Jumat, 18 Juni 2010

Anjing di lapo



Saya bertemu dia di hari yang hangat cuaca di Bekasi umumnya. Seekor anjing di depan rumah makan lapo, ironis sekali. Apa kamu lihat tiap hari teman-temanmu dibunuh untuk dimasak kemudian dimakan? Lihatkah kamu dengan mata coklatmu yang tulus bening itu? Lihatkah kamu sayang? Takutkah kamu akan itu?

Saya ketemu dia nyaris tiap hari tiap saya menyusuri jalan untuk pulang dari kantor. Dia akan terus ada disana dalam keadaan terikat lehernya. Kadang rasanya saya ingin iseng melepaskan ikatannya dan membiarkannya bebas, berlari-lari dengan kakinya yang kuat dan lidahnya yang terjulur riang.

Tiap saya mengelusnya dia pasti menjilat sedikit tangan saya, entah mengapa saya merasa akrab tiap kali dia melakukan itu, bahkan ketika tiap kali dia dengan nakal sedikit iseng menggigit saya. Saya sungguh yakin dia tidak rabies. Ya kan cantik? Tiap saya peluk dan akan meninggalkannya pasti dia meloncat-loncat memeluk pinggang saya, meminta saya sekali lagi mengelusnya sebelum meninggalkannya disana, tercekik dengan tali dan memandangi motor dan mobil yang lalu lalang.

"Ih kok mau dijilat anjing??!" katanya mengingatkan dengan sedikit marah. Kamu tidak mengerti. Ada rasa yang tidak dapat dijelaskan disana tiap kali saya berinteraksi dengan si cantik di depan lapo ini. Ada mata coklat bening yang tidak menatap saya seperti anak autis, dia tidak pernah diam, seperti menanti sesuatu. Apakah yang kau nanti sayang? Kebebasankah?

Lama setelah saya tidak melihat dia tiap saya pulang kerja, mugkin karena saya pun sudah seminggu tidak menyusuri jalan pulang tersebut akibat pekerjaan lain untuk keluar kota, lalu melarikan diri sejenak ke rumah orang lain dibandingkan kamar sendiri.

Lalu kemana dia?

Saya berdo'a semoga dia tidak dimasak. Dia anjing yang baik, itu kata pemilik rumah makan lapo, anjing yang baik menurut mereka yang tidak berisik. Jadi jika ada anjing yang menyalak pasti mereka masak. Maka itukah kamu jadi bisu cantik? Kamu tidak pernah menyalak sama sekali. Jahat sekali kami manusia ini...padahal suara adalah universal, kamu dan suaramu adalah kebebasan...

Lalu tiba-tiba, disuatu hari yang berangin, saya baru saja pulang dari Banjarmasin sebelum pulang kantor hari ini. Itu dia, si cantik!! Dia sudah bebas, tanpa ikatan lagi yang membelenggu geraknya. Dia tampak sangat menikmati kebebasannya bersama tiga teman lainnya, dua pejantan belang coklat-putih, lalu seekor betina muda berwarna coklat tanah. Cantik, kamu terlihat senang sekali, syukurlah, saya sayang kamu maka itu saya ikut senang.

Berhari-hari kamu senang dengan mereka, hari-harimu tidak lagi sepi diikat sendirian di depan rumah makan lapo dan duduk memandangi motor yang bahu membahu lewat trotoar. Berhari-hari hingga saya tahu kamu sedang hamil, pasti oleh salah satu dari anjing pejantan tersebut. Wah cantik, saya iri, kamu bisa punya anak dengan mudahnya. Tanpa pernikahan, tanpa di cela, tanpa di hina, bahwa anak tersebut adalah anak haram karena terjadi di luar nikah. Saya mau jadi kamu, cantik, hamil, punya anak dan bebas saya bawa kemana saja dengan kelapangan yang tanpa batas. Lapang dan bebas...

Kamu hamil dan tetap bisa berlari-lari dengan lincah. Dasar anjing. Kamu senang sekali lari-lari, sana-sini, seperti orang baru bebas dari penjara, seperti merpati yang terbang lepas mengudara, seperti hati yang mengangkat ke angkasa tersenyum tanpa beban, kamu mirip simbol kebebasan bagi saya. Bagi saya yang merindukan kebebasan dari ketakutan karena hal itu hanya membawa saya pada ketidakbahagiaan yang hakiki. Lepaskan saya dari ketakutan, wahai cantik.

"Udah deh gak usah main-main sama anjing...iiih...najis..." kata Ibu saya.

Kan ada sabun cuci tangan ma, jangan takut, setelah cuci tangan akan higienis. Saya tahu dia takut saya sakit setelah bercengkrama dengan beberapa anjing liar. Saya tahu Bunda, saya tahu kamu malas mendengar saya sakit lagi untuk ratusan kali dalam hidupmu. Namun biarkanlah saya bahagia dengan mereka yang tidak menghakimi ini, tidak menghakimi bahwa saya perempuan baik-baik atau tidak, tidak menghakimi bahwa saya bodoh atau pintar, tidak menghakimi bahwa saya hamil atau tidak, seperti saya tidak menghakimi dirimu bersalah atau tidak.

Cantik, berhari-hari setelah itu, berminggu-minggu bahkan. Setelah saya kembali dari Cibinong mengurus adik saya yang sakit anemia. Kamu tahu anemia? Kekurangan darah, sehingga dia jadi pucat dan dapat sewaktu-waktu meninggal. Karena itu dia harus ditolong dengan jus buah bit yang sewarna dengan darah ketika diminum. Adik saya jadi mirip vampir, walau dia sudah jadi vampir beberapa tahun lalu ketika dia harus ditansfusi darah karena lagi-lagi anemia. Vokalis Band yang keras kepala dia itu.

Beda lagi dengan kakak saya, cantik, kakak tiri saya sebenarnya karena kami beda ibu meski satu ayah. Kakak yang sebenarnya perempuan namun terlalu tomboi dan sedang kesulitan menempatkan kemana dia akan pergi, disorientasi akut dalam hidupnya. Sementara saya yang sudah disorientasi dulu, memutuskan, lalu disorientasi lagi sekarang ini, membuat saya membiarkan dia mengalami proses yang sama yang mungkin nantinya menghasilkan sebuah keputusan yang apapun itu akan saya hormati mati-matian.

Berminggu-minggu setelah itu, kamu tiba-tiba tidak ada lagi disana. Kemana kamu? Saya cari-cari dan tengok-tengok. Cuma ada tiga teman mu itu yang nampak ketakutan dengan orang asing. Tapi si pejantan yang satu sudah mau pegang dan jilat saya begitupun teman kecilmu yang betina.

Lalu saya dengar berita menggembirakan sekaligus menyedihkan. Kamu sudah melahirkan, namun salah satu dari tiga anakmu mati. Cantik, hari itu saya tengok kamu ingat? Kamu disana, berada dalam kardus dengan anak-anak anjing kecil yang masih tidak berdaya dan menyusu. Kamu menggoyangkan ekor menyambut saya, mengenali saya, begitu terharunya saya, benarkah kamu ingat saya ini, cantik? Ah kamu cuma anjing yang ramah.

Ooh saya jadi mengerti mengapa teman-teman mu tidak duduk disampingmu, menemani atau mungkin menghiburmu atas anakmu yang meninggal. Kamu anjing. Ketika melahirkan, anjing tidak butuh ada anjing lain didekatnya. Karena naluri keibuanmu bilang bahwa mereka ancaman. Meski tadinya mereka itu teman-temanmu, atau mungkin ayah si anak. Cantik, kuatnya kamu, tanpa ketakutan. Benarkah begitu??

Hari itu saya sadari, meski kamu marah, kamu tidak menyalak...kamu masih tidak bersuara...Begitupun teman-temanmu yang lain... Cantik, saya sedih, ternyata kami menyebabkan ketakutan itu. Ketakutanmu untuk menyalak dengan bebas...

Saya jadi ingin dengar kamu menyalak cantik...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar