Udara terasa lembab siang itu di Jakarta Timur, matahari terik namun bisa saja tiba-tiba mendung. Biasanya jika langit nampak tidak konsisten seperti ini, hujan mungkin akan turun sore atau malam nanti. Di sebelah kiri jalan raya Radin Inten, ada lahan kosong, tadinya lahan-lahan ini terlantar begitu saja namun penampilannya bisa berbeda ketika menyambut hari Idul Adha yang akan tiba. Kini di sana dibangun pancang-pancang dari bambu, hingga menyerupai kandang dengan ditutupi terpal sebagai atap. Kandang tersebut dipenuhi sapi dan kambing yang diikat erat.
Bapak Sukiyo, biasa dipanggil bos oleh anak buahnya, muncul dari tenda yang berada di belakang hewan-hewan tersebut. Ia menghampiri anak bersama dua cucu perempuannya yang sedang duduk di bale -tempat duduk-duduk yang biasanya terbuat dari bambu- depan. Mereka sedang menikmati es krim yang dibeli dari restoran siap saji terdekat, Mc Donald. Jaraknya hanya dua puluh langkah, dekat sekali.
Bapak Sukiyo masih terlihat tegap di usianya yang mencapai 52 tahun, walau sudah tumbuh cukup banyak uban diantara rambut hitamnya, meski warna matanya sudah memudar, agak sulit menjelaskan warnanya namun bisa dibilang mirip abu-abu pekat dibagian pupilnya. Ia sudah punya tiga orang anak ,dua di antaranya sudah berkeluarga, dan tiga orang cucu, dua di antaranyasedang menjenguknya di sini, dipinggir jalan raya Radin Inten. Sehari-hari, ia punya sebuah kios yang menjual mainan anak-anak. Letaknya di seberang pasar Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Mainan-mainan tersebut merupakan produksi cina yang dibelinya dari Solo.
Ia datang dari Wonogiri dan menyambangi Jakarta Timur setahun sekali, menjual hewan ternak untuk kurban. Usaha ini sudah ia mulai sejak tahun 1990 di Kreo, Ciledug, Tangerang. Namun karena lahan yang makin menipis dan pengusaha yang makin marak, ia pun pindah. Akhirnya sapi dan kambing dibawanya kesini mulai tahun 2000 hingga sekarang. Ini usaha rame-rame. Dia dan empat belas orang temannya datang dengan menyewa truk puso, beserta sapi dan kambing. Mereka biasanya menetap sebelas hari untuk berjualan. Mereka mendirikan tenda dekat ternak untuk tidur, sementara mandi dan memasak dilakukan di sebuah rumah kontrakan yang disewa tidak jauh dari sana.
Sapi dan kambing yang dijual, dibeli di pasar Bulukerto di Wonogiri. Tiap tahun mereka selalu menyediakan 50 kambing dan 40 sapi yang memang sudah dipesan dari kenalan di Jakarta. Harga yang dibandrol bisa berbeda-beda, tergantung dari fisik si hewan.
“Misalnya lah yang dibelakang itu, tanduknya patah, biasanya kita jual dengan harga murah buat tukang sate,” ujarnya sambil menunjuk ke arah kambing yang dimaksud, anehnya, si kambing macam sadar diri, tadinya ia sedang mengusir-usir lalat dengan moncongnya, setelah ditunjuk ia berhenti dan melihat ke arah Pak Sukiyo.
“Tapi ya bedanya itu aja, kalau sakit ya ndak lolos, kan diperiksa. Pertama di dinas peternakan daerah, kemudian di Losari Jawa Barat, lalu ya sampe di sini diperiksa lagi,”
Harga sapi dimulai dari angka Rp9,5 juta- Rp12 juta per ekor. Sedangkan kambing berkisar Rp1,2 juta-1,7 juta per ekornya. Ketika ditanya masalah keuntungan, senyum malu-malunya merekah.
“Ya untung itu relatif yo mbak,”
Tak lama, tiga orang petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Timur datang. Dua petugas mengenakan baju dinas warna cokelat sementara yang satu lagi berseragam Satpol PP berwarna biru gelap. Hanya seorang yang membawa map untuk mendata ,sementara yang lain menunggu di pinggir jalan. Bapak Sukiyo menunjukkan surat dari Dinas Peternakan dan Perikanan yang sudah ditanda tangani 8 November 2010 lalu dan kini dipajang di bagian depan kandang dekat bale-bale tempat ia duduk tadi. Hewan yang dibawa berjumlah 94 ekor, 43 sapi dan 51 lainnya kambing, mereka semua dinyatakan sehat.
Setelah petugas tersebut melanjutkan untuk mendata usaha hewan kurban di tempat lain, empat orang laki-laki, berada di usia kira-kira empat puluh tahun, datang dengan dua motor. Mereka calon pembeli.
“Kambing sudah habis, sapi tinggal satu lagi pak,” ujar Pak Sukiyo menyambut mereka.
Di badan hewan-hewan ini macam buku yang baru dibeli saja, ditulisi nama si pembeli. Agar kelihatan, biasanya mereka menggunakan cat merah dan menamai badan si kambing dan sapi. Khalil. Jayadi. Zein. Toha. Taufik. Nama-nama tersebut terpampang jelas.
Para sapi dan kambing terlihat lesu, mungkin karena sudah dua kali mereka terpapar hujan dan terik bergantian selama sepekan. Bau kotoran hewan menguar. Jika hari ini hujan, berarti tiga hari sudah mereka terpapar hujan lagi. Hewan-hewan ini bisa terjangkiti berbagai penyakit; scabies atau kudis, pneumonia dan cacingan adalah hal yang lazim menyerang di cuaca penghujan. Gejala cacingan berupa bulu pada sapi berdiri, kulit kusam dan dubur kotor.
Sapi-sapi terikat dan sedikit berkubang di lumpur sementara kambing agak kesulitan untuk berbaring akibat ikatannya terlalu pendek. Tak jarang mereka menekuk kaki depan hanya untuk beristirahat sambil terus mengunyah rumput.
Pada sapi, tali pengekang dipasang menembus antara lubang hidung lalu disimpul hingga bisa mengekang kepala si sapi. Ah, melihatnya nampak memilukan, berulang kali si sapi menjilati lubang hidung dengan lidahnya yang besar setelah ditarik-tarik untuk dipamerkan pada pembeli . Kasihan sekali, padahal mereka mau dipotong, namun harus mengalami penderitaan yang demikian panjang.
Sebuah truk penuh sapi lalu datang, ternyata si pembeli pesan tiga. Ada tiga sapi di truk tersebut. Setelah dipilih dan menawar, si calon pembeli akhirnya memilih tiga sapi yang ada di truk tersebut. Kemudian si sapi dimandikan. Sementara yang satu, yang dari tadi belum laku, yang dari hidungnya selalu keluar lendir karena mungkin teriritasi tali tambang, selalu melenguh, terlihat gelisah.
Seorang pegawai memperhatikan si sapi yang melenguh terus, rupanya luka gores sepanjang tiga senti dibagian paha atas sapi kini selalu diganggu lalat. Ia kemudian mencari batang yang cukup kokoh, dicuil ke dalam lumpur yang sudah bercampur kotoran kemudian disapukan pada luka tersebut. Berhasil, si sapi menjadi lebih tenang.
“Resep orang desa mbak,” ujarnya.
Pak Sukiyo tinggal empat hari lagi tinggal di tendanya yang sempit, bersama empat belas orang lainnya. Atau mungkin lebih cepat jika si sapi yang tersisa sudah terjual esok hari. Langit kini berawan, arak-arak awan gelap mulai mendekat. Hujan pasti segera datang tak lama lagi.
Dalam hati saya berdoa agar sapi laku besok, kemudian yang akan memotong hewan tahu, bahwa 10 jam sebelum dipotong mereka harus terhindar dari stress, malah kalau bisa diperdengarkan musik jazz atau blues seperti yang dikatakan Eko Hendri, Dokter hewan dari Suku Dinas Peternakan dan Perikanan, Jakarta Selatan di kompas.com. Ketika hewan yang akan dipotong stress, pH akan meninggi, warna daging akan menjadi lebih gelap dan lebih mudah membusuk.
Ah, hujan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar