Rabu, 31 Desember 2014

COPEEEET!!

Kelas menengah ngehe. Itu kata orang-orang untuk kelas menengah yang ingin ikut-ikutan bergaya macam kelas atas. Seperti misalnya pakai tas mahal tapi makan selalu di warteg. Bagi saya sebenarnya hal tersebut sah-sah sajalah, semua orang punya alasan untuk membeli barang-barang yang diinginkannya. Saya tidak tahu apakah saya termasuk kelas menengah ngehe atau kelas pelit, karena tidak mampu membeli smartphone seharga 2juta (gadget diatas 1 juta bagi saya mahal), saya memilih mencicil smartphone tersebut untuk membagi pengeluarannya jadi per bulan.

Membeli smartphone yang mumpuni diperlukan dalam pekerjaan saya untuk mensupervisi social media sebuah brand. Saya memilih smartphone low cost dengan harga tidak terlalu mahal namun dengan 'dalaman' yang lumayan bersaing dengan smartphone di kelas 5 juta. Memang sih gengsi enggak dapet karena label smartphone China, tapi kan yang penting fungsi. Saya sebenarnya anti dengan smartphone touchscreen yang tanpa keypad, karena selalu bikin typo, sebuah kesalahan yang harusnya bisa diminimalisir - kalau ada keypad. Cuma apa daya sebesar apapun resistensi saya yang cuma setitik ini, pasti kalah dengan banjir bandang demand touchscreen dari ribuan titik lainnya. Alhasil, voila! Touchscreen laris dipasaran.

Hari berlalu, saya punya hape baru yang selalu di 'cie-cie'-in teman atau kerabat lainnya, tipikal sekali reaksi macam itu. Kantor baru saya yang terletak di gedung GKBI Tower, bisa dicapai dengan dua kali naik. Biasanya saya selalu mengandalkan ojek untuk pergi dan pulang kantor, namun kali ini karena cukup dekat, saya mencoba untuk berpositif thinking mengandalkan angkutan umum. Memang sih saya jadi harus bangun lebih pagi, namun saya pikir ini bagus untuk melatih kedisiplinan saya di kota Jakarta yang keadaan lalin tidak tertebak.

Hari itu, pukul delapan pagi. Saya berangkat kantor, merasa happy, merasa sangat sehat dan kuat, serta merasa bergairah untuk memulai pekerjaan baru. Saya naik bis 213 menuju GKBI. Bis kosong, saya duduk sambil menjawab beberapa pesan wassap dari beberapa teman. Setengah perjalanan ada seorang ibu naik, karena tidak ada seorang pun kaum hawa yang berdiri saya memberikan tempat duduk saya, saya pun berdiri. Ketika sedikit lagi sampai, saya menunggu giliran untuk turun ada dua orang bapak berumur sekitar 40-45 tahun di depan saya, dua orang. Ia terlihat seperti bingung mau turun atau tidak. Saya yang mau turun jadi terhambat, saya bersimpati mungkin si bapak bingung mau turun dimana sehingga saya tidak boleh marah, meski saya terhambat turun dan harus bersusah payah untuk turun. 

Saya pada akhirnya turun, kemudian bersiap menyiapkan tas saya untuk diperiksa satpam, alangkah kaget ketika ternyata resletingnya setengah terbuka. Saya kemudian mengaduk-aduk smarthphone dan dompet. Oke, dompet ketemu dan smartphone... oh tidak...oh tidak!! Saya keluar dari pos satpam dan melihat bis 213 sudah melaju jauh. Perubahan emosi mulai terasa, saya marah, kesal, dan takut sekaligus. Saya kemudian langsung naik dan menghubungi pacar agar ia bisa memberitahu yang lainnya. Masalah tidak berujung sampai situ, copet lancang mengirim pesan ke teman-teman terdekat untuk minta pulsa. Duh geramnya. Masalahnya hape saya tidak diproteksi kata sandi, hal itu sangat saya sesali.

Kejadian copet tersebut akhirnya membuat saya yang positive thinking atas sesuatu, jadi antipati. Saya jadi enggan naik angkot, saya jadi selalu curiga sama orang, saya jadi antipati sama anak-anak kecil yang minta-minta, saya jadi gak punya belas kasihan, saya jadi dendam tiap kali liat 213 dan beberapa kali menemukan bapak yang waktu itu ada didepan saya yang merupakan komplotan copet, saya jadi marah-marah tiap kali bayar tagihan kartu kredit yang menampilkan cicilan hape - sementara hapenya sudah hilang, saya jadi marah sama Huawei yang tidak ingin membantu saya memberantas imei produk buatan mereka agar tidak bisa digunakan lagi, saya jadi mencari-cari hape sejenis di situs jual beli dan menemukan penjual yang menjual sehari setelah saya kecopetan tanpa kardus dan gambar wallpapernya masih sama, saya jadi membuang-buang waktu saya untuk dendam kesumat dan saya jadi negative-lah pokoknya.

Terima kasih Jakarta.
Terima kasih Copet.
Terima kasih sudah bikin saya jadi Darth Vader. 


- GKBI, setelah melihat copet yang sama di 213 untuk kesekian kalinya.    

Senin, 21 April 2014

Surat untuk Kartini




Dear Kartini,
Meski kamu telah jauh mendahului kami semua karena kondisi kesehatanmu yang buruk pasca melahirkan anakmu, namun surat ini tetap aku tujukan untuk dirimu. Seperti dulu kau sering berbagi cerita dengan sahabat-sahabat pena-mu di Belanda.

Sekarang adalah tahun 2014. Gedung-gedung tinggi dibangun menjulang. Jalan raya ramai dan padat dengan berbagai kendaraan bermotor. Sekolah sudah tersebar luas hingga ke pelosok, semua anak, laki-laki ataupun perempuan dapat memasukinya namun disesuaikan dengan kemampuan ekonomi, yang tidak punya uang untuk makan, otomatis tak akan punya uang untuk pergi ke sekolah.

Hari ini tempatku bekerja, sebuah pusat perbelanjaan yang penuh barang-barang mewah dan mahal turut memperingati hari Kartini, mereka merayakan dengan mengadakan parade 135 busana kebaya. Semua orang yang datang cantik, diantar mobil mewah, penuh make up, berkebaya mahal dan memakai make up tebal lengkap dengan tatanan konde yang modern maupun tradisional.

Perekonomian masih terpusat ke Betawi yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Jakarta. Kekhawatiranmu, bahwa perempuan-perempuan akan terjebak di balik tembok karena kungkungan partriaki, kini berubah, semua perempuan kota kebanyakan sudah bekerja sekarang. Profesi mereka macam-macam, ada yang jadi petani, pedagang, bekerja sebagai tenaga perbankan, bahkan bekerja seperti layaknya laki-laki, seperti menjadi tukang becak atau kondektur bis. Namun aku tahu, jauh dari dinding yang terlihat, kau takut akan dinding yang tak terlihat bukan?

Semasa saya kecil, Kartini, ada banyak norma-norma yang dikenakan kepada perempuan yang mengatur tingkah lakunya sebagai perempuan. Tertawa terbahak-bahak dilarang, berjalan pun harus anggun, cara makan pun demikian. Jika seorang perempuan tidak dapat mengandung/mandul maka ketika ia di madu atau diceraikan, ia musti sadar akan kekurangannya yang tidak dapat mengandung dan banyak orang dalam hati menyetujui sabuk sosial yang demikian. 

Perempuan yang berpakaian minim, dicemooh dan ketika dirinya diperkosa karena ada laki-laki bejat yang tidak tahan dengan hawa nafsunya sendiri, dan kamu akan lihat komentar di bawah berita online tersebut, banyak yang mencaci maki dan mengamini si perempuan diperkosa karena pakaiannya yang mengundang. Dan jika kamu baca berita lainnya lagi, di belahan dunia lainnya, di Maroko, di sana pelaku pemerkosaan tidak akan dihukum jika ia bersedia menikahi korbannya, lalu si perempuan tidak diberikan pilihan apapun? Pantas saja ada yang bunuh diri ketika hal itu yang dipilih oleh si pemerkosa.

Emansipasi pun diartikan berbeda dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, pada beberapa kantor pada awalnya, perempuan dilarang untuk menggunakan celana panjang, hanya boleh menggunakan rok mini. Pada bidang olahraga, sudah dengar berita Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) menetapkan bahwa pebulutangkis putri harus menggunakan rok mini di setiap pertandingan besar dengan alasan untuk mengembangkan daya tarik penonton menonton olahraga tersebut. Rok mini, bebas dipakai oleh siapapun yang ingin memakainya, namun ketika hal ini diwajibkan atau dengan latar belakang alasan yang sungguh dangkal, ini jadi masalah bukan? BWF harusnya tahu bahwa mengobarkan semangat olahraga lebih penting dipikirkan dibandingkan menjual olahraga dengan daya tarik seksual perempuan pada kaum adam.

Emansipasi yang kau kejar adalah kesetaraan kesempatan bagi laki-laki ataupun perempuan. Laki-laki bisa mengenyam pendidikan, begitupun dengan perempuan. Tugas rumah tangga identik dengan tugas perempuan namun yang harusnya ada adalah pembagian tugas dan kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dapat mengeluarkan pendapatnya. Perempuan dan laki-laki setara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Celakanya Kartini, emansipasi masih saja jadi di salah arti hari ini...



Sebelum usai kerja di Dharmawangsa Square