakan kebenaran tiap ditanya orang yang sudah terlanjur terbangun opini dalam sirkuit otak yang sebenarnya luas, tidak dangkal. Sebuah buku mampir ke tempat duduk saya yang dipinggir jendela. Itu dari guru geografi yang mendapat laporan bahwa saya mencontek. Ia melemparkan buku 'tanda bukti' saya mencontek dari jendela.

Lalu kejadian ini berakhir dengan saya dipaksa minta maaf atas perbuatan yang tidak saya lakukan. Karena opini.

Saat ini saya kembali mengingat kenangan tersebut. Kenangan tidak akan pernah hilang kecuali kamu amnesia. Kenangan akan selalu ada. Saya pun dapat memahami tindakan yang dulu saya lakukan. Saya pun memahami bahwa manusia sering membangun persepsi yang diinginkan dalam otaknya. Mempercayai opini yang besar atau tidak sengaja membesar.

Saya masih begini, masih suka menguji orang dan kadang menguji diri sendiri. Masih sama dengan jiwa saya ketika masih sekolah dulu. Dan saya pun harus setuju bahwa dari bangku sekolah terbit nilai, penyeragaman pikiran. Padahal hakikinya kita adalah mahluk yang unik tiap masing-masing individu, pada anak kembar sekalipun.

Dunia manusia itu lucu - saya bilang begitu hanya karena tidak pernah hidup di dunia hewan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar