Rabu, 05 Mei 2010

Ketika Kita Merasa Paling Benar...

Saya selalu begitu. Buru-buru mengerjakan semuanya, mencetak semua artikel yang belum saya reka, tiga buah kalau tak salah, yang niatnya saya baca dan nantinya di ubah untuk pekerjaan saya. Perjalanan saya panjang, amat sangat panjang dikarenakan macet. Sang supir angkot putus asa dan berniat mencari jalan pintas agar terhindar dari kemacetan. Sang supir yang sedari tadi memaksa kami duduk berenam dalam sebaris. Tapi hal itu terlihat tak mungkin, ia pun diprotes si penumpang.

Matahari sudah mulai tenggelam, sehingga terangnya meredup tergantikan gelap. Saya satu angkot dengan anak-anak SMP yang berbicara seru dan heboh dengan suara yang keras. Agak menganggu memang, karena mereka saya tidak dapat menelepon dengan bebas. Maklum saya agak tuli, budeg, bolot, atau apapun itu istilahnya yang kamu pakai.

Anak-anak yang saya yakin berat badannya lebih berat dari saya tersebut, membuat saya berpikir bahwa saya benar-benar kekurangan gizi. Pembicaraan mereka beragam, mulai dari masalah guru dan sifat-sifatnya di sekolah, nilai dan membicarakan teman sebayanya.

Lalu lintas semakin memburuk, padahal tinggal lima ratus meter lagi saya sudah bisa sampai tempat yang saya tuju. Sementara lalu lintas dipenuhi kebisingan klakson tanda ketidaksabaran, sang anak-anak SMP berbicara makin keras, tidak menghiraukan hal-hal yang ribut. Saya mau mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan, mau tahu apa saja yang ada di benak anak-anak SMP jaman sekarang.

Beginilah sekelumit percakapan mereka, karena mereka bertiga dan kebetulan saya belum berkenalan jadi saya namai mereka A, B dan C saja yah...

"Eh, si D tuh gila ya tadi dia mah!!", kata si A.
"Kenapa gitu??" tanya si B yang berjilbab.
"Lu liat ga tadi dia olahraga pake BH doang, ga pake tank top lagi!!!" jawab si A
"Hah?? Yang bener lu?? Tapi dia sih memang parah sih..." timpal si B.
"Iyah dia tuh selalu cerita dugem-dugem gitu, Iiih rusak bener tuh orang..." si A makin memanas.
"Iya sih, dia tuh emang udah rusak, keluarganya tuh padahal bener semua, dia doang yang rusak..." tambah si B.
"Iya, iya, ibaratnya orang-orang mah jalan lurus nah dia doang yang belok kanan...melenceng!!" jawab si A kencang-kencang.

Batin saya mengerang sangat sehingga acara potong jalan yang biasanya menyenangkan untuk saya karena saya bisa lihat lingkungan yang tak pernah saya tahu, terlewatkan. Sayang, saya kurang berani untuk mengenalkan diri dan memulai diskusi tentang perbincangan mereka tadi.

Tak lama kemudian, mereka turun dari angkot yang kini masih terjebak dalam kemacetan konyol, karena volume kendaraan yang tak tertampung si jalan. Saya mengenang, jauh ke belakang ketika saya masih hijau, seusia mereka. Sekitar sebelas tahun yang lalu (Wow sudah lama ya! Damn! Saya merasa tua). Saya pun pernah merasa tahu segalanya ketika seumur itu, ternyata dunia terlalu luas untuk saya mengerti sendirian.

Adik-adik sayang, mungkin kalian akan mengerti bahwa yang kalian lakukan saat ini sering disebut 'stereotip yang memenjara' jika saya bisa membuat istilah sendiri. Stereotip yang kalian tempelkan pada orang-orang yang biasanya kita anggap negatif. Wahai adik-adik yang manis...belum tentu sayang, belum tentu kamu sebaik teman kamu yang dugem atau teman kamu yang dugem juga belum tentu sebaik kamu, yang berjilbab belum tentu sebaik orang yang tidak berjilbab, begitupun sebaliknya.

Adik-adikku sayang. Seringkali kita memenjarakan orang dengan melabelinya yang terkadang kejam adalah label itu terlampau negatif, sehingga memancarkan aura permusuhan. Saya pun masih, masih melabeli pria sebagai makhluk yang sulit sekali menjadi setia. Dan kadang hal tersebut membuat saya selalu penuh curiga namun biasanya saya selalu benar.

Adik-adikku mungkin kalian belajar untuk melabeli seseorang dari orang tua kalian. Orang tua pun menurunkan pemikiran pada anaknya menelusuk dan meresap. Kasihan sekali peradaban kita jika hanya diwarnai oleh pelabelan dan tindak negatif yang menginginkan keseragaman padahal kita tahu warna ada banyak. Kita seakan buta untuk mengakui bahwa warna itu banyak, dan hanya mengakui satu warna untuk hidup ini...

Dibuat ketika menuju Pondok Gede untuk menukarkan sepatu jualan, kedua kalinya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar