Rabu, 05 Mei 2010

Trilogi Surabaya

Ini bukan ritual debus atau pesugihan ketika saya mandi pukul dua pagi. Bukan juga menjadi seseorang yang religius untuk meneruskan setelahnya sholat tahajud. Saya mau jualan rambut saya ke Surabaya, sementara tiket pesawat saya menandakan bahwa pukul lima saya sudah harus berada di sana. Di bandara Soekarno-Hatta, betul, yang jauh itu, sangat jauh jika harus jalan kaki.

Mata masih mengantuk, karena sebenarnya saya insomnia, susah sekali tertidur nyenyak. Entah karena beban pikiran, entah karena panasnya udara jakarta sementara kipas yang baru dibeli lima bulan lalu 'meninggal' secara tiba-tiba, diagnosa saya bahwa terlalu banyak debu di motor penggeraknya rupanya salah. Sayang sekali, saya bukan dokter.

Sedari kemarin saya sudah menyiapkan satu buah travel bag (maaf saya sok kebarat-baratan) maksud saya tas besar untuk bepergian, untuk menampung semua kebutuhan saya mulai dari celana dalam, alat-alat mandi beberapa baju ganti yang saya beli dengan harga murah, karena saya suka yang murah. Hidup murah!!!

Pukul tiga pagi.

Saya pamit, sama rekan kosan yang kebetulan terbangun. Sama kucing saya, namanya cemonk yang patuh untuk tidur diberanda kos-kosan. Kucing pintar. Malah cemonk antar saya sampai tempat sampah, sampai dia sadar bahwa saya bukan hendak memberinya makan tapi hendak pamit. Saya sudah komat-kamit bilang bahwa saya mau ke Surabaya, tapi dia tidak mengerti juga. Maklumlah saya belum belajar bahasa kucing.

Gelap. Langit begitu gelap, saya dibantu berjalan dengan beberapa penerangan yang berpendar lemah. Sampai di depan sebelum jalan raya, portal tertutup rapat. Disamping portal ada sedikit jalan keluar, kayu-kayu tersebut menutupi got dibawahnya biasanya tempat itu dipakai berjualan pada pagi hari.

Saya memang sial.

Kenapa diantara kayu-kayu lain yang kokoh, saya menginjak kayu yang rapuh dan tidak terpaku rapih? Kenapa?? Apa memang orang yang selalu sial itu ada di dunia, seperti film korea yang bertajuk "SEE YOU AFTER SCHOOL" dimana pemeran utamanya selalu tertimpa sial. Seperti saya pukul tiga pagi ini dan saya pada masa-masa lainnya.

Kamu tidak akan bisa membayangkan pose saya saat itu. Terlalu ekstrem untuk dijelaskan. Cuma ada bukti memar dan luka gores disepanjang betis sebelah kiri. Tenang, saya masih bisa berjalan. Masih bisa berjalan sepanjang 300 meter ke depan untuk mencari angkutan umum yang saya sendiri ragu untuk bisa menemukannya atau tidak.
Mungkin kamu bertanya apakah saya tidak ngeri untuk berjalan sejauh itu sendirian di pagi buta? TIDAK! Hahaha biasa saja. Tidak. Saya lebih takut ketemu kuntilanak walau saya pun takut juga jika bertemu rampok. Namun hal berikutnya yang saya lakukan mungkin akan lebih mengejutkan.

Sebuah mobil bak terbuka hitam, bentuknya mirip mobil kalong yang pernah saya naiki ketika akan pulang ke depok pada tengah malam. Saya pikir dia akan mengambil penumpang, ternyata tidak. Supirnya masih muda, dia dan temannya berdua. Saya waspada, tetap waspada karena citra kota Jakarta yang tidak aman ketika malam, banyak rampok, banyak setan, banyak yang jelek-jelek ketika malam tiba, padahal siang juga banyak yang jelek.

Supir mobilnya menawarkan saya untuk menumpang mobilnya karena sudah malam. Sejujurnya, jika saya kaya, saya lebih baik naik taksi hingga sampai dibandara. Namun terlalu sayang menghabiskan uang sebanyak 200 ribu hanya untuk transportasi sedangkan dengan uang sebegitu banyak saya bisa makan selama 10 hari atau uang segitu adalah 3/4 uang kos saya. Maka itu saya tempuh jalur yang berbahaya. Saya pun menumpang dengan mobil tersebut. Rencananya hanya sampai saya menemukan angkot. Namun sial, angkot tidak ada satupun yang lewat.

Mobil masih melaju, supirnya bilang mau mengantarkan saya ke terminal rawamangun. Waduh, jalan mobilnya cepat sekali. Pikiran negatif bertebaran sepanjang saya berada dalam mobil tersebut. Saya perhatikan jalannya, benar, ini jalan menuju Rawamangun. Tak berapa lama kemudian saya pun sampai dengan selamat di terminal Rawamangun.

Supir dan temannya yang sangat baik hati itu, saya beri sepuluh ribu, setelah saya pikir, jumlah itu sebenarnya kurang. Saya tega sekali memberi mereka segitu. Sungguh saya bodoh.

Saya naik Damri yang sudah nangkring dibarisan paling depan. Saya pikir akan lama mereka ngetem, namun ternyata beberapa menit berikutnya mereka sudah jalan. Wah masih pagi sekali! Saya terlalu rajin, membuat saya menyesal, andai saya tidak terlalu takut terlambat, saya mungkin tidak akan terperosok, mungkin bisa naik angkot dan tak perlu was-was.

Lalu lintas pada pagi buta di hari minggu jika mau digambarkan adalah seperti layaknya hati saya sekarang, kosong. (Hahaha Curcol). Jika pada hari biasa yang siang benderang dengan kemacetan luar biasa, perlu waktu setidaknya tiga jam untuk sampai di Bandara. Namun kini? Hanya sekitar 45 menit saja. Membuat saya menyesal karena tidak memanfaatkan waktu tersebut untuk kembali tidur, namun malah bersms dengan orang-orang yang saya anggap penting saat itu.

Saya sudah sampai Bandara. Wah ternyata ada banyak orang. Saya menuju tempat favorit (lagi-lagi bahasa inggris), toilet (lagi-lagi!!!). Setelah buang air kecil, saya pun mengganti baju dengan dress (Apa sih bahwa indonesianya dress, saya malu sebagai orang indonesia tidak tahu!) hitam pendek. Biar kelihatan seksi? Bukan. Biar saya dapat mengobati luka kecil ketika saya terperosok tadi dengan salep yang sebenarnya lebih tepat digunakan untuk luka bakar. Lukanya agak memerah dan sedikit membiru.

Rasanya saya mau tidur, badan terasa sakit semua. Namun belum bisa. Saya menunggu tiga teman yang lainnya. Mereka belum datang, saya pun duduk untuk menelepon Ibu saya, agar dia tidak khawatir. Saya benci membuat orang khawatir, terutama orang yang sudah susah dengan masalahnya sendiri. Diantaranya Ibu saya. Tenang saja Ibu, saya sudah besar dan dapat menjaga diri sendiri.

Singkatnya. Setelah teman-teman saya datang dan tim rambut dari Jakarta pun tiba. Kami berangkat.

Saya sudah lama tidak menggunakan pesawat untuk bepergian. Jadi saya sedikit norak dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh saya yang langsung ditertawakan teman-teman lain. Saya tidak marah. Saya tidak malu. Saya berbeda. Saya berjuang. Sementara mereka hanya menjalani. Saya berbeda. Saya spesial. Mungkinkah?


Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar