Jumat, 13 Juli 2012

The Lion King

Ada berapa banyak dari kalian yang menonton Lion King ketika kecil? Saya adalah termasuk yang menonton film ini, bahkan hingga SMP karena banyak keluar seri-seri terbaru lanjutannya. Namun, ada berapa banyak yang merasa telah dibohongi film anak-anak bikinan Walt Disney ini? Saya adalah satu diantaranya.

Ketika menonton Lion King, kita akan disuguhkan sebuah setting dunia hewan dengan karakter Singa, Gajah, Mirkat, Babi Hutan, Hyena namun mengambil sifat dan kehidupan manusia untuk ditaruh dalam cerita tersebut, hal-hal inilah sebetulnya yang menjauhkan Lion King dari sebuah fungsi mendidik kepada anak-anak atau bahkan kepada kita manusia dewasa yang terlanjur menonton dan mengamininya. Saya setuju bahwa hewan punya sebuah reaksi insting yang dalam dunia manusia kita sebut emosi, seperti marah, takut ataupun kesakitan tapi mereka pada dasarnya tidak serumit manusia.

Dalam film diceritakan bahwa Singa yang merupakan ‘raja’ tinggal di sebuah istana dari batu dan ketika sang anak jantan lahir dari keturunan Sang Raja yang saat itu bertahta, maka ‘pangeran’ tersebut akan dielukan sebagai Raja berikutnya, semua hewan; gajah, jerapah, kambing, antelop, dll menunggu di luar dan akan menunduk hormat kepada sang raja. Tak kalah menarik, keluarga raja singa ini pun punya dukun sekaligus penasehat, yang diperankan oleh seekor baboon. Cukup sampai disitu dulu. Mirip sekali dengan adegan keluarga kerajaan pada dunia manusia yah? Ada istananya, ada penasehat kerajaan dan rakyat yang menyembah, tunduk hormat. Pada kenyataannya? Gajah dan jerapah punya kehidupan terpisah dengan singa. Begitupun dengan baboon, monyet besar ini, tidak hidup bersama singa, mereka ganas dan hanya hidup dengan kelompok mereka.

Tokoh anak singa dalam film Lion King tersebut diberi nama ‘Simba’. Keseharian Simba dan singa-singa betina lainnya cukup mengedukasi bahwa, singa betina memang hidup berkelompok dengan singa betina lain dan membesarkan anak-anak mereka bersama-sama. Film terus bergulir hingga pada adegan Simba diselamatkan sang Ayah ketika terjebak dari kerumunan Bison yang berlari. Stop. Adegan ini, meski syahdu dan mengharukan, namun sangat menganggu akal sehat. Kenapa? Pada kenyataannya, singa jantan dewasa jarang peduli pada apapun yang akan terjadi pada singa muda, apalagi melakukan tindakan heroik – menyelamatkannya. Jika seekor Singa jantan baru, masuk sebagai penguasa baru dalam kelompok singa, ia akan membunuh singa-singa muda agar mudah mendekati betina yang dituju.

                                                                             ****

Setelah Walt Disney, ada PIXAR yang mencoba hadirkan kehidupan hewan bawah laut melalui ‘Finding Nemo’. Dalam menghadirkan kehidupan bawah laut ini, PIXAR memang tidak segegabah Disney, namun hei lagi-lagi, ketika membuat cerita ‘memanusiakan hewan’ tentu ada saja fakta yang harus diburamkan demi kepentingan sajian cerita (hmmm, line terakhir ini mirip siapa yah?).

Finding Nemo mencoba mengangkat cerita tentang kehidupan ikan badut (clownfish) yang tinggal dan berlindung dalam anemon. Sepasang ikan badut ini baru saja bertelur dan tiba-tiba diserang oleh ikan lain. Singkatnya si betina tewas di makan, begitupun dengan telur-telurnya hingga hanya tersisa satu telur. Sang jantan, dengan sifat kebapakan, akan membesarkan dan menjaga telur tersebut sebaik-baiknya. Oke, stop. Kenyataannya, clownfish punya anatomi yang sangat aneh, sepasang clownfish jika salah satu diantara mereka mati, akan berubah jenis kelaminnya. Jika betina yang mati, maka jantan akan berubah kelamin menjadi betina, jika jantan yang mati, maka betina akan berubah kelamin menjadi jantan. Ini mungkin saja luput dari hasil research tim PIXAR atau malah sengaja ditiadakan.

Demi kepentingan cerita, PIXAR menyajikan sekolah bagi anak-anak ikan, kemudian persahabatan dalam ikan di Aquarium yang selalu punya semangat untuk melarikan diri dan bebas. Pesan PIXAR melalui film ini sebenarnya cukup sih, yaitu ‘STOP TAKING THE BEAUTIFUL FISH FROM THE SEA BECAUSE THEY BELONG TO THE SEA’.

Namun sungguh sayang, malah banyak orang salah mengartikan pesan film ini. Kontan, setelah film ini sukses besar, toko ikan hias dan Aquarium lebih banyak dikunjungi orang yang memesan ikan badut, ikan napoleon (tokoh pelupa yang bisa membaca tulisan manusia dalam Finding Nemo) dan astaga termasuk ANEMON. Permintaan tentu berusaha disanggupi untuk meraup untung, padahal anemon sangat suit untuk bertumbuh, hanya 1 cm per tahun! Ketika ia diambil dari laut, butuh waktu 5 tahun lagi untuk menumbuhkan anemon baru. Jujur, saya kecewa, seharusnya ini jadi Pekerjaan Rumah bagi PIXAR untuk didukung kampanye SAVE THE FISH AND THE CORAL paska Finding Nemo diluncurkan. Namun, hei, perusahaan animasi ini tidak melakukan apapun. Sedihnya.

                                                                              ****

Beralih pada film animasi lainnya yang baru-baru ini diluncurkan, MADAGASKAR. Saya rasa, Disney terselamatkan karena mereka membentuk film ini sebagai komedi-fiksi, namun isinya sungguh memprihatinkan, diantara serinya 1,2 dan 3. Seri ketiga ini sangat amat memprihatinkan. MADAGASKAR menceritakan petualangan hewan berbeda jenis species yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Seekor singa, jerapah, kuda nil dan zebra ini panik dan ingin diselamatkan dan kembali dalam sarang aman di kebun binatang. Oke stop. Memang, hewan yang terbiasa ditangkar, harus melalui sejumlah karantina sebelum dilepasliarkan ke alam, karena hewan yang langsung di lepas, biasanya tidak akan bertahan hidup. 

Namun MADAGASKAR 3 rupanya punya pesan yang berbeda lagi, sebuah sirkus, adalah tempat yang lebih layak bagi hewan-hewan ini karena sirkus ‘melepaskan’ bakat yang terpendam dari masing-masing hewan! Hewan bukan manusia oke? Sampai kalimat ini apakah kalian mengerti? Hewan tidak butuh aktualisasi diri atau ambisi seperti yang diceritakan dalam film MADAGASKAR. Hewan-hewan sirkus, melalui pelatihan panjang dan menyakitkan terlebih dahulu sebelum mereka akhirnya bisa tampil menghibur kalian di panggung itu. Seekor gajah, monyet, orang utan, jerapah, kuda, harimau atau singa akan diikat, dipukul dan disiksa agar nantinya patuh untuk melakukan gerakan-gerakan konyol yang menurut kalian atau semua orang lucu.

Sirkus keliling di Indonesia, nyaris tak ada yang menggunakan kereta untuk berkeliling, biasanya hewan akan ditaruh dalam truk besar dan akan melalui perjalanan lintas kota yang melelahkan. Saya khawatir, jangan sampai suatu saat saya dengar seekor anak kecil menjawab ketika ditanya, Singa tinggalnya dimana? “Kebun Binatang” atau “Sirkus” itu hasil pembodohan namanya.

Saya agak terganggu dengan blog-blog yang menulis (atau copy-paste-remake) mengenai perilaku hewan yang tersebar di mana-mana, mereka mengatakan tidak pantas Ibu singa membiarkan anak-anaknya mati dibunuh singa jantan, tidak pantas seorang Ibu kodok bertelur lalu kemudian memberi telur tersebut kepada sang jantan dan pergi dengan tidak bertanggung jawab, tidak pantas seorang lumba-lumba gonta-ganti pasangan hanya untuk rekreasi seks, tidak pantas ibu panda dengan ceroboh berguling ketika tidur hingga menindih anak mereka sendiri hingga mati.

Satu yang butuh kita, sebagai manusia untuk pahami adalah HEWAN BUKAN MANUSIA.