Rabu, 12 Januari 2011

Bioskop Itu Sudah Hancur, Ayah...

Hari itu masih cukup pagi, sekitar pukul sebelas. Lalu lintas bersahabat jika matahari sudah agak tinggi, jalanan di Jakarta tidak penuh mobil seperti layaknya pagi hari orang-orang sub-urban berjuang dengan yang lainnya untuk mencapai daerah urban. Bulan itu di tahun 2010 saya masih tinggal di daerah sub-urban yang cukup padat lalu lintasnya yaitu Buaran, Jakarta Timur. Saya menyewa sebuah kamar di mana suhu dapat naik menjadi 27 derajat Celsius, sangat panas. Pelajaran cukup ampuh bagi orang-orang yang malas mandi macam saya, karena gerahnya bukan main.

Saya ijin dari kerja hari itu, untuk datang ke sebuah interview di daerah Kemang. Cukup jauh dari sini, namun ongkosnya tidak mahal. Delapan ribu saja bolak-balik, dengan catatan tidak kemalaman. Kopaja saja tidak perlu taksi, saya benci pendingin. Taksi cuma cocok untuk pindahan dan menuju Bandara jika dapat tiket gratis (bagi saya).

Seragam saya hari ini adalah kemeja beserta rok dan sandal abu-abu semata kaki. Ada ikat pinggang agar rok tetap pada tempatnya, karena saya sangat kurus. Setelah naik kopaja nomer 52 hingga sampai di stasiun tebet, perjalanan dapat dilanjutkan menuju Kemang dengan kopaja nomer 612. Perjalanan alot pun di mulai…

Bis tidak terlalu penuh, karena itu si supir berjalan sedikit demi sedikit mencari penumpang, istilah teman saya ‘seubin-ubin’. Walau tersendat, kendaraan ini tetap jalan. Satu penumpang naik sebelum bis mencapai Balai Sudirman. Arah sebaliknya, kendaraan sama lapangnya untuk menjelajah aspal, hei andai saja Jakarta begini setiap hari, mungkin tingkat stress dapat dikurangi diantara warganya, sehingga tidak ada lagi supir tidak sabaran yang menggerutu ketika seorang nenek mencoba turun dengan hati-hati. Mau tonjok mulutnya jika dia bilang,

“Adooooh cepet Buuuu!!”

Tapi tentu saja, saya kan terlalu pengecut untuk melakukan itu, kewarasan membatasi semuanya. Haaaahhh andai saja saya ini nekat.

Kopaja berwarna hijau ini meneruskan perjalanan. Ada lagi satu penumpang naik, ini daerah mana saya lupa, entah masuk kecamatan Tebet atau Manggarai. Seperti biasa, di dekat jendela yang terbuka, angin menerpa wajah ketika bis berjalan. Hal ini cukup menghibur meski sepi, sms juga jarang ada yang masuk, karena kebanyakan kaum muda sekarang menggunakan BBM atau YM untuk berkomunikasi, layanan ini gratis selama kamu terkoneksi dengan internet. Sulitnya mempertahankan diri dalam ritme social hari ini.

Tiba-tiba saya dikejutkan dengan suatu pemandangan yang memilukan. Mungkin bagimu ini biasa saja, ini hanya sebuah bangunan hancur yang biasa kamu lihat di Jakarta – banyak bangunan hancur entah pemiliknya bangkrut atau memang tidak terpakai. Saya mengenali dia sebagai tempat dulu dimana kami sekeluarga pernah pergi nonton bersama. Ketika saya kecil, pergi menonton ke bioskop adalah hal yang langka, karena film yang diputar juga kebanyakan untuk remaja dan dewasa.

Kepala ini bagai diketuk palu, lalu bangunlah memori yang tadinya tertidur lelap diantara lipatan neuron, tidur dalam damai namun tidak terlupakan. Macam orang disiram air dia, bangun tergagap-gagap, terkejut dan kesulitan bernafas selama beberapa detik lamanya. Dan mulailah ia bercerita, berputar seperti film menerpa layar putih.

Bangunan bioskop kembali utuh seperti semula, dinding luarnya sengaja tidak dicat memamerkan bata-bata merah yang membuat bangunan menjadi mudah dikenali. Pelataran parkir saat itu nyaris penuh dengan mobil-mobil tahun 1990-an dan di sebelah kiri berdiri tiang yang kemudian dipasang poster kain untuk memamerkan cover film yang diputar, biasanya dalam bentuk lukisan, bukan foto. Kami datang berlima. Ayah, Ibu, Kakak, Diriku dan Adik. Film yang di putar adalah Power Rangers. Belum ada teknologi VCD apalagi DVD pada masa itu, kalaupun ada, Laser Disc, namun alatnya masih sangat mahal.

Mengantri tiket butuh waktu yang cukup lama. Mungkin kamu yang hidup pada tahun 1990-an pun mengalami kejadian ini, mungkin saja kita pernah bertemu namun saat itu memang tidak saling kenal. Mungkin saja, karena dunia itu sempit.
Saya masih ingat perasaan saya malam itu. Senangnya bukan main. Rasanya mau lompat-lompat, namun pasti Ayah akan memarahi . Jadi saya tersenyum lebar-lebar untuk mengeskpresikannya. Saat itu usia saya kira-kira sembilan atau sepuluh tahun, sekitar segitu. Rambut keriting panjang. Badan kurus tinggi, sehingga orang-orang akan mengira saya berusia dua belas tahun.

Generasi tahun 1990-an dibesarkan dengan film superhero, kebanyakan berasal dari adapatasi kartun dan tokusatsu Jepang sebut saja Google Five, Ultraman, Power Rangers, Satria Baja Hitam, atau Sailor Moon. Tidak heran jika saya tumbuh menyukai film-film superhero hingga kini seperti Fantastic Four, X-Men, Hulk, Spider-Man, Batman, ah sebut saja yang lain, bahkan cerita bergambar Deni Manusia Ikan yang mengadaptasi jagoan-monster SWAMP pun secara berkala saya baca melalui majalah Bobo.

Ayah menawarkan Pop-Corn, kami menunggu dengan antusias ketika jagung goreng itu disajikan dalam kotak karton. Punya saya berhiaskan sirup hijau, rasanya manis dan ada rasa pahit diakhirannya. Adik memilih yang berwarna merah muda –warna favoritnya dulu, saya lupa kakak tiri saya pilih warna apa, namun apapun itu pasti dia habiskan karena dia suka makanan manis.

Sementara Ibu sibuk menyuruh kami berbaris menuju kamar mandi sebelum film mulai, agar tidak ada yang merengek meminta ke kamar mandi ketika film sedang mulai. Keluar dari kamar mandi saya bersemangat sekali, hingga rasanya nyaris ingin berlari masuk ke bioskop. Kami mencari tempat duduk, sulit untuk menjadi anak kecil dan disuruh tidak berisik ketika sedang sangat bersemangat. Ibu tersenyum sedikit dan duduk disamping anak-anaknya, para orang tua ini setia menemani kami agar ketika adegan berciuman tampil di layar mereka dengan sigap bilang,

“Ayoo, tutup mataaaaa…”

Namun biasanya saya mengintip. Nakalnya.

Film akhirnya usai, durasinya kurang lebih satu jam, akhirnya Power Rangers dapat menyelamatkan manusia dari ancaman monster-monster yang menyerang. Saya ingat masih tersenyum ketika meninggalkan bioskop, kami keluar dari gedung itu, lalu masuk ke dalam mobil kijang dan pulang…

Ah, saya terbangun dari kenangan. Gedung kembali rusak, lagi-lagi saya kutuki kewarasan yang mencekik kenekatan. Kenapa tak turun saja saya sebentar lalu lihat-lihat sambil pegang batanya yang telah hancur, kenapa tidak foto saya bersama gedung bioskop itu, kenapa sih saya terlalu banyak berpikir untuk melakukan sesuatu yang bagi saya berharga?

Dan sepanjang sore hingga malam, saya mengutuki diri ini…

*bioskop ini kenangan masa kecil dengan ayah saya yang kini sudah meninggal, jika dia masih hidup mungkin akan bilang begini “mari kita nonton film di bioskop dekat tebet…” lalu saya akan menghancurkan hatinya dengan bilang “bioskop itu sudah hancur, ayah…"

4 komentar:

  1. Kenangan atau ingatan memiliki sifat yang tiranik. Ingat film "Cinema Paradiso" by Giuseppe Tornatore. You must seen!

    BalasHapus
  2. nice writing...
    saya sendiri generasi voltus 5, GodSigma dan Megaloman... nontonnya di VCR tetangga tentunya...

    BalasHapus
  3. Wah kalo aku gak tau itu Godsigma, Voltus n Megaloman sih tau namanya doang, hehehe...
    "masa kecil itu terasa menyenangkan mugkin karena kita sudah besar" itu kata pidi baiq mas...

    BalasHapus