Rabu, 05 Mei 2010

3 Trilogi Surabaya

Saya tidur seranjang berdua dengan teman model lainnya. Untunglah ranjangnya muat. Walau tidak nyenyak yang penting saya tidur sebentar. Pukul setengah enam pagi, saya terbangun. Telepon berdering menyuruh kami semua bangun dan siap-siap. Iya, saya sudah bangun. Air panas, kalian siap untuk menimpa tubuh ini sehingga aliran darahnya terpompa untuk bekerja?? Siap??

Saya sudah siap, memakai baju yang kemarin saya ganti di bandara. Kami pun turun ke bawah untuk bersiap di rias dan rambut kembali diseterika. Kasihan sekali rambutku, saya membunuhmu pelan-pelan ya?

Para penata rias berbicara dalam bahasa surabaya yang saya tidak mengerti. Jadi jika saat itu mereka mengatai saya bodoh, tai, monyet atau kata-kata kasar lainnya, percuma, karena saya tidak mengerti. Jadi mereka buang-buang tenaga. Lalu kenapa juga mereka harus bilang harus bilang saya bodoh, tai dan monyet? Kenapa? Entahlah kenapa saya berpikir demikian.

Itu kami, dengan lipstik merah gelap, mata penuh dengan pewarna berwarna hitam ketika saya berkaca saya nyaris terlihat seperti vampir. Biarlah. Rambut saya pun sudah tidak normal. Bulu mata saya ditambah hingga dua lapis, membuat kantuk kembali menyergap. SAYA INGIN TIDUR. Tapi tidak bisa.

Ternyata bekerja begini melelahkan. Saya yang kurang gizi ini pun dengan cepat merasa kelelahan, lesu dan tampak tidak bergairah. Baiklah, itu kami sudah berada di belakang panggung, bersiap-siap untuk tampil sebagai model pembuka. Rambut yang tadi sudah rapi kembali ditutupi dengan rol palsu warna-warni. Kaki saya yang memar sudah dibubuhi foundation yang terlihat makin belang karena warna kulit saya berbeda dengan warna foundationnya.

Bodo amat.

Yang penting saya kerja sekarang. Cepat selesai. Cepat pulang menuju kos-kosan yang meski panas namun itu kamar saya tempat saya tidur, memakai baju dan berkaca. Tempat saya menjadi saya. Jujur, saya butuh sandaran. Saya rindu kucing saya yang bisa menimbulkan senyum itu. Saya juga butuh orang...

Pukul dua siang, kami sudah bisa kembali ke kamar untuk menghapus riasan dan beristirahat. Tadi kami sudah makan setelah show berakhir, saya sebenarnya masih ingin makan, namun rasa lelah dan kantuk mengalahkan semuanya. Jadi, ketika teman-teman lain memilih untuk berjalan-jalan di waktu senggang. Saya memilih untuk tidur di kamar yang penuh dengan koper. Kamar itu memang difungsikan untuk ramai-ramai karena kamar lainnya sudah diputus masanya. Saya sendirian. Sebenar-benarnya sendirian, oh tidak, ada Sonny ketika saya bangun, sedang beres-beres peralatan salonnya.

Waktu terasa lambat karena kemacetan melanda jalan menuju bandara. Belum lagi, setelah kami tiba di Bandara, teman saya yang hamil harus melalui serangkaian administrasi. Singkatnya, setelah keriwehan itu semua, kami pun duduk manis menunggu pesawat untuk mengudara. Lamaaaaa sekali pesawat untuk mengudara dan mendarat. Kami sampai bosan melihat landasan pacu.

Malam sudah menyelubungi langit dengan warna hitam bertabur gliter alias kerlip bintang. Walau saya dapat hadiah voucher taksi, saya tetap nebeng dengan teman saya yang searah. Agar voucher taksi dapat digunakan pada pagi buta seperti waktu itu. Yang aneh, model ada empat, voucher taksi diserahkan cuma tiga. Apa maksudnya?? Silahkan simpulkan sendiri, yang jelas saya tidak suka.

Saya sampai dikos-kosan setelah berjibaku dengan jalan raya dengan mandiri, tabah dan kuat karena diiringi hujan serta mengangkat-angkat beban ini sendirian. Sekali lagi jika saya kaya, tanpa pikir seratus kali saya akan naik taksi. Namun saya bukan kaya, saya berjuang, saya dibawah, saya spesial, mungkinkah?

Tidak mungkin.

Karena saya tidak spesial.


-ditulis sambil mendengarkan soundtrack origin dan sangat merindukan laut-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar