Rabu, 05 Mei 2010

2 Trilogi Surabaya

Naik pesawat membuat telinga berdengung dan pusing karena beberapa guncangannya, saya malah tidak bisa tidur. Sudahlah saya menyerah. Saya cuma bisa memejamkan mata tanpa tertidur karena saya tidak suka sensasinya. Seperti saya tidak suka jika disuruh cium bau kentut. Satu jam adalah lama perjalanan Jakarta-Surabaya. Yeay! Akhirnya kita semua sampai. Dengan selamat, tadinya sih jika pesawat itu jatuh juga tidak apa-apa. Saya siap mati kok kapan saja.

Setelah makan roti diatas pesawat, kami pun sarapan lagi dibandara karena harus menunggu barang-barang yang menyusul. Cukup lama kami disana, bahu membahu menghabiskan kentang goreng, roti isi, dan satu cangkir teh manis hangat. Perut terasa bergejolak namun hasrat untuk buang air besar belum terlalu merongrong.

Kami meluncur menuju salon, perjalanan rupanya cukup jauh. Lelah rasanya. Mau tidur. Namun sampai disana kami langsung 'dieksekusi'. Perut yang makin tidak karuan ditambah bau obat kimia yang sangat mengganggu rasanya bisa buat kehamilan seseorang keguguran. Ups, maaf saya berlebihan. Teman saya yang lagi hamil tampak baik-baik saja atau kita lihat hasilnya setelah anaknya besar?

Beginilah kronologis eksekusinya. Rambut saya dicuci, lalu ditempeli krim-krim yang sangat bau tadi hingga saya tidak bisa menikmati sekarton susu coklat, sebuah cemilan ataupun makan siang yang menggiurkan karena terlampau memuakkan. Setelah 40 menit berlalu, hasilnya WALAH rambut saya jadi lurus rus rus. Jika hal ini terjadi 6 tahun lalu, mungkin saya akan sangat senang karena saya sedang benci-bencinya dengan rambut keriting yang dimiliki. Namun kini saya sedang bangga dengan rambut ikal, malah diluruskan. Hah, tuhan memang tidak adil.

Setidak adil bahwa lambung saya tidak dapat menerima makanan sehingga saya menjadi kurus kering. Padahal saya ingin gemuk. Setidak adil bahwa saya punya nyawa tapi terasa sia-sia (curcoooool lagi). Setidak adil nasib. Memang tidak adil!

Setelah mengalami penyiksaan pelurusan karena bau kimianya, rambut saya itu kembali dicuci, lalu diwarnai. Dalam hati saya berkomat-kamit baca mantra semoga saja hal itu membantu mempercepat waktu dan penderitaan ini. Diantara waktu yang berlarian, saya pun sibuk menelepon saudara tiri Ibu saya yang kebetulan tinggal di dekat kota Surabaya. Rupanya dia berada di gresik. Mengapa saya sangat ingin bertemu dia? Dialah yang membiayai kuliah setelah saya cuti, hingga saya lulus. Saya berhutang budi padanya hingga kapanpun.

Ketika dia merasa kesal karena saya tidak dapat bertemu dengannya, entah kenapa saya merasa sedih sekali hingga menangis. Saya tidak ingin menyusahkan orang-orang yang sudah baik kepada saya. Untungnya dia bisa mengerti bahwa saya datang ke kota itu bukan untuk main, tapi untuk kerja. Untunglah.

Lama sekali rambut semua model dieksekusi, termasuk saya. Pukul enam petang kami baru keluar dari salon untuk gladi resik. Sungguh saya lelah dan tertekan sehingga tidak dapat memakan apapun. Sementara koreografi rumit diulang-ulang karena kami semua mulai kehilangan fokus akibat terlalu lelah. Itu Tante saya sudah menunggu saya bersama suami dan anak-anaknya.

Sudahlah, cepatlah, saya mau bertemu mereka. Mau berbincang sebentar dengan mereka. Lalu akhirnya selesai juga. Saya bertemu mereka sebentar. Sejujurnya, saya sangat lelah. Ingin mandi dan tidur karena sedari tadi belum beristirahat sedikitpun. Lalu mereka mengajak makan. Ketika saya tolak, terlihat raut kecewa di wajah mereka.

"Ayolah tami, kamu tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam dengan mereka, paling lama satu jam...mereka sudah menempuh perjalanan dua jam bolak-balik untuk menemuimu, ayo tami, jangan menyesal lagi untuk kesekian kalinya."

Berbekal semangat dan rasa sayang saya mengorbankan segala raga yang telah lelah ini, untuk ikut mereka berputar-putar. Tadinya saya pikir makanan berbentuk sup dapat masuk dengan lancar memenuhi lambung saya. Namun, ternyata tidak juga. Rawon daging yang terlihat menggiurkan ketika saya sehat dan lambung baik-baik saja, porsi sekarang rasanya bisa saya santap habis. Namun ketika alarm 'muntah' menyala ketika saya menyendok, saya dengan terpaksa tidak menghabiskannya.

Lagi-lagi muka mereka kecewa. Namun tidak apa-apa mereka kecewa, daripada mereka khawatir ketika saya muntah secara spontan??

Akhirnya mereka kembali antar saya ke hotel. Mungkin saya terlihat tidak sabar untuk sampai. Memang. Saya tidak sabar untuk memeluk kasur. Namun sebelumnya saya harus mandi karena badan rasanya lengket dan basah dengan keringat. Untung siraman air panas ini membuat badan saya sedikit rileks.

Saya siap tidur. Ayolah mata terpejamlah. Tidak bisa. Saya tidak tenang. Seperti layaknya segala aspek hidup saya membayangi, berjubelan di otak saya. Ayolah saya hanya ingin tidur dengan tenang. Mereka makin berdesakan, andai kata pikiran punya beban secara nyata, saya yakin kepala saya tidak akan beranjak dari lantai karena saya tak kuat mengangkatnya.

Tidurlah...

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar