Rabu, 05 Mei 2010

Pulang

Sebelumnya saya hanya bercerita denganmu masalah ini, karena hidup saya diisi denganmu beberapa tahun terakhir. Namun sejak hal itu terjadi, saya bercerita kepada semuanya, kepada siapa saja.

Suasana di Bekasi seketika menjadi sangat panas. Ketika saya bilang saya mungkin tidak akan sujud selama beberapa tahun ke depan karena tidak tahu maknanya secara personal. Saya berani bilang ini kepadamu Bunda bukan karena saya membangkang, tidak menghargaimu. Namun saya mencoba membuatmu berpikir, bahkan dengan atau tanpa saya bersujud, saya pun menyayangimu walau kamu bersikap jahat terhadap orang lain, menyayangimu walau kamu terlihat lelah mengurus saya, menyayangimu karena memang saya sayang. Menyayangimu dan tidak ingin kamu susah lagi karena saya.

Bunda, apakah kamu tahu? Ketika kamu menangisi semua semua yang hilang karena tekanan hidup itu diatas sajadah, saya sedang coba untuk berpikir waras. Berpikir dengan logika bahwa dengan hidupnya saya yang sering sekali sakit-sakitan, akan menambah beban finansial lebih banyak lagi. Saya sangat waras, bahkan ketika memutuskan untuk menjual bagian-bagian tubuh saya yang bagi orang kaya berharga. Atau memutuskan mengakhiri hidup untuk memotong pengeluaran yang kamu tanggung.

Saya mau jual apa saja Bunda, jual ginjal, jual selaput dara, jual rahim. Apa saja yang cepat menghasilkan uang untuk menutup mulut orang-orang yang pernah menggedor-gedor pintu rumah yang kita sewa. Penuh dengan peristiwa mencekam Bunda, dan ini adalah suatu proses yang harus kita lalui dan tidak akan berhenti dengan hanya do'a. Mungkin do'a menahanmu dari segala kegilaan dan bertahan pada kewarasan. Bunda, kita semua mengalaminya, memahami rasanya dan sama-sama menderita.

Ketika itu saya pikir dirimu punya rumah untuk saya. Hingga saya ditawari batu untuk diikat diperut agar saya merasakan hamil sembilan bulan yang menggambarkan bahwa saya sudah sangat amat kurang ajar ketika mengaku hal yang bahkan melukaimu saja tidak. Dan kamu dengan amat sangat murka mengusir saya seraya berkata,

"Kamu bukan anak saya."

Sejak saat itu saya mengerti, bahwa tidak ada rumah untuk saya. Tidak dimata Bunda, tidak ada apa-apa disana. Tidak dimata adik saya. Saya tersesat sejak saat itu, terseok-seok untuk mencari rumah bagi saya bernaung, dimana saya merasa aman, saya dapat menjadi diri sendiri dengan jujur, saya dapat benar-benar merasa 'pulang', merasa hangat, merasa terselamatkan.

Lalu saya menemukan kamu, tiga tahun lalu berdiri dengan mata cemerlang memamerkan senyum dibalik jendela. Menawarkan saya berbagi tempat untuk pulang. Dan karena hal itu saya selalu saja tidak sabar untuk pulang dan bertemu kamu. Kamu rumah saya. Tempat saya bernaung, tempat saya merasa aman, tempat saya menjadi diri sendiri dengan jujur, tempat saya merasa hangat, merasa terselamatkan. Tempat kita sama-sama menggeluti waktu, tertawa, bersatu, bertukar keluh, bertukar peluh.

Hingga suatu ketika, saya menemukan rumah tiba-tiba saja kosong. Saya menunggu dan menunggu, menunggu kamu untuk pulang. Hingga saya pikir tidak ada gunanya menunggu. Lalu saya mendengar laju motormu mendekati. Bukan, bukan ke rumah ini. Bukan ke sini lagi...

Terluka dan kecewa untuk kesekian kalinya dalam hidup membuat saya mengemasi semua barang-barang, walau tidak ingin saya harus pergi dari rumah ini. Ternyata rumah ini hanya penampungan sementara. Padahal saya tidak ingin cinta untuk sementara. Lagi, saya harus terseok-seok mencari tempat untuk pulang. Saya tidur dijalanan, dibangunkan oleh teman saya, mereka bilang saya boleh menginap barang dua atau tiga malam ditempat mereka selagi saya mencari rumah yang hilang.

Terima kasih...

Beginikah sulitnya ketika kamu kehilangan tempat untuk pulang? Seakan-akan kaki mu tidak dapat diam pada tempatnya untuk berisitirahat sejenak, namun terus berlari, berlari tanpa arah hingga kamu benar-benar tersesat. Tersesat dan kehilangan arah. Ke dalam hutan gelap tanpa hewan. Lalu teman-temanmu dari jauh memanggil-manggilmu, menyalakan obor agar kau tahu arah. Kamu masih terseok-seok. Terseok-seok menemukan jalan pulang. Mirip seperti kucing tiba-tiba dimasukkan dalam karung, lalu dibawa entah kemana. Dibuang. Ketika karung terbuka, dunia sama sekali asing bagimu...


Bebas berbeda dengan tersesat, Sesat berarti bingung,
Bingung menyita pikiran, mencoba untuk keluar dan
Merasakan lagi sebuah kehangatan dan rasa aman
Sebuah perlindungan dari kehampaan.

Dunia tidak selalu sama, bagi tiap orang yang menjejakinya
Apakah kita ada karena kita memang ada,
Atau kita ada karena ada dirinya?
Terpujilah orang yang benar-benar ada...

Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Rumah...

Perjalanan terasa menyakitkan, ketika luka di kaki
yang belum sembuh dipaksa berjalan di atas kerikil tajam,
mengulum senyum dalam duka dan bertanya
apakah aku diinginkan?

Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Engkau berada dimana?
Rumah...

Bali


Saya kembali lagi ke Pulau Dewata ini. Jika dulu yang pertama adalah tragedi yang kedua ini, bagaimana saya harus gambarkan yah? Ada komedi, ada tragedi, ada kekonyolan. Baiklah mari kita mulai saja ceritanya.

Saya cium bau laut ketika saya turun di Bandara. Bohong saya. Cuma karena saya kangen sekali dengan laut. Daerah wisata pertama saya adalah laut, ketika saya kecil. Ayah yang membawa saya ke sana, dan tidak di sangka hal itu mengingatkan saya akan dirinya lagi, padahal sudah genap tiga tahun berlalu semenjak kematiannya. Entah mengapa seperti ada angin dingin merasuk ke dada yang telah bolong. Saya terlalu lama kehilangan figurnya semenjak saya bisa mengingat.

Seperti biasa, kami langsung menuju ke salon. Wajah saya masih sama, sama pucatnya karena terlalu banyak bergadang, kesulitan tidur kerap datang semenjak saya pindah ke Bekasi, kota koboi yang sepi. Karena Bekasi suka tiba-tiba direnggut oleh malam gelap yang sebenar-benarnya gelap. Cuma ada tukang roti yang nongkrong dipinggir komplek yang kerjanya bersiul ketika melihat perempuan lewat. Dan disebelah sana sedikit lagi ada banyak kumpulan gembel dengan penghasilan kotor empat juta satu bulan, jauh lebih besar dari kuli tinta di majalah fashion ABG yang pernah saya lamar.

Dunia itu selalu tidak adil. Tidak adil padamu. Padanya. Pada mereka.

Hei, saya kan ada di Bali. Bali, yang sudah penuh wisatawan asing itu. Entah dari mana-mana mereka datang yang dianggap sangat menguntungkan perekonomian kota ini. Dan dengan entah apa tujuan mereka datang. Kalau boleh saya tebak, sebagian besarnya adalah untuk bersenang-senang.

"Bli, nanti kita habis dari hotel boleh antar ke Legian...?" tanya teman saya yang memang asli Bali. Bli adalah sebutan Bali untuk Mas atau Abang yang dipakai di propinsi lain.

Legian adalah tempat yang ramai, kalau boleh saya bandingkan mirip Kemang di Jakarta, kawasan pertokoan dengan merek-merek luar negeri yang teman saya ngiler untuk membelinya. Saya lebih tertarik melihat toko-toko kecil yang menyediakan produk lokal. Melihat apa saja yang mereka jual.

Banyak toko tato bertebaran, ada Bli yang menawarkan saya Mushroom...saya berhenti.
"Berapa?" saya tanya padanya.
"Seratus lima puluh ribu aja..." katanya.

Alaaaah...terlalu mahal buat kantong saya, terlalu mahal untuk mabuk dengan nikmat malam itu. Belum saya tawar teman saya sudah bawel mau masuk ke toko. Okelah oke oke. Kami berempat dengan perbedaan etnis yang sangat mencolok itu harus selalu bersama-sama. Saya yang tidak punya tujuan apa-apa di Bali selain bekerja, hanya ikut saja. Tadinya sepanjang perjalanan saya celingak celinguk mencari musisi jalanan bernyanyi indah layaknya di Yogyakarta, namun nihil. Padahal saya pernah menonton pertunjukan musik jazz berbayar dimana musisinya menggabungkan alat musik modern dengan alat musik dari Bali yang menghasilkan harmoni yang membuat mata saya berbinar karena terpukau. Mana itu disini...? Hmmmhhh, saya jadi merasa hampa.

Tanpa terasa langit menarik selimutnya yang berwarna hitam, seolah-olah memerintahkan manusia untuk menyalakan penemuan yang tadinya berawal dari pencurian ide dan berhasil lebih dulu dipatenkan, yaitu bola lampu. Orang Perancis dan Jerman banyak yang protes melihat namanya bertengger sebagai penemu bola lampu. Saya pun mustinya protes karena disuruh menghafal bahwa namanya lah yang tercatat di buku sejarah saya, pertanyaan pada soal ulangan umum 'siapakah penemu lampu pijar?' yang harusnya saya isi 'masih misteri'

Sudahlah. Biar Tuhan yang balas perbuatan itu (hal itulah yang sering saya dengar dari mulut banyak orang yang akhirnya berhasil menahan beberapa orang untuk balas memukul, balas memaki, balas membunuh, balas menyiksa. Nilai yang tidak saya punya).

Tiba-tiba Kuta-Legian bukan hanya diselimuti kegelapan, rintik-rintik hujan jatuh dengan serunya dari langit menghantam tanah dengan keras dan menghamburkan orang-orang dari jalan, sehingga mereka mencari perlindungan ditempat-tempat yang kira-kira terlindungi. Jika saya tidak ingat bahwa saya sakit kala itu, saya mau mandi hujan saja... rindu kesenangan masa kecil dimana menyambut hujan seperti menyambut kegembiraan yang tak tertahankan.

Lalu akan kemanakah kita?

DUGEEEEM!!

Okelah saya ikut saja, sebenarnya saya lebih tertarik mencari pertunjukan musik sederhana dimana saya dapat melihat permainan gitar dan alunan suara yang apik. Tapi tak apalah, DJ juga sebuah permainan musik. Saya bisa tongkrongin DJ boothnya melihat tombol-tombol penghasil suara apa saja disana. Setelah berdebat sedikit akhirnya kami masuk sebuah klub. Masih sepi karena masih pukul sepuluh.

Isi klubnya sebagian besar adalah orang asing dengan dansa yang meracau tanpa konsep yang jelas. Jika boleh saya tebak, mungkin karena setengah botol anggur sudah dia tenggak sendirian.

"Lemon tea lemon tea..." teman saya berteriak heboh menyodorkan minuman ke mulut saya yang langsung saya seruput karena saya haus. Sial. Long Island. Mabuk dengan cara yang tidak enak hanya akan meninggalkan migrain parah bagi saya besok pagi. Mereka hanya cekikikan karena berhasil membohongi saya.
"Besok fashion show sinting, gue gak mau mabok ah, ntar gue belet diomelin.." ujar saya.
Saya melihat sekeliling dan sadar, kami menjadi orang asing di negeri sendiri karena terlalu banyak bule di Bali dan hampir seluruh klub ini isinya bule baik di lantai satu maupun lantai dua.

Musik berdentum-dentum. DJ mulai memainkan lagu-lagu yang sering saya dengar dan memang mengajak saya bergoyang, contohnya Bad Romance Lady Gaga dan Black Eyed Peas dengan Good Good Night. Salah satu teman saya tersiksa karena tak dapat bergoyang dengan bebas karena agamanya melarang dia (sebenarnya masuk ke dalam klub saja dia dilarang...) untuk berpesta macam itu. Saya juga sebenarnya tidak suka konsep clubbing, konsep pesta karena hal-hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memang punya uang yang necis dan bergaya. Seakan-akan dengan pestalah ada kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan mungkin saja ada disana, disitu, di kamu, di saya yang menghibur kamu atau kamu menghibur saya dengan kata-kata lucu yang memancing gelak tawa.

Seorang bule menghampiri saya, bertanya nama dan asal saya. Yang sudah pasti saya isengi.
"Nama siapa?" tanyanya.
"Hai, Marni..." saya menyambut tangannya untuk menjabat tangan saya.
"Where you from?" tanyanya lagi.
"Suriname..."
Lalu dia mengangguk-angguk sok ngerti padahal mungkin dia bingung. Dia berasal dari Perancis dan karena saya meracau antara bahasa Inggris-Indonesia yang sengaja saya buat serumit mungkin hingga akhirnya dia pergi. Baguslah, sungguh saya sebenarnya sedang bangun dunia saya sendiri sekarang, tapi kamu datang tanpa saya undang.

Pukul sebelas malam kami pulang ke hotel, hujan masih mengguyur lebat. Sampai disana ternyata kamar yang kami minta satu lagi belum diurus. Alhasil kami harus urus sendiri. Lelah dan memang selalu kekurangan nutrisi atas badan saya yang kurus ini, kami masuk kamar. Teman sekamar saya gelisah. Mengecek Blackberrynya berulang kali. Saya tahu dia masih mencari, mencari orang yang sudah hilang.

Ini adalah hari terakhir teman sekamar saya untuk ikut kami keliling tiga belas kota. Saya sedih, karena jarang ada orang seperti dia. Dia orang gila, saya orang gila, kita cocok. Dengan sikap pro lesbiannya yang kadang membuat saya ngeri karena dia suka melihat perempuan cantik dan kadang mengelus-elus paha saya, hahahaha... Ven, i will miss you a lot. I'll spent my night at your place, i will. Just wait for my message!

Semarang Marathon Yogyakarta

Senin ini saya akan bertolak ke Semarang, menjalani serangkaian pekerjaan rambut lagi. Melelahkan karena saya hanya bisa melangkah melewati kota-kota tersebut tanpa bisa mengakrabkan diri dengan apa yang ada di dalamnya, dingin sekali. Padahal dengan akrab kita bisa hangat.

Senin pagi, menuju Kampung Melayu sama dengan macet. Setelah mencoba naik bis, satu-satunya angkutan yang menuju ke sana. Saya turun setelah selama 500 meter bis itu hanya berjalan-jalan santai sementara saya diburu waktu. Saya turun dengan koper saya yang besar, lalu memanggil sebuah kendaraan siap tempur dikala macet, OJEK! Untuk jarak dekat dikala macet dan sangat dibutuhkan, Ojek dapat pasang tarif mahal. Lima Belas ribu. Sial. Saya pun jadi menyalahkan produsen mobil, saya menyalahkan pemerintah yang mengijinkan begitu banyak mobil beroperasi, menyalahkan orang yang terlalu banyak uang sehingga memutuskan untuk membeli mobil, menyalahkan saya yang pernah berpikir untuk membeli mobil.

Ayo Abang lariiiiii!! Saya semangati tukang ojek agar ngebut dalam mengendarai motor, agar saya cepat sampai di tempat saya akan dijemput. Saya sudah ditunggu, saya ini orang penting. Minggiiiir semuanya minggiiiiiir, saya orang penting. Kira-kira itulah yang akan saya teriakan jika saya bersuara. Menumpahkan seluruh ekspresi saya pada apa saja.

Setelah ngebut selama dua puluh menit, saya akhirnya sampai, sudah ditunggu, tunggu dulu, bukan taksi?? Aaaaagggh ternyata susah sekali cari taksi disini. Kami maju sedikit searah ke mangga dua karena akan mampir sebentar disana. Menghentikan taksi dengan semena-mena, turun dari mobil dengan semena-mena, membuat orang lain berpikir kami semena-mena. Hei, kami panik, bukan semena-mena! Hehehehe

Akhirnya kami naik taksi menuju mangga dua. Ada orang gila disitu. Orang gila karena cinta, dimakan cinta, tenggelam dalam cinta. Selamat datang di dunia yang busuk kawan! Dia naik dan mengulum senyum lebar kepada saya, padahal saya tahu hatinya sedang hancur berantakan. Saya tahu kawan...

Bandara masih disitu, masih sama belum pindah. Di Cengkareng. Sebenarnya dia akan tersiksa pergi ke bandara yang penuh kenangan maka itu dia selalu mencengkeram blackberrynya yang jika rusak mungkin dia akan panik karena kehilangan arah dan tujuan. Benda itu mirip GPS untuk hatinya.

Kami tertawa padahal kami hancur, apa yang coba kami bangun dari sana? Sebuah obat? Benarkah demikian?

Pekerjaan ini tidak nikmat, karena terlalu banyak konflik didalamnya, membuat saya ingin egois karena hanya ingin memikirkan masalah saya sendiri. Namun sebuah hubungan itu butuh perjuangan, begitu kata teman saya. Begitupun hubungan dengan rekan kerja. Haaaah membuat saya ingin menonton My Name is Khan. Karena sepertinya tokoh di film tersebut punya konflik sama dengan saya yang terisolir ini.

Seperti yang saya bilang, kita tertawa dan kita kelelahan setelahnya dan lalu butuh lebih banyak tertawa lagi sampai kita tidak tahu nikmatnya tertawa. Seperti morfin. Seperti makan kebanyakan lalu muntah, seperti yang palsu, seperti itulah dunia.

Setelah lelah dan kesulitan tidur datang lagi. Saya bekerja lagi esok harinya, bekerja dan bekerja untuk membunuh waktu yang kadang-kadang seolah-olah jahat karena menyempilkan waktu istirahat buat saya. Harusnya kamu buat saya saja seperti robot, agar saya cepat aus dan rusak dengan engsel-engsel yang terlepas karena tak mampu lagi untuk bergerak. Karena begitu tujuannya kita dibuat, dibuat, dikonsumsi, lalu rusak dan dibuang. Begitu pula kita lahir menuju mati. Semuanya berakhir pada lubang yang sama.

Yogyakarta mengingatkan saya pada keramaian sebelum puncak kemarahan berbulan-bulan lalu. Yogyakarta mengingatkan saya pada kehilangan setelah kenikmatan dan hangat yang dirasa. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa semua orang sudah beranjak dewasa dan punya hidup masing-masing. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa mereka sibuk. Yogyakarta mengingatkan saya bahwa saya seharusnya jadi orang utan di tengah kota....


-dari semarang dan yogya beberapa waktu lalu-

Bogor sehabis hujan


Sore itu di Bogor. Ramalan cuaca mengatakan bahwa kota kecil ini akan disambangi hujan deras. Betul saja, sesuai namanya, kota hujan yang sekarang mungkin sudah jadi dua julukan, kota hujan dan kota macet. Bogor sering macet. Kami menunggu hujan reda disebuah tempat yang kira-kira kokoh melindungi. Tahan terpaan angin dan air.

Kira-kira dua puluh menit dengan lagu-lagu yang bertebaran disepanjang waktu tersebut, diantara hujan yang menerpa kaca-kaca bangunan, diantara hembusan nafas dari makhluk-makhluk yang hidup, diantara kata, diantara canda, diantara tawa, diantara marah, diantara duka, hingga kembali lagi pada tawa.

"Lihat ada rusa" ujarnya.

Saya jika melihat binatang, entah kenapa jadi merasa sangat akrab dan dekat. Ada kira-kira 5 ekor rusa disana, berdiri ditanah berlumpur yang basah karena hujan barusan. Mereka sibuk merumput dan lari jika saya mendekat. Dia tertawa, entah menertawakan saya atau rusanya. Saya bilang saya ini mungkin dulunya binatang, buktinya saya lebih suka menegur binatang daripada dia. Tertawa lagi. Tertawa melulu, memangnya saya sule??

"Rambut kamu aneh."
"Memang, ini untuk cari uang."
"Hmmm...mau makan?"
"Enggak, kamu?"
"Mau, saya mau makan rusa itu"
"Gak boleh mereka teman-teman saya"
"Sejak kapan jadi teman?"
"Sejak sekarang, oh lihat! Itu ada yang tanduknya hilang..."

Saya tunjuk seekor rusa jantan tanpa tanduk dengan sisa luka yang masih basah. Kasihan, kira-kira kenapa ya?

"Kalau teman tanya dong, kenapa tanduknya bisa hilang?"
"Ngejek ya? Saya kan gak bisa bahasa rusa..."
"Lho gimana kamu bisa tahu mereka teman sementara mereka tidak pernah mengungkapkan hal itu kepadamu?"
Kata-katanya ada benarnya juga, tapi saya tidak mau kalah.
"Bahasa saya bahasa cinta..."
Lalu dia tertawa terbahak-bahak.
"Serius..."
Seketika dia diam. Lalu memandang mata saya sedikit lama dan kemudian memalingkan muka. Apa yang dia cari? Apa yang kamu cari disana? Ada apa disana?
"Ya ya ya..." ujarnya sambil tersenyum. "Ada luka, ada cinta..." gumamnya.

Ketemu.
You read me like a book.
I hate it.
I hate to be lame right now.
I hate myself.
I hate all of it.

Kami berjalan lagi, menelusuri tempat lain, jauh dari rusa memandangi jalan yang lalu lintasnya telah kembali sibuk. Hei, hidup ini dagelan. Jika saya utarakan itu dia pasti akan setuju. Karena dia sudah kenyang menertawakan hidupnya yang jauh dari lapar. Dia kenyang dengan kelaparan yang bertubi-tubi menyambanginya tiap hari.

"Saya mau makan..."
"Makan apa?"
"Makan cinta?"
"Hmmm...bisakah?"
"Entah..."
"Bolehlah daripada makan anjing"
"Daripada makan ayam"
"Daripada makan babi"
"Daripada makan sapi"
"Daripada makan ular"
"Daripada makan tikus"
"Daripada dimakan..."
"Dimakan?"
"Kamu, dimakan cinta"
"Dimakan apa?"
"Tenggelam dalam hatimu sendiri yang membesar dan kamu tidak tahu bagaimana membawanya hingga kamu kesulitan untuk bergerak."
"Shit, you read me a lot!!"
"Ssssh...gak perlu teriak-teriak kan."
"Saya kesal dengan kamu dari tadi."
"Kenapa? Because I read you like a book?"
Damn!

Saya tinggal dia disana dengan kamera yang masih bertengger ditangannya. Mengingatkan saya bahwa gambar-gambar yang seharusnya beku dan indah dipandang menjadi hilang karena memorinya segera terhapus oleh waktu. Namun, langkah saya terhenti dan kembali menghampirinya.

"Kamu benar, I hate myself."
"Let it be then..."


-Bogor, sehabis hujan-

note : mimit kamu taulah saya ini...

Berangkat dari Cibinong

Akhirnya kesampaian.

Kesampaian juga berangkat kerja dari Cibinong. Hasilnya?? Jika pada waktu normal hanya butuh waktu perjalanan selama 45 menit dari Cibinong ke Bekasi namun pagi ini, di hari Senin pagi ini butuh dua jam lamanya karena disertai macet dan kegerahan karena saya naik bis kaleng yang tanpa AC, tak apa, berarti saya tidak dipersalahkan ikut andil dalam global warming?? Hahahaha.

Sampai di kantor semuanya bertanya.
"Kamu belum mandi...?"

Memang benar saya belum mandi. Hahahaha. Tenanglah tidak perlu tutup hidung, saya tidak bau kok, karena jaringan lemak saya sangat tipis jadi saya jarang sekali bau badan. Terakhir saya bau badan itu SMP. Hahaha. Disaat saya jarang mandi sepulang saya bermain basket. Memang saya jauh lebih kurus dari masa saya SMP dulu. Berat saya sekarang 44 kilo sementara dulu 49 kilo.

Sudahlah jangan disesali...jangan disesali 5 kilo yang hilang itu. Tinggi saya sekarang 175cm sementara sepertinya berat badan saya 44 kilo jika memang tidak turun drastis. Bisa kamu bayangkan kurang berapa kilo dari berat badan normal? Kira-kira sepuluh kilo pun masih belum terlalu ideal. Tuh kan saya jadi berbicara tentang berat badan lagi...seharusnya dilupakan saja.

Hari ini aneh.
Anginnya aneh.
Sinar Mataharinya aneh.
Baunya aneh.
Semuanya aneh.
Saya pun orang aneh. Karena lebih banyak menegur kucing dibanding manusia...

Pada pagi hari saya teringat harus pergi ke suatu tempat namun saya urungkan. Karena saya banyak hutang artikel hari ini. Ayolah otak bekerja. Seharusnya kamu bekerja sekarang. Bukan hanya bengong memandangi komputer yang berkedip-kedip berganti layar karena terlalu sering kamu pandangi tanpa sentuh.

Eh itu teman saya mengirimi saya pesan. Teman yang rumahnya saya tiduri, numpang tidur, numpang makan, numpang ee. Ada ketakutan dalam diri saya bahwa saya akan kehilangan dia lagi sebagai teman karena kebodohan saya. Belum apa-apa saya sudah takut lagi. Membuat saya berpikir bahwa seharusnya saya jangan menyusahkannya empat hari kemarin. Karena jika dia pergi pun saya sama sedihnya dengan empat hari lalu. Begitupun dengan yang lain jika mereka pergi saya akan kembali jadi orang hutan ditengah kota, bukan manusia.

Semoga tidak.

Menjelang sore, anginnya aneh. Aneh hingga harus merasuk ke dalam diri saya. Membuat sesak, namun ketika saya coba menghela nafas panjang semuanya jadi kembali seperti basa. Ramalan teman saya benar. Saya masuk ke tahap kedua. Apakah setelah tahap ini saya akan baik-baik saja?

Tiba-tiba saja saya ingin menggagas menjadi orang utan di tengah kota. Sebelum semuanya menghilang. Mungkinkah? Mungkin. Saya pernah menjadi orang utan di desa. Masak tidak bisa jadi orang utan di kota. Atau saya serahkan diri saja ke kebun binatang agar bisa satu kandang bersama Kumbo? Tapi terkungkung. Saya mau jadi orang utan yang masih bisa naik angkot. Masih bisa naik pesawat. Masih bisa sewa kamar kos. Masih bisa ketemu cemong...

Ohiyah...saya lupa saya rindu cemong. Cemong apa kamu rindu saya? Saya pulang...

-ditulis sambil buru-buru pulang setelah sebelumnya mendengar The Beatles - Let it Be-

Libur Panjang

Libur panjang. Jika sebagian besar orang memilih mudik, saya juga. Mudik dari Bekasi menuju Cibinong. Sebelumnya mampir di rumah teman saya di pasar minggu. Dimana disana ada maaf, ada kebesaran hati, ada arti bahwa dia ada disini untuk saya. Saya yang seharusnya tidak dia berikan maaf karena sudah terlampau tidak peduli sebagai sahabat.

Sudah tiga hari berturut-turut saya menginap dikamarnya sampai-sampai si adik yang biasa tidur bersamanya berceletuk spontan
"Ga pulang-pulang ini orang??"
Saya tertawa namun merasa bersalah pula. Jadi sejak itu saya bertekad harus pulang. Kadang saya iri dengannya karena tampaknya dia selalu tahu apa yang harus dia lakukan. Dia terlihat percaya diri, sedangkan saya mungkin tidak.

Sore itu saya melakukan perjalanan pulang ke Cibinong dengan tiga kali sambung angkot. Jalanan terasa asing karena saya jarang pulang. Saya mampir di Apotek sebentar, tempat Ibu saya membuka usaha. Hei itu ada banyak anak-anak anjing lucu. Mereka sangat menggemaskan dan ramah. Jika saya harus mendeskripsikan ramah pada binatang, berarti mereka jinak, gampang didekati dan disentuh.

Anak-anak anjing itu sudah tumbuh lebih besar daripada saya terakhir bertemu mereka. Sudah tidak berkutu karena sudah dimandikan dan diberi obat. Semua orang sayang dan gemas melihat mereka yang tinggal berjumlah empat ekor tersebut. Sebelumnya ada tujuh ekor anak anjing, termasuk satu dari anak anjing lain yang diadopsi karena Ibunya didakwa menggigit orang dan kemudian berakhir menjadi masakan di panci. Kasihan dan tidak manusiawi memang. Apa itu cuma anggapan saya yang aneh ini??

Rasanya waktu tidak akan habis jika bermain bersama mereka. Saya pergi sebentar untuk membelikan Ibu saya camilan karena sekarang Ibu saya tukang makan. Beda dari dia yang sepuluh tahun yang lalu. Sudah gemuk, tidak lagi kurus kering macam saya sekarang ini. Mungkin nanti jika waktu mengijinkan, saya juga akan gemuk!! Semangat! Hahahaha...

Saya kehilangan energi karena kelelahan yang semu. Entah mengapa rasanya lelah terus. Padahal kerja saya cuma berpikir, berpikir dan berpikir. Bukan seperti kuli bangunan yang angkat-angkat berkarung-karung tanah, bukan petani yang mencangkul sepanjang hari, bukan atlet yang latihan terus tiap hari. Lalu mengapa saya lelah? Harusnya saya menertawakan diri sendiri jika saya lelah.

"Jangan tidur terus, itu namanya bukan manusia, itu sampah." seorang teman mengingatkan saya untuk bangkit. Saya mau tanya apakah saya manusia apa bukan, dia sudah jawab...

"Masih bisa merasa sakit, merasa senang, itu manusiawi. Masih bisa menangis, itu manusiawi..."

Saya ngeri juga sama orang ini lama-lama...Hahahaha. Dukun kali dia.

Saya beruntung dikelilingi orang-orang yang bersedia saya susahkan akhir-akhir ini. Dan mereka berharap saya punya pijakan yang kuat untuk diri saya sendiri, karena hal itu memang harus lahir dari diri sendiri. Saya harap mereka memaafkan saya karena untuk saat ini belum bisa...Tapi nanti pasti...


-merasa bodoh dan tolol sendiri, ditulis sambil merindukan cemong yang mungkin saja tidak merindukan saya-

terimakasih nita,aal,nata :)

Medan

Naik taksi?? Aaaah mahal! Saya sebal jika pilihan saya hanya naik taksi, tak perlulah naik taksi, bisa naik mobil kalong atau bisa numpang mobil orang?? Hahahaha. Kenapa orang selalu berpikiran negatif jika ada perempuan ditawari tumpangan? Tapi tidak pernah berpikiran seperti itu kepada laki-laki?? Tidak adil.

Badan saya terasa lemas ketika melangkahkan kaki keluar dari kos-kosan. Saya memang sudah tiga hari ini merasa tidak sehat. Tubuh saya menjerit-jerit meminta saya beristirahat sementara percikan neuron dalam otak memaksa saya untuk selalu bangun dan berpikir. Jadilah saya putuskan memakai taksi dari kos saya menuju kuningan untuk kemudian dilanjutkan ke bandara, itupun karena saya punya voucher taksi.

Saya tertidur didalam taksi, kedinginan, padahal saya sudah memakai sweater. Hari ini penampilan saya aneh bin ajaib, dengan terusan bunga-bunga beserta cardigan hitam bunga-bunga pula, legging dan sepatu boot, membuat saya merasa seperti Loona Lovegood yang aneh. Tapi tak apa saya aneh, karena saya adalah saya. Telepon berdering ketika saya tertidur diantara jalan yang padat dan macet. Saya menjawab dengan lemah, saya bilang bahwa saya sudah di dalam perjalanan. Lalu telepon disudahi. Saya bertanya pada supir taksi,

”Sudah sampai mana pak?” tanya saya.
”Sedikit lagi sampai kuningan... tidur aja lagi mba...” dia kasihan melihat saya yang kurus gepeng tak berdaya ini rupanya.

Saya akhirnya sampai ke kuningan. Sebelum saya turun sang supir taksi bertanya apakah saya bekerja di dalam gedung ini, saya bilang tidak, walau saya bilang tidak dia menitip pekerjaan sebagai supir tetap, selain jadi supir taksi. Saya minta nomer teleponnya, bertekad mencarikannya pekerjaan baru yang mungkin saja lebih baik daripada supir taksi. Saya berbicara sendiri, berangan-angan berbicara dengannya. Bapak, sebenarnya semenjak kemarin saya banyak melewatkan kesempatan untuk membalas perbuatan baik dari orang yang saya tidak kenal. Hari ini saya simpan nomer telepon bapak, saya akan carikan, doakan saya dapatkan pekerjaan untuk bapak ya...

Kami berganti taksi untuk pergi menuju Bandara. Ini masih terlalu pagi dan kami bertiga tertawa, menertawakan kebodohan. Saya tertawa diantara beban deadline yang menumpuk dan tidak saya mengerti karena tidak ada teman untuk berdiskusi. Pesawat kami yang menuju medan tertunda selama dua puluh menit. Sedari tadi saya mengantuk karena saya mengonsumsi obat tidur semalam. Efeknya masih terasa sekarang.

Ini pertama kali dalam seumur hidup saya menginjakkan kaki ke Medan. Namun karena saya kesini untuk bekerja bukan berkeliling, jadi mungkin hanya sedikit saya bisa cerita tentang hal yang unik-unik.

Masih seperti kemarin, kami langsung ke salon begitu mendarat, melakukan glasi resik dan fitting baju lagi. Karena waktu luangnya lebih banyak, kami pun memutuskan untuk pergi makan terpisah dari kru. Kami berputar-putar naik becak yang jika di Medan becak dikemudikan dengan motor. Menyenangkan? Biasa saja, jauh lebih menyenangkan ketika saya dulu kecil dan tidak khawatir terhadap apapun.

Makan-makan diluarnya singkat. Lalu dengan taksi kami kembali ke hotel, dan itu kamar kami di bagi dua. Saya punya partner yang pas untuk tidur dengan tidak menyalakan AC. Badan saya rontok karena serangan yang bertubi-tubi, hingga saya sepertinya anoreksia akut sekarang dan butuh istirahat serta penanganan medis secara berkesinambungan. Tapi saya kan’ enggak punya uang.

Singkat. Sekejap.

Kami sudah mau pulang, menunggu pesawat jam enam. Dari hotel selesai acara fashion show dan di kritik karena tak terlihat bersemangat, jika dulu saya dapat kritik itu saya akan bersemangat, namun perasaan menggebu-gebu ini sudah hilang. Punyakah saya semangat yang baru?

Tiba-tiba, saya ingin tinggal satu atap dengan teman-teman saya yang lain. Supaya ketika saya bangun, saya tidak merasa asing dan sendirian. Namun hal itu mustahil kan? Mustahil dari kultur kita saat ini... Mustahil karena saya orang yang jahat...

Misi yang gak mungkin...

Bandung

Saya pergi dengan sejuta harapan dan hati yang tenang...
Matahari masih mengintip, syukurlah, karena jika ia sudah keluar dengan garang, saya bisa kehabisan energi menghadapi marahnya.
Keluarlah dari rasa ketakutan karena kamu akan meninggalkan zona aman...

Ratusan kilometer terasa jauh akhir-akhir ini. Rasanya mau menyerah karena lelah.
Saya bekerja keras memang untuk uang. Untuk sebagian kecil bayar hutang ayah saya yang tertinggal sebelum dia meninggal. Dia benar-benar melakukan sumpahnya meninggalkan kami tanpa apapun, disaat kami harusnya bisa punya sedikit untuk tidak terseok-seok menjalankan hidup.

Tak apalah ayah...kamu sudah berusaha, namun dengan cara dan jalan yang salah saja. Anggap saja kami tumbal...dalam kehidupan selalu ada yang harus dikorbankan (katanya begitu - walau saya tidak setuju).

Siang berganti malam, saya masih berada pada kondisi menyenangkan namun sedikit khawatir. Bagaimana caranya saya dapat keberanian untuk keluar dari semua ini?
Ketika tengah malam pun semuanya dapat di jawab...

Tidak ada yang menyangka saya dapat kehilangan segala sesuatunya termasuk kewarasan. Saya pikir saya tidak waras. Seperti anak kecil mengamuk karena tidak dibelikan mainan. Hahahah jadi lucu jika diingat lagi.

Saya melalui fase mengamuk ketika anak-anak, membuat Ibu saya berpikir bahwa saya kesetanan. Lalu saya menjelma jadi malaikat berkerudung yang sebenarnya hanya pencarian jati diri yang pincang. Hingga akhirnya saya menemukan diri saya kembali, menjadi manusia yang kosong dan siap diisi.

Saya menyesal menganggap bahwa semua ini terlalu kekal. Padahal saya tahu tidak ada yang kekal. Sebenarnya, seharusnya saya menertawakan diri saya sendiri. Namun saya terlalu malu untuk melakukan itu.

Mrs Dalloway menertawakan saya keras-keras. Dia bilang seharusnya kita menghabiskan waktu berdua sedari kemarin untuk makan jamur di pinggir pantai batu karas. Menjadi intim dengannya lalu berpelukan di dalam air.

"Suruh siapa kamu ragu-ragu terhadap saya??!!" kata Mrs Dalloway kecewa, dia jadi marah dan mengancam bahwa semuanya akan berakhir dengan cepat. Begitu katanya, tapi saya tidak percaya karena dia orang yang penuh tipu muslihat. Ketika waktu itu saya nyaris terjebak oleh ajakannya.

"Saya harus jaga singa..." ujar saya

"Alasan!!" bentaknya. "Kamu punya sejuta alasan!"

"Saya benar-benar harus jaga singa, orang utan, penyu dan lumba-lumba...Saya harus jaga mereka..." ujar saya sambil menangis.

"Kamu..." ujarnya dengan nada bergetar karena marah, "Kamu akan menderita!" Mrs Dalloway masih disana, marah sambil menangis.

"Maafkan saya..." ujar saya lemah. "Mungkin kamu bisa ajak saya nanti...kamu tahu keadaan saya...kamu bisa ajak saya...nanti..."

"Kamu...hiduplah..." ujarnya sambil mengecup saya manis.

-dirubah penuh hari ini-

3 Trilogi Surabaya

Saya tidur seranjang berdua dengan teman model lainnya. Untunglah ranjangnya muat. Walau tidak nyenyak yang penting saya tidur sebentar. Pukul setengah enam pagi, saya terbangun. Telepon berdering menyuruh kami semua bangun dan siap-siap. Iya, saya sudah bangun. Air panas, kalian siap untuk menimpa tubuh ini sehingga aliran darahnya terpompa untuk bekerja?? Siap??

Saya sudah siap, memakai baju yang kemarin saya ganti di bandara. Kami pun turun ke bawah untuk bersiap di rias dan rambut kembali diseterika. Kasihan sekali rambutku, saya membunuhmu pelan-pelan ya?

Para penata rias berbicara dalam bahasa surabaya yang saya tidak mengerti. Jadi jika saat itu mereka mengatai saya bodoh, tai, monyet atau kata-kata kasar lainnya, percuma, karena saya tidak mengerti. Jadi mereka buang-buang tenaga. Lalu kenapa juga mereka harus bilang harus bilang saya bodoh, tai dan monyet? Kenapa? Entahlah kenapa saya berpikir demikian.

Itu kami, dengan lipstik merah gelap, mata penuh dengan pewarna berwarna hitam ketika saya berkaca saya nyaris terlihat seperti vampir. Biarlah. Rambut saya pun sudah tidak normal. Bulu mata saya ditambah hingga dua lapis, membuat kantuk kembali menyergap. SAYA INGIN TIDUR. Tapi tidak bisa.

Ternyata bekerja begini melelahkan. Saya yang kurang gizi ini pun dengan cepat merasa kelelahan, lesu dan tampak tidak bergairah. Baiklah, itu kami sudah berada di belakang panggung, bersiap-siap untuk tampil sebagai model pembuka. Rambut yang tadi sudah rapi kembali ditutupi dengan rol palsu warna-warni. Kaki saya yang memar sudah dibubuhi foundation yang terlihat makin belang karena warna kulit saya berbeda dengan warna foundationnya.

Bodo amat.

Yang penting saya kerja sekarang. Cepat selesai. Cepat pulang menuju kos-kosan yang meski panas namun itu kamar saya tempat saya tidur, memakai baju dan berkaca. Tempat saya menjadi saya. Jujur, saya butuh sandaran. Saya rindu kucing saya yang bisa menimbulkan senyum itu. Saya juga butuh orang...

Pukul dua siang, kami sudah bisa kembali ke kamar untuk menghapus riasan dan beristirahat. Tadi kami sudah makan setelah show berakhir, saya sebenarnya masih ingin makan, namun rasa lelah dan kantuk mengalahkan semuanya. Jadi, ketika teman-teman lain memilih untuk berjalan-jalan di waktu senggang. Saya memilih untuk tidur di kamar yang penuh dengan koper. Kamar itu memang difungsikan untuk ramai-ramai karena kamar lainnya sudah diputus masanya. Saya sendirian. Sebenar-benarnya sendirian, oh tidak, ada Sonny ketika saya bangun, sedang beres-beres peralatan salonnya.

Waktu terasa lambat karena kemacetan melanda jalan menuju bandara. Belum lagi, setelah kami tiba di Bandara, teman saya yang hamil harus melalui serangkaian administrasi. Singkatnya, setelah keriwehan itu semua, kami pun duduk manis menunggu pesawat untuk mengudara. Lamaaaaa sekali pesawat untuk mengudara dan mendarat. Kami sampai bosan melihat landasan pacu.

Malam sudah menyelubungi langit dengan warna hitam bertabur gliter alias kerlip bintang. Walau saya dapat hadiah voucher taksi, saya tetap nebeng dengan teman saya yang searah. Agar voucher taksi dapat digunakan pada pagi buta seperti waktu itu. Yang aneh, model ada empat, voucher taksi diserahkan cuma tiga. Apa maksudnya?? Silahkan simpulkan sendiri, yang jelas saya tidak suka.

Saya sampai dikos-kosan setelah berjibaku dengan jalan raya dengan mandiri, tabah dan kuat karena diiringi hujan serta mengangkat-angkat beban ini sendirian. Sekali lagi jika saya kaya, tanpa pikir seratus kali saya akan naik taksi. Namun saya bukan kaya, saya berjuang, saya dibawah, saya spesial, mungkinkah?

Tidak mungkin.

Karena saya tidak spesial.


-ditulis sambil mendengarkan soundtrack origin dan sangat merindukan laut-

2 Trilogi Surabaya

Naik pesawat membuat telinga berdengung dan pusing karena beberapa guncangannya, saya malah tidak bisa tidur. Sudahlah saya menyerah. Saya cuma bisa memejamkan mata tanpa tertidur karena saya tidak suka sensasinya. Seperti saya tidak suka jika disuruh cium bau kentut. Satu jam adalah lama perjalanan Jakarta-Surabaya. Yeay! Akhirnya kita semua sampai. Dengan selamat, tadinya sih jika pesawat itu jatuh juga tidak apa-apa. Saya siap mati kok kapan saja.

Setelah makan roti diatas pesawat, kami pun sarapan lagi dibandara karena harus menunggu barang-barang yang menyusul. Cukup lama kami disana, bahu membahu menghabiskan kentang goreng, roti isi, dan satu cangkir teh manis hangat. Perut terasa bergejolak namun hasrat untuk buang air besar belum terlalu merongrong.

Kami meluncur menuju salon, perjalanan rupanya cukup jauh. Lelah rasanya. Mau tidur. Namun sampai disana kami langsung 'dieksekusi'. Perut yang makin tidak karuan ditambah bau obat kimia yang sangat mengganggu rasanya bisa buat kehamilan seseorang keguguran. Ups, maaf saya berlebihan. Teman saya yang lagi hamil tampak baik-baik saja atau kita lihat hasilnya setelah anaknya besar?

Beginilah kronologis eksekusinya. Rambut saya dicuci, lalu ditempeli krim-krim yang sangat bau tadi hingga saya tidak bisa menikmati sekarton susu coklat, sebuah cemilan ataupun makan siang yang menggiurkan karena terlampau memuakkan. Setelah 40 menit berlalu, hasilnya WALAH rambut saya jadi lurus rus rus. Jika hal ini terjadi 6 tahun lalu, mungkin saya akan sangat senang karena saya sedang benci-bencinya dengan rambut keriting yang dimiliki. Namun kini saya sedang bangga dengan rambut ikal, malah diluruskan. Hah, tuhan memang tidak adil.

Setidak adil bahwa lambung saya tidak dapat menerima makanan sehingga saya menjadi kurus kering. Padahal saya ingin gemuk. Setidak adil bahwa saya punya nyawa tapi terasa sia-sia (curcoooool lagi). Setidak adil nasib. Memang tidak adil!

Setelah mengalami penyiksaan pelurusan karena bau kimianya, rambut saya itu kembali dicuci, lalu diwarnai. Dalam hati saya berkomat-kamit baca mantra semoga saja hal itu membantu mempercepat waktu dan penderitaan ini. Diantara waktu yang berlarian, saya pun sibuk menelepon saudara tiri Ibu saya yang kebetulan tinggal di dekat kota Surabaya. Rupanya dia berada di gresik. Mengapa saya sangat ingin bertemu dia? Dialah yang membiayai kuliah setelah saya cuti, hingga saya lulus. Saya berhutang budi padanya hingga kapanpun.

Ketika dia merasa kesal karena saya tidak dapat bertemu dengannya, entah kenapa saya merasa sedih sekali hingga menangis. Saya tidak ingin menyusahkan orang-orang yang sudah baik kepada saya. Untungnya dia bisa mengerti bahwa saya datang ke kota itu bukan untuk main, tapi untuk kerja. Untunglah.

Lama sekali rambut semua model dieksekusi, termasuk saya. Pukul enam petang kami baru keluar dari salon untuk gladi resik. Sungguh saya lelah dan tertekan sehingga tidak dapat memakan apapun. Sementara koreografi rumit diulang-ulang karena kami semua mulai kehilangan fokus akibat terlalu lelah. Itu Tante saya sudah menunggu saya bersama suami dan anak-anaknya.

Sudahlah, cepatlah, saya mau bertemu mereka. Mau berbincang sebentar dengan mereka. Lalu akhirnya selesai juga. Saya bertemu mereka sebentar. Sejujurnya, saya sangat lelah. Ingin mandi dan tidur karena sedari tadi belum beristirahat sedikitpun. Lalu mereka mengajak makan. Ketika saya tolak, terlihat raut kecewa di wajah mereka.

"Ayolah tami, kamu tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam dengan mereka, paling lama satu jam...mereka sudah menempuh perjalanan dua jam bolak-balik untuk menemuimu, ayo tami, jangan menyesal lagi untuk kesekian kalinya."

Berbekal semangat dan rasa sayang saya mengorbankan segala raga yang telah lelah ini, untuk ikut mereka berputar-putar. Tadinya saya pikir makanan berbentuk sup dapat masuk dengan lancar memenuhi lambung saya. Namun, ternyata tidak juga. Rawon daging yang terlihat menggiurkan ketika saya sehat dan lambung baik-baik saja, porsi sekarang rasanya bisa saya santap habis. Namun ketika alarm 'muntah' menyala ketika saya menyendok, saya dengan terpaksa tidak menghabiskannya.

Lagi-lagi muka mereka kecewa. Namun tidak apa-apa mereka kecewa, daripada mereka khawatir ketika saya muntah secara spontan??

Akhirnya mereka kembali antar saya ke hotel. Mungkin saya terlihat tidak sabar untuk sampai. Memang. Saya tidak sabar untuk memeluk kasur. Namun sebelumnya saya harus mandi karena badan rasanya lengket dan basah dengan keringat. Untung siraman air panas ini membuat badan saya sedikit rileks.

Saya siap tidur. Ayolah mata terpejamlah. Tidak bisa. Saya tidak tenang. Seperti layaknya segala aspek hidup saya membayangi, berjubelan di otak saya. Ayolah saya hanya ingin tidur dengan tenang. Mereka makin berdesakan, andai kata pikiran punya beban secara nyata, saya yakin kepala saya tidak akan beranjak dari lantai karena saya tak kuat mengangkatnya.

Tidurlah...

Bersambung

Trilogi Surabaya

Ini bukan ritual debus atau pesugihan ketika saya mandi pukul dua pagi. Bukan juga menjadi seseorang yang religius untuk meneruskan setelahnya sholat tahajud. Saya mau jualan rambut saya ke Surabaya, sementara tiket pesawat saya menandakan bahwa pukul lima saya sudah harus berada di sana. Di bandara Soekarno-Hatta, betul, yang jauh itu, sangat jauh jika harus jalan kaki.

Mata masih mengantuk, karena sebenarnya saya insomnia, susah sekali tertidur nyenyak. Entah karena beban pikiran, entah karena panasnya udara jakarta sementara kipas yang baru dibeli lima bulan lalu 'meninggal' secara tiba-tiba, diagnosa saya bahwa terlalu banyak debu di motor penggeraknya rupanya salah. Sayang sekali, saya bukan dokter.

Sedari kemarin saya sudah menyiapkan satu buah travel bag (maaf saya sok kebarat-baratan) maksud saya tas besar untuk bepergian, untuk menampung semua kebutuhan saya mulai dari celana dalam, alat-alat mandi beberapa baju ganti yang saya beli dengan harga murah, karena saya suka yang murah. Hidup murah!!!

Pukul tiga pagi.

Saya pamit, sama rekan kosan yang kebetulan terbangun. Sama kucing saya, namanya cemonk yang patuh untuk tidur diberanda kos-kosan. Kucing pintar. Malah cemonk antar saya sampai tempat sampah, sampai dia sadar bahwa saya bukan hendak memberinya makan tapi hendak pamit. Saya sudah komat-kamit bilang bahwa saya mau ke Surabaya, tapi dia tidak mengerti juga. Maklumlah saya belum belajar bahasa kucing.

Gelap. Langit begitu gelap, saya dibantu berjalan dengan beberapa penerangan yang berpendar lemah. Sampai di depan sebelum jalan raya, portal tertutup rapat. Disamping portal ada sedikit jalan keluar, kayu-kayu tersebut menutupi got dibawahnya biasanya tempat itu dipakai berjualan pada pagi hari.

Saya memang sial.

Kenapa diantara kayu-kayu lain yang kokoh, saya menginjak kayu yang rapuh dan tidak terpaku rapih? Kenapa?? Apa memang orang yang selalu sial itu ada di dunia, seperti film korea yang bertajuk "SEE YOU AFTER SCHOOL" dimana pemeran utamanya selalu tertimpa sial. Seperti saya pukul tiga pagi ini dan saya pada masa-masa lainnya.

Kamu tidak akan bisa membayangkan pose saya saat itu. Terlalu ekstrem untuk dijelaskan. Cuma ada bukti memar dan luka gores disepanjang betis sebelah kiri. Tenang, saya masih bisa berjalan. Masih bisa berjalan sepanjang 300 meter ke depan untuk mencari angkutan umum yang saya sendiri ragu untuk bisa menemukannya atau tidak.
Mungkin kamu bertanya apakah saya tidak ngeri untuk berjalan sejauh itu sendirian di pagi buta? TIDAK! Hahaha biasa saja. Tidak. Saya lebih takut ketemu kuntilanak walau saya pun takut juga jika bertemu rampok. Namun hal berikutnya yang saya lakukan mungkin akan lebih mengejutkan.

Sebuah mobil bak terbuka hitam, bentuknya mirip mobil kalong yang pernah saya naiki ketika akan pulang ke depok pada tengah malam. Saya pikir dia akan mengambil penumpang, ternyata tidak. Supirnya masih muda, dia dan temannya berdua. Saya waspada, tetap waspada karena citra kota Jakarta yang tidak aman ketika malam, banyak rampok, banyak setan, banyak yang jelek-jelek ketika malam tiba, padahal siang juga banyak yang jelek.

Supir mobilnya menawarkan saya untuk menumpang mobilnya karena sudah malam. Sejujurnya, jika saya kaya, saya lebih baik naik taksi hingga sampai dibandara. Namun terlalu sayang menghabiskan uang sebanyak 200 ribu hanya untuk transportasi sedangkan dengan uang sebegitu banyak saya bisa makan selama 10 hari atau uang segitu adalah 3/4 uang kos saya. Maka itu saya tempuh jalur yang berbahaya. Saya pun menumpang dengan mobil tersebut. Rencananya hanya sampai saya menemukan angkot. Namun sial, angkot tidak ada satupun yang lewat.

Mobil masih melaju, supirnya bilang mau mengantarkan saya ke terminal rawamangun. Waduh, jalan mobilnya cepat sekali. Pikiran negatif bertebaran sepanjang saya berada dalam mobil tersebut. Saya perhatikan jalannya, benar, ini jalan menuju Rawamangun. Tak berapa lama kemudian saya pun sampai dengan selamat di terminal Rawamangun.

Supir dan temannya yang sangat baik hati itu, saya beri sepuluh ribu, setelah saya pikir, jumlah itu sebenarnya kurang. Saya tega sekali memberi mereka segitu. Sungguh saya bodoh.

Saya naik Damri yang sudah nangkring dibarisan paling depan. Saya pikir akan lama mereka ngetem, namun ternyata beberapa menit berikutnya mereka sudah jalan. Wah masih pagi sekali! Saya terlalu rajin, membuat saya menyesal, andai saya tidak terlalu takut terlambat, saya mungkin tidak akan terperosok, mungkin bisa naik angkot dan tak perlu was-was.

Lalu lintas pada pagi buta di hari minggu jika mau digambarkan adalah seperti layaknya hati saya sekarang, kosong. (Hahaha Curcol). Jika pada hari biasa yang siang benderang dengan kemacetan luar biasa, perlu waktu setidaknya tiga jam untuk sampai di Bandara. Namun kini? Hanya sekitar 45 menit saja. Membuat saya menyesal karena tidak memanfaatkan waktu tersebut untuk kembali tidur, namun malah bersms dengan orang-orang yang saya anggap penting saat itu.

Saya sudah sampai Bandara. Wah ternyata ada banyak orang. Saya menuju tempat favorit (lagi-lagi bahasa inggris), toilet (lagi-lagi!!!). Setelah buang air kecil, saya pun mengganti baju dengan dress (Apa sih bahwa indonesianya dress, saya malu sebagai orang indonesia tidak tahu!) hitam pendek. Biar kelihatan seksi? Bukan. Biar saya dapat mengobati luka kecil ketika saya terperosok tadi dengan salep yang sebenarnya lebih tepat digunakan untuk luka bakar. Lukanya agak memerah dan sedikit membiru.

Rasanya saya mau tidur, badan terasa sakit semua. Namun belum bisa. Saya menunggu tiga teman yang lainnya. Mereka belum datang, saya pun duduk untuk menelepon Ibu saya, agar dia tidak khawatir. Saya benci membuat orang khawatir, terutama orang yang sudah susah dengan masalahnya sendiri. Diantaranya Ibu saya. Tenang saja Ibu, saya sudah besar dan dapat menjaga diri sendiri.

Singkatnya. Setelah teman-teman saya datang dan tim rambut dari Jakarta pun tiba. Kami berangkat.

Saya sudah lama tidak menggunakan pesawat untuk bepergian. Jadi saya sedikit norak dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh saya yang langsung ditertawakan teman-teman lain. Saya tidak marah. Saya tidak malu. Saya berbeda. Saya berjuang. Sementara mereka hanya menjalani. Saya berbeda. Saya spesial. Mungkinkah?


Bersambung....

Ayo Kita Ke Laut Mrs Dolloway

Selamat Pagi,
Pagi ini seperti biasa, yang luar biasa adalah Mrs Dalloway sudah bersama saya semenjak tengah malam. Tidak biasanya ia datang disaat hari tenang.
Menjelang siang, Mrs Dalloway tahu benar, bahwa pengkhianatan ini tidak dapat dibiarkan.
Mrs Dalloway berkata bahwa ketika berkhianat berarti sesuatu harus dibunuh.
Saya masih bingung, tidak sepenuhnya saya setuju. Namun benar, saya lelah. Rasanya ingin tertidur di atas air dingin yang menyejukkan. Bermain dengan lumba-lumba yang ramah.
Mungkin sedikit digigit hiu.

Selamat siang,
Matahari sudah terlalu terik sekarang, Terlalu panas untuk berjalan-jalan, kata Mrs Dalloway.
Fakta demi fakta mengerumuni diri yang kini tidak lagi berdaya.
Saya sudah minus...minus sekali.
Sekali lagi, Mrs Dalloway mengajak saya ke laut. Mengimingi saya untuk bermain-main dengan lumba-lumba yang penuh dengan senyum.
Ada banyak papan selancar memenuhi topping atas pantai. Mendayu-dayu mengikuti arus.
Lalu saya harus berada dimana?
Dibawah atau diatas?
Diatas atau dibawah?

Hari berangsur sore,
Rasanya saya butuh beristirahat. Saya tidak boleh ada disini karena saya tidak mampu mengerjakan apapun. Saya tidak seharusnya berada disini. Saya harusnya berada di laut bersama Mrs Dalloway.
Lalu bagaimana dengan orang-orang lain?
Orang lain akan survive, mereka tidak akan merindukan kamu,
Karena kamu mudah sekali terlupakan...

note : ketika ada yang mengerti rasanya lega sekali, thx mimit...

Ketika Kita Merasa Paling Benar...

Saya selalu begitu. Buru-buru mengerjakan semuanya, mencetak semua artikel yang belum saya reka, tiga buah kalau tak salah, yang niatnya saya baca dan nantinya di ubah untuk pekerjaan saya. Perjalanan saya panjang, amat sangat panjang dikarenakan macet. Sang supir angkot putus asa dan berniat mencari jalan pintas agar terhindar dari kemacetan. Sang supir yang sedari tadi memaksa kami duduk berenam dalam sebaris. Tapi hal itu terlihat tak mungkin, ia pun diprotes si penumpang.

Matahari sudah mulai tenggelam, sehingga terangnya meredup tergantikan gelap. Saya satu angkot dengan anak-anak SMP yang berbicara seru dan heboh dengan suara yang keras. Agak menganggu memang, karena mereka saya tidak dapat menelepon dengan bebas. Maklum saya agak tuli, budeg, bolot, atau apapun itu istilahnya yang kamu pakai.

Anak-anak yang saya yakin berat badannya lebih berat dari saya tersebut, membuat saya berpikir bahwa saya benar-benar kekurangan gizi. Pembicaraan mereka beragam, mulai dari masalah guru dan sifat-sifatnya di sekolah, nilai dan membicarakan teman sebayanya.

Lalu lintas semakin memburuk, padahal tinggal lima ratus meter lagi saya sudah bisa sampai tempat yang saya tuju. Sementara lalu lintas dipenuhi kebisingan klakson tanda ketidaksabaran, sang anak-anak SMP berbicara makin keras, tidak menghiraukan hal-hal yang ribut. Saya mau mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan, mau tahu apa saja yang ada di benak anak-anak SMP jaman sekarang.

Beginilah sekelumit percakapan mereka, karena mereka bertiga dan kebetulan saya belum berkenalan jadi saya namai mereka A, B dan C saja yah...

"Eh, si D tuh gila ya tadi dia mah!!", kata si A.
"Kenapa gitu??" tanya si B yang berjilbab.
"Lu liat ga tadi dia olahraga pake BH doang, ga pake tank top lagi!!!" jawab si A
"Hah?? Yang bener lu?? Tapi dia sih memang parah sih..." timpal si B.
"Iyah dia tuh selalu cerita dugem-dugem gitu, Iiih rusak bener tuh orang..." si A makin memanas.
"Iya sih, dia tuh emang udah rusak, keluarganya tuh padahal bener semua, dia doang yang rusak..." tambah si B.
"Iya, iya, ibaratnya orang-orang mah jalan lurus nah dia doang yang belok kanan...melenceng!!" jawab si A kencang-kencang.

Batin saya mengerang sangat sehingga acara potong jalan yang biasanya menyenangkan untuk saya karena saya bisa lihat lingkungan yang tak pernah saya tahu, terlewatkan. Sayang, saya kurang berani untuk mengenalkan diri dan memulai diskusi tentang perbincangan mereka tadi.

Tak lama kemudian, mereka turun dari angkot yang kini masih terjebak dalam kemacetan konyol, karena volume kendaraan yang tak tertampung si jalan. Saya mengenang, jauh ke belakang ketika saya masih hijau, seusia mereka. Sekitar sebelas tahun yang lalu (Wow sudah lama ya! Damn! Saya merasa tua). Saya pun pernah merasa tahu segalanya ketika seumur itu, ternyata dunia terlalu luas untuk saya mengerti sendirian.

Adik-adik sayang, mungkin kalian akan mengerti bahwa yang kalian lakukan saat ini sering disebut 'stereotip yang memenjara' jika saya bisa membuat istilah sendiri. Stereotip yang kalian tempelkan pada orang-orang yang biasanya kita anggap negatif. Wahai adik-adik yang manis...belum tentu sayang, belum tentu kamu sebaik teman kamu yang dugem atau teman kamu yang dugem juga belum tentu sebaik kamu, yang berjilbab belum tentu sebaik orang yang tidak berjilbab, begitupun sebaliknya.

Adik-adikku sayang. Seringkali kita memenjarakan orang dengan melabelinya yang terkadang kejam adalah label itu terlampau negatif, sehingga memancarkan aura permusuhan. Saya pun masih, masih melabeli pria sebagai makhluk yang sulit sekali menjadi setia. Dan kadang hal tersebut membuat saya selalu penuh curiga namun biasanya saya selalu benar.

Adik-adikku mungkin kalian belajar untuk melabeli seseorang dari orang tua kalian. Orang tua pun menurunkan pemikiran pada anaknya menelusuk dan meresap. Kasihan sekali peradaban kita jika hanya diwarnai oleh pelabelan dan tindak negatif yang menginginkan keseragaman padahal kita tahu warna ada banyak. Kita seakan buta untuk mengakui bahwa warna itu banyak, dan hanya mengakui satu warna untuk hidup ini...

Dibuat ketika menuju Pondok Gede untuk menukarkan sepatu jualan, kedua kalinya...

Mencontek

Hari-hari telah berlangsung seperti biasa, seperti pagi pada minggu-minggu ulangan umum. Kelas yang berbeda, teman sebangku yang berbeda, tak jarang adik kelas atau kakak kelas berada disamping. Kadang ada yang baik dan ramah. Kadang ada pula yang menjengkelkan. Kamu tidak bisa memilih untuk dipasangkan dengan siapa. Siapa saja bisa duduk disebelahmu. Suka atau tidak.

Saya selalu seperti itu. Seperti apa? Seperti orang yang merasa 24 jam adalah tidak cukup. Selalu mencuri-curi waktu untuk belajar, berlomba dengan jalanan yang macet, berlomba dengan kebisingan jalan raya, berlomba dengan waktu yang terasa selalu berlari.

Apakah sekolahmu juga mempunyai kebiasaan macam ini? Yaitu meletakkan semua tas yang dibawa murid-murid ke depan kelas. Tujuannya apalagi jika bukan untuk menghindari murid-murid mencontek dari buku teks.

Mencontek banyak caranya. Mencontek dari buku langsung, mencontek dengan bertanya teman, mencontek melalui sms, mencontek dengan mengintip (pemaksaan jika tidak diberi contekan). Menulis jawaban dalam rok atau diatas paha. Dan mungkin masih banyak lagi cara lainnya.

Namun entah kenapa saya jarang tertarik. Yang ada justru merasa bersalah jika saya tidak dapat menjawab sebuah pertanyaan, lalu kemudian bertanya pada teman saya (berarti saya menconteki teman saya) lalu jawaban saya pun jadi benar. Rasanya tidak enak berhutang budi terus menerus. Yang ingin saya bilang, bahwa saya orang yang malas dan tidak dapat menjawab soal adalah akibat dari kemalasan saya.

Kembali lagi pada paragraf ketiga. Tas dan seisinya diharuskan untuk ditaruh ke depan kelas. Saya pun begitu, kecuali beberapa buku yang tetap saya pegang dengan tujuan saya baca selagi guru membagikan soal dengan lambat. Lalu saya yang gampang gugup ini akan melemparkan begitu saja buku yang sedang saya baca ke dalam kolong meja. Tanpa ditutup rapih.

Ulangan dimulai, dibuat sedemikian rupa hening agar semua orang berkonsentrasi. Satu per satu soal dijawab. Lalu saya akui saya gila, segila pidi baiq yang ingin mengetahui reaksi orang atas tindak tanduknya. Saya pun begitu. Saya sengaja mengerjakan soal bukan dimeja namun justru dipangkuan. Seolah-olah saya mencontek. Untuk apa saya lakukan itu? Tidak ada. Hanya untuk menguji mungkin? Atau saya memang tidak benar-benar tahu tujuan untuk melakukan itu.

Biasa. Guru pengawas akan berjalan-jalan disetiap meja dan memandang saya mengerjakan dipangkuan lalu memandang kolong meja saya. Itu, ada buku terbuka. Saya tahu. Dengan segera dia mengambil kertas ulangan yang sedang saya kerjakan. Saya pun di vonis.

Di vonis mencontek.

Padahal dia tidak lihat saya mencontek kan? Aneh ya...

Saya pun bilang yang sejujurnya,
"Tapi saya tidak mencontek Bu..."

"Enggak mencontek dari mana?Kamu mengerjakan soal dengan menunduk, di kolong meja mu ada buku teks, terbuka. Kamu harap keluar dari ruangan ini secepatnya.", sahut Ibu Guru tersebut mengemukakan bukti-bukti yang dianggapnya benar.

Lalu seisi kelas yang meilhat kejadian itu pun terkejut. Membangun opini yang sama. Bahwa saya ketahuan mencontek. Ya sudah, saya pun keluar kelas.

Ketika jam istirahat berdentang, saya pun melenggang dengan biasa menuju kantin. Lalu seorang teman lewat sambil bertanya, namanya didik, saya masih ingat.

"Lu ketahuan nyontek ya Tam??" tanyanya sambil tersenyum maklum dan miris. Saya enggak begitu ngerti jika harus digambarkan dengan kata-kata. Terlalu rumit.

"Gue engga nyontek kok..." dan itu adalah kebenaran.

"Udaah enggak usah malu, setiap orang berbuat kesalahan kok, ini hari sial lu aja..." katanya sembari memberi nasihat yang ia kira bijak untuk saya, lalu Didik berlalu ke arah kantin mendahului saya.

"Tapi gue memang enggak nyontek Dik..." begitu kata saya dalam hati, karena saya tidak bebas berteriak-teriak, karena terlalu sering direpresi untuk bertindak ekspresif semenjak di dalam rumah.

Seminggu setelah kejadian tersebut, dengan saya yang masih menceritakan kebenaran tiap ditanya orang yang sudah terlanjur terbangun opini dalam sirkuit otak yang sebenarnya luas, tidak dangkal. Sebuah buku mampir ke tempat duduk saya yang dipinggir jendela. Itu dari guru geografi yang mendapat laporan bahwa saya mencontek. Ia melemparkan buku 'tanda bukti' saya mencontek dari jendela.

Lalu kejadian ini berakhir dengan saya dipaksa minta maaf atas perbuatan yang tidak saya lakukan. Karena opini.

Saat ini saya kembali mengingat kenangan tersebut. Kenangan tidak akan pernah hilang kecuali kamu amnesia. Kenangan akan selalu ada. Saya pun dapat memahami tindakan yang dulu saya lakukan. Saya pun memahami bahwa manusia sering membangun persepsi yang diinginkan dalam otaknya. Mempercayai opini yang besar atau tidak sengaja membesar.

Saya masih begini, masih suka menguji orang dan kadang menguji diri sendiri. Masih sama dengan jiwa saya ketika masih sekolah dulu. Dan saya pun harus setuju bahwa dari bangku sekolah terbit nilai, penyeragaman pikiran. Padahal hakikinya kita adalah mahluk yang unik tiap masing-masing individu, pada anak kembar sekalipun.

Dunia manusia itu lucu - saya bilang begitu hanya karena tidak pernah hidup di dunia hewan...

Belajar Bicara

Hari sudah berangsur sore, pukul tiga, namun matahari masih terik membakar semua orang yang berada di terminal Pulo Gadung hari itu. Bau pesing menguar, seakan itu ciri khas semua terminal di Ibukota.

Ada seorang Ibu dan dua anaknya, laki-laki dan perempuan yang masih kecil dalam sebuah angkot. Anak laki-laki itu lebih tua dari adik perempuannya yang tertidur lelap dipangkuan Ibunya.

Angkot lama berhenti mencari penumpang, kadang mobil digas sedikit agar calon penumpang tertipu bahwa angkot yang ini akan segera jalan. Mobil masih berhenti, bukan dipinggir jalan, melainkan di tengah, membuat pengendara lain merasa marah, membunyikan klakson sekencang-kencangnya hingga telinga terasa pekak.

Udara panas menguap di dalam angkot, membuat sang anak laki-laki gelisah dan merengek. Sang Ibu tidak peduli atau pura-pura tidak peduli. Si anak makin gelisah dan mungkin juga kesal karena kepanasan, airmatanya menumpuk di pelupuk mata. Ingusnya mulai ditarik ulur lewat dengusan hidungnya. Mobil akhirnya jalan dengan sang supir menggerutu karena tak ada penumpang. Si supir memacu mobil sekencang-kencangnya untuk melampiaskan rasa kecewanya.

Sang anak masih kepanasan, merengek karena kekesalannya tertahan. Ia mulai gelisah, tidak duduk dengan baik atau bisa dibilang sedang mengamuk kecil. Sang Ibu habis kesabaran dan tidak mengerti dengan perilaku si anak, ia pun memukulnya. Si anak balas memukul. Lalu dipukul lagi. Balas memukul. Sepanjang perjalanan menuju Kampung Melayu mereka saling memukul, tentu sang Ibu menang, tenaganya lebih kuat.

"Mati aja kamu! Mati!" ujar sang Ibu kepada sang anak sambil memukul kepalanya keras.
Mendengar 'kerusuhan' di belakang tempatnya mengemudi, si supir bertanya

"Ada apa si??"

"Tau nih..." ujar sang Ibu yang sekarang sedang memberi minum anak perempuannya yang sudah terbangun. Ternyata si supir adalah ayah dari dua anak itu dan suami dari sang Ibu.

"Udah! Turun aja sana!!" ujarnya kasar kepada si anak laki-laki. Tiba-tiba saja...

"Udah..."
Satu bogem mentah melayang ke pipi si anak laki-laki dengan tenaga penuh.
"Dibilang!"
Dua
"Jangan nakal!!!"
Tiga, empat...

"Udah pak, sabar..." seorang penumpang laki-laki mencoba menenangkan.

"Dilempar aja kamu ke jalan!!" lalu tubuh si anak laki-laki dihempas, namun tidak ke jalan. Sang Ibu diam saja berwajah datar, begitupun adik perempuannya, seolah pemandangan ini adalah biasa. Tak ada gurat ketakutan atau pun iba pada wajah mereka.

"Sabar Pak..." penumpang laki-laki tadi mencoba menenangkan kembali sebelum dirinya turun.

Sang anak laki-laki pindah tempat duduk untuk menghindari dirinya kena pukul lagi. Tak ada lagi tangis di matanya, namun ada sisa luka disana yang suatu saat akan melahirkan amarah dan dendam.

Dia adalah satu dari jutaan anak Indonesia yang dibesarkan dengan kekerasan, tekanan psikis dan fisik. Yang akan tumbuh dengan kekerasan dan akhirnya akan selalu mengancam dan memukul tanpa punya kesempatan untuk belajar menggunakan cinta untuk bicara. Hingga kapan mata rantai ini akan berakhir?

Selasa, 04 Mei 2010

Amel

Dia tidak cantik tapi manis. Amel namanya. Hidupnya tidak terlalu indah karena harus berjuang d ijalanan. Dia bukan anak jalanan. Dia adalah seekor monyet betina yang bekerja diluar ketentuan undang-undang tenaga kerja. Dia bekerja sembilan jam sehari, dengan waktu istirahat hanya lima belas menit. Sore itu dia terlihat sangat lemas. Amel tergolong masih 'baru' untuk terjun sebagai topeng monyet. Atraksinya hanya sebatas menggigit topeng dan berdiri.

Amel sangat jinak, namun sudah mati rasa karena terlalu sering dikasari. Belai saja punggungnya yang kurus karena jarang diberi makan. Ia terlihat sangat kelaparan karena dari tadi terus-terusan menggerogoti daun-daun yang berguguran. Rantai yang mencekik lehernya seakan mencekik kebebasannya sebagai monyet yang harusnya berlompatan antar dahan. Amel terlihat kuyu.

Si majikan, baru berumur lima belas tahun. Masih muda. Diantara keempat temannya yang juga bekerja sebagai topeng monyet dipinggir jalan itu, hanya dia yang paling bisa diajak bicara. Logatnya terdengar seperti berasal dari daerah Jawa Tengah. Penampilannya sama lusuhnya dengan Amel. Dia merespon semua pertanyaan dengan baik, walau bahasa Indonesianya kadang sukar dipahami.

"Monyetnya sudah dikasih makan belum mas?"
"Sudah mba tadi dzuhur..."
Saat itu sudah pukul setengah enam sore. Sebagai manusia saja kita sudah kembali keroncongan.
"Mas tinggal dimana?"
"Di prumpung...Disana juga tempat monyetnya."
"Biasanya dapet berapa mas sehari topeng monyet kayak gini?"
"Lima puluh ribulah..."
Jumlah yang cukup banyak.
"Monyetnya nyewa?"
"Nyewa Mba, ini aja tiga puluh ribu..."
Berarti ada agency monyet yang menadah keuntungan dengan berungkang-ungkang kaki, menyewakan mahluk yang ditangkap dari rumah mereka sendiri, yang bukan dari jenisnya yang sudah tentu tidak mau disewakan karena akan melalui siksaan setelah ditangkap.

"Lalu mas, kalau tiba-tiba gak boleh ada topeng monyet, mas mau kerja apa?"
Maksudnya biar dibelikan gitar, mengamen, berjuang pakai tenaga sendiri, bukan menyuruh yang lain bersusah-susah untuk bekerja.
Dia tidak menjawab pertanyaan tersebut. Amel masih mencari-cari daun untuk dimakan.

Amel pasti butuh minum, si majikan pasti butuh minum, Amel juga butuh makan walau sedikit, cuma ada minuman kemasan gelas, lima bungkus kacang. Mudah-mudahan Amel suka.

Amel tahu saya bawa makanan dan minuman. Dari jauh dia sudah memandang kantong bawaan saya. Amel monyet yang pintar, dia tahu cara minum dari sebuah minuman kemasan gelas.

Amel, nasibmu buruk tinggal di negara ini, berbeda dari saudaramu yang bisa bebas mandi air hangat di timur sana. Karena tidak akan ada yang peduli padamu kecuali segelintir hanya karena persentasi jenismu belum mendekati punah. Hanya karena kamu tidak lebih dari seekor hewan tanpa perasaan.

Amel...

Catatan Awal

Selamat sore menjelang malam.

Tadinya saya banyak posting blog di multiply, namun kelihatannya berat banget dan susah untuk nge-link kemana-mana. Lalu saya lihat blog teman saya, bisa ngelink kemana-mana dan enggak berat. Jujur ngebuka multiply itu penuh cobaan. Entah karena koneksi yang sedang lambat. Atau memang berat. Namun saya jadi jenuh lama-lama.

Kukukotor adalah nama yang saya pilih karena kuku saya sering sekali kotor. Entah karena habis garuk-garuk kepala, entah karena memang jari berlima itu kotor, saking sebalnya karena ngeri dicap cacingan, kukukotor malah jadi identitas. Jadi identitas yang kurang menyenangkan sebenarnya namun tidak absolut. Karena kukukotor hanya bagian kecil dari saya yang besar. Seperti halnya bagian tubuh lain yang kamu tidak suka, itu hanya bagian kecil dari saya yang besar.

Saya pernah audisi untuk menjadi model sebuah print ad. Tiba-tiba mereka suruh saya merentangkan jari-jari untuk melihat apakah kuku saya cantik atau tidak. Lalu mereka langsung mengernyit jijik ketika melihat ke sepuluh jari yang terentang. Dalam hati, mana saya punya uang untuk melakukan perawatan kuku-kuku di salon. Buang-buang uang karena saya yang notabene anak kos ini, mencuci dengan menggunakan tangan sehingga wajar jika tangan yang menurut orang-orang kebanyakan harusnya halus dan mulus, saya punya yang agak kasar dan tidak terawat. Kamu pun pasti sudah tahu alasannya. Tak apa, tangan saya yang mungkin orang lain bilang jelek, hanya bagian kecil dari saya yang besar.