"Tes tes satu dua tiga...tes satu..."
Suara dari pengeras suara terdengar sayup-sayup. Kualitas pengeras suaranya sungguh buruk karena jika orang tersebut bicara dengan cepat kalimatnya tidak dapat didengar dengan baik. Kini matanya sudah terbuka dengan baik, namun ia memutuskan untuk tetap berbaring sambil mendengarkan suara yang sempat menganggu tidurnya tadi.
Sudah sebulan ia menyewa kamar di sini. Sebuah tempat kos yang dapat dicapai melalui gang kecil yang hanya dapat dilalui satu motor. Jika malam gang tersebut sedikit menyeramkan karena kadang lampu di jalan sempit tersebut tidak dinyalakan. Padahal, kiri-kanannya terhampar luas lahan tidak terpakai yang isunya akan segera dibangun gedung pencakar langit lainnya.Hanya ada tiga rumah, termasuk rumah kosnya, dalam radius lima ratus meter dan sebuah rumah kosong yang atapnya sudah melapuk dan runtuh dimakan usia serta cuaca.
Tak jauh dari sana ada dua buah sekolah dasar yang digabung. Tiap hari senin dan kamis tidurnya selalu terganggu akibat bunyi gemeresak pengeras suara yang semena-mena seakan-akan sengaja mengarah ke kamarnya yang berada di tengah-tengah, diantara dua kamar lainnya, di lantai dua, dua kamar lainnya kosong kalau kamu mau tahu. Kos ini lama tak ada peminat hingga dirinya datang.
Ibu dan bapak kosnya sudah tua, mereka pasangan Tionghoa dengan logat pasundan yang kental. Bapak kos punya tato di lengan kanan dan kirinya, tidak banyak, tidak menyeramkan kok. Sementara ibu kos suka menjahit di kamar bawah dan terlihat terampil dalam memeliihara tanaman. Buktinya, tangga menuju kamar kos dihiasi pot-pot berisi aglonema cilik dengan bunga berwarna shocking pink yang menyegarkan. Kala hujan turun ia suka menggoda bunga-bunga tersebut dengan bilang bahwa mereka pasti senang karena bulir-bulir air sudah datang.
"Kelas satu sampai enam, SD 09 dan 07, beserta paduan suara, lencang depan grak! Hayooo yang masih menyentuh bahu temannya beri jarak, mundur-mundur...Lepaaaaas grak!", suara kembali terdengar dari pengeras suara.
Ia tersenyum sambil berbaring, apakah ia yang kelewat tidak updated dengan lingkungan sekitar atau memang berbeda saja, setahunya tidak ada lepaaaaas grak! Yang ada tegaaaak grak! Namun jika ini yang dinamakan keberagaman, ia akan merayakannya dengan sukacita.
Saat itu kira-kira sudah pukul tujuh, upacara bendera sudah dimulai dengan aba-aba dari petugas upacara. Ketika bendera merah putih sudah dikibarkan, ia kira ia akan mendengar suara anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya, namun tiba-tiba suara paduan suara dari kaset rekaman terdengar lantang. Lho? jadi buat apa ada paduan suara? Dahinya berkerut-kerut ketika ia masih berbaring. Seremoni masih berlangsung hingga tiba saatnya pembina upacara naik ke atas podium untuk berceramah. Minggu lalu seingatnya perempuan yang berkhotbah, hari ini? Ternyata masih orang yang sama, ia dapat mengenali suaranya.
"Anak-anakku yang ibu sayangi, ibu senang sekali hari senin ini upacara sudah berlangsung lebih hikmat dari minggu lalu. Upacara bendera itu bukan hanya berdiri saja, tapi melatih kedisiplinan. Pakaian harus lengkap, yang tidak lengkap barisannya dipisah . Pemimpin upacaranya sudah lumayan dibanding minggu lalu. Protokol upacaranya tapi masih kurang, jangan asal tampil, sebelum tampil butuh latihan. Selebihnya sudah bagus. Tepuk tangaaan duluuuu.", lalu suara tepuk tangan terdengar riuh susul menyusul.
"Kemudian, ibu minta kepada SD 09 tolong, tempat sampah di luar kelas jika sudah penuh pindahkan ke tempat sampah yang lebih besar, jangan biasakan buang sampah di kolong meja. Nah, masalah mengerjakan tugas, tolong jika punya PR jangan dikerjakan pagi-paginya di sekolah, kerjakan pada malam harinya. Bilang sama orang tua, bahwa saya punya PR yang harus dikerjakan. Janji anak-anak??", lalu suara anak-anak serentak bilang 'Janjiiiii"
Loh kenapa musti berjanji?
"Kurang keras suaranya!", lalu suara anak-anak terdengar jauh lebih keras. "Ingat, janji adalah hutang. Hutang harus dibayar, mengerti anak-anak??"
Loh loh ini malah terdengar mirip ancaman.
Setelah itu khotbah selesai. Upacara kemudian dilanjutkan hingga selesai. Ia kini terduduk di atas tempat tidurnya. Merenungi apa saja yang sudah ia dengarkan. Apakah benar upacara bendera adalah gerbang menuju kedisiplinan? Kedisiplinan memakai seragam lengkap dengan aksesorisnya, biasanya harus disertai dasi dan topi serta sepatu hitam. Lalu bagaimana siswa yang topinya hilang dan ia hanya punya satu topi? Sedangkan ia tidak mampu untuk membeli topi lagi. Lalu bagaimana jika si murid hanya punya satu sepatu berwarna hitam dan karena kemarin hujan, sepatunya belum kering, bolehkah ia upacara dengan bertelanjang kaki? Akankah ia dihukum karena melakukan itu? Lalu kedisiplinan macam apa itu?
Lalu untuk apa ada paduan suara jika masih memutar kaset Indonesia Raya? Apakah anak-anak jaman sekarang tidak ada yang hapal lagunya? Atau mereka hapal namun karena mungkin fals jadi lebih baik pakai kaset saja? Aaah banyak yang bikin dahinya berkerut-kerut pagi ini.
Lalu kenapa dia malah tidur lagi? Bukannya segera bangun, mandi dan siap-siap berangkat kerja? Ia masih ingin memimpikan minggu yang berjalan terlalu singkat. Ia ingin meredam kekhawatirannya akan apapun yang dapat menyerangnya saat ini. Ia ingin istirahat sejenak sebelum kembali melihat kegilaan Jakarta. Motor dan mobil yang semena-mena, kadang ia lepas kendali dan memukul pengemudi yang tidak tahu malu. Naiknya harga makan siang dalam sehari yang dilakukan penjual makanan eceran untuk para pekerja kerah biru. Kedinginan dan kekurangan cairan. Memikirkan mengapa Katolik harus menikah dengan Katolik, Islam dengan Islam, Ahmadiyah dengan Ahmadiyah? Ia akan kembali pada kegilaan itu dalam satu jam lagi, kini biarkan ia tertidur sebentar yah...
tami,,,,dia itu siapa?cowo lo ya?ga jelas siapa tuh..hahahaha...gw jadi inget zaman SD pasa upcara bendera. inget zaman SMP pas gw jadi paskibra...hahai.
BalasHapusTaher, dia itu saya...
BalasHapus