Rabu, 05 Mei 2010

Bali


Saya kembali lagi ke Pulau Dewata ini. Jika dulu yang pertama adalah tragedi yang kedua ini, bagaimana saya harus gambarkan yah? Ada komedi, ada tragedi, ada kekonyolan. Baiklah mari kita mulai saja ceritanya.

Saya cium bau laut ketika saya turun di Bandara. Bohong saya. Cuma karena saya kangen sekali dengan laut. Daerah wisata pertama saya adalah laut, ketika saya kecil. Ayah yang membawa saya ke sana, dan tidak di sangka hal itu mengingatkan saya akan dirinya lagi, padahal sudah genap tiga tahun berlalu semenjak kematiannya. Entah mengapa seperti ada angin dingin merasuk ke dada yang telah bolong. Saya terlalu lama kehilangan figurnya semenjak saya bisa mengingat.

Seperti biasa, kami langsung menuju ke salon. Wajah saya masih sama, sama pucatnya karena terlalu banyak bergadang, kesulitan tidur kerap datang semenjak saya pindah ke Bekasi, kota koboi yang sepi. Karena Bekasi suka tiba-tiba direnggut oleh malam gelap yang sebenar-benarnya gelap. Cuma ada tukang roti yang nongkrong dipinggir komplek yang kerjanya bersiul ketika melihat perempuan lewat. Dan disebelah sana sedikit lagi ada banyak kumpulan gembel dengan penghasilan kotor empat juta satu bulan, jauh lebih besar dari kuli tinta di majalah fashion ABG yang pernah saya lamar.

Dunia itu selalu tidak adil. Tidak adil padamu. Padanya. Pada mereka.

Hei, saya kan ada di Bali. Bali, yang sudah penuh wisatawan asing itu. Entah dari mana-mana mereka datang yang dianggap sangat menguntungkan perekonomian kota ini. Dan dengan entah apa tujuan mereka datang. Kalau boleh saya tebak, sebagian besarnya adalah untuk bersenang-senang.

"Bli, nanti kita habis dari hotel boleh antar ke Legian...?" tanya teman saya yang memang asli Bali. Bli adalah sebutan Bali untuk Mas atau Abang yang dipakai di propinsi lain.

Legian adalah tempat yang ramai, kalau boleh saya bandingkan mirip Kemang di Jakarta, kawasan pertokoan dengan merek-merek luar negeri yang teman saya ngiler untuk membelinya. Saya lebih tertarik melihat toko-toko kecil yang menyediakan produk lokal. Melihat apa saja yang mereka jual.

Banyak toko tato bertebaran, ada Bli yang menawarkan saya Mushroom...saya berhenti.
"Berapa?" saya tanya padanya.
"Seratus lima puluh ribu aja..." katanya.

Alaaaah...terlalu mahal buat kantong saya, terlalu mahal untuk mabuk dengan nikmat malam itu. Belum saya tawar teman saya sudah bawel mau masuk ke toko. Okelah oke oke. Kami berempat dengan perbedaan etnis yang sangat mencolok itu harus selalu bersama-sama. Saya yang tidak punya tujuan apa-apa di Bali selain bekerja, hanya ikut saja. Tadinya sepanjang perjalanan saya celingak celinguk mencari musisi jalanan bernyanyi indah layaknya di Yogyakarta, namun nihil. Padahal saya pernah menonton pertunjukan musik jazz berbayar dimana musisinya menggabungkan alat musik modern dengan alat musik dari Bali yang menghasilkan harmoni yang membuat mata saya berbinar karena terpukau. Mana itu disini...? Hmmmhhh, saya jadi merasa hampa.

Tanpa terasa langit menarik selimutnya yang berwarna hitam, seolah-olah memerintahkan manusia untuk menyalakan penemuan yang tadinya berawal dari pencurian ide dan berhasil lebih dulu dipatenkan, yaitu bola lampu. Orang Perancis dan Jerman banyak yang protes melihat namanya bertengger sebagai penemu bola lampu. Saya pun mustinya protes karena disuruh menghafal bahwa namanya lah yang tercatat di buku sejarah saya, pertanyaan pada soal ulangan umum 'siapakah penemu lampu pijar?' yang harusnya saya isi 'masih misteri'

Sudahlah. Biar Tuhan yang balas perbuatan itu (hal itulah yang sering saya dengar dari mulut banyak orang yang akhirnya berhasil menahan beberapa orang untuk balas memukul, balas memaki, balas membunuh, balas menyiksa. Nilai yang tidak saya punya).

Tiba-tiba Kuta-Legian bukan hanya diselimuti kegelapan, rintik-rintik hujan jatuh dengan serunya dari langit menghantam tanah dengan keras dan menghamburkan orang-orang dari jalan, sehingga mereka mencari perlindungan ditempat-tempat yang kira-kira terlindungi. Jika saya tidak ingat bahwa saya sakit kala itu, saya mau mandi hujan saja... rindu kesenangan masa kecil dimana menyambut hujan seperti menyambut kegembiraan yang tak tertahankan.

Lalu akan kemanakah kita?

DUGEEEEM!!

Okelah saya ikut saja, sebenarnya saya lebih tertarik mencari pertunjukan musik sederhana dimana saya dapat melihat permainan gitar dan alunan suara yang apik. Tapi tak apalah, DJ juga sebuah permainan musik. Saya bisa tongkrongin DJ boothnya melihat tombol-tombol penghasil suara apa saja disana. Setelah berdebat sedikit akhirnya kami masuk sebuah klub. Masih sepi karena masih pukul sepuluh.

Isi klubnya sebagian besar adalah orang asing dengan dansa yang meracau tanpa konsep yang jelas. Jika boleh saya tebak, mungkin karena setengah botol anggur sudah dia tenggak sendirian.

"Lemon tea lemon tea..." teman saya berteriak heboh menyodorkan minuman ke mulut saya yang langsung saya seruput karena saya haus. Sial. Long Island. Mabuk dengan cara yang tidak enak hanya akan meninggalkan migrain parah bagi saya besok pagi. Mereka hanya cekikikan karena berhasil membohongi saya.
"Besok fashion show sinting, gue gak mau mabok ah, ntar gue belet diomelin.." ujar saya.
Saya melihat sekeliling dan sadar, kami menjadi orang asing di negeri sendiri karena terlalu banyak bule di Bali dan hampir seluruh klub ini isinya bule baik di lantai satu maupun lantai dua.

Musik berdentum-dentum. DJ mulai memainkan lagu-lagu yang sering saya dengar dan memang mengajak saya bergoyang, contohnya Bad Romance Lady Gaga dan Black Eyed Peas dengan Good Good Night. Salah satu teman saya tersiksa karena tak dapat bergoyang dengan bebas karena agamanya melarang dia (sebenarnya masuk ke dalam klub saja dia dilarang...) untuk berpesta macam itu. Saya juga sebenarnya tidak suka konsep clubbing, konsep pesta karena hal-hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memang punya uang yang necis dan bergaya. Seakan-akan dengan pestalah ada kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan mungkin saja ada disana, disitu, di kamu, di saya yang menghibur kamu atau kamu menghibur saya dengan kata-kata lucu yang memancing gelak tawa.

Seorang bule menghampiri saya, bertanya nama dan asal saya. Yang sudah pasti saya isengi.
"Nama siapa?" tanyanya.
"Hai, Marni..." saya menyambut tangannya untuk menjabat tangan saya.
"Where you from?" tanyanya lagi.
"Suriname..."
Lalu dia mengangguk-angguk sok ngerti padahal mungkin dia bingung. Dia berasal dari Perancis dan karena saya meracau antara bahasa Inggris-Indonesia yang sengaja saya buat serumit mungkin hingga akhirnya dia pergi. Baguslah, sungguh saya sebenarnya sedang bangun dunia saya sendiri sekarang, tapi kamu datang tanpa saya undang.

Pukul sebelas malam kami pulang ke hotel, hujan masih mengguyur lebat. Sampai disana ternyata kamar yang kami minta satu lagi belum diurus. Alhasil kami harus urus sendiri. Lelah dan memang selalu kekurangan nutrisi atas badan saya yang kurus ini, kami masuk kamar. Teman sekamar saya gelisah. Mengecek Blackberrynya berulang kali. Saya tahu dia masih mencari, mencari orang yang sudah hilang.

Ini adalah hari terakhir teman sekamar saya untuk ikut kami keliling tiga belas kota. Saya sedih, karena jarang ada orang seperti dia. Dia orang gila, saya orang gila, kita cocok. Dengan sikap pro lesbiannya yang kadang membuat saya ngeri karena dia suka melihat perempuan cantik dan kadang mengelus-elus paha saya, hahahaha... Ven, i will miss you a lot. I'll spent my night at your place, i will. Just wait for my message!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar