Senin, 06 Juni 2011



Despicable Me



Sebuah opini dan resensi



Bagaimana jika menjadi seorang pencuri merupakan cita-cita yang membanggakan? Itulah kira-kira sebuah semboyan yang digusung oleh film animasi produksi Universal Pictures, Despicable Me. Ke-eksistensian seorang pencuri di nilai dari seberapa besar ia dapat mencuri bangunan bersejarah, misalnya mencuri Patung Liberty, Menara Eifel, atau mungkin jika terjadi di Jakarta, Monas pun dapat ikut raib, walau Monas hanyalah simbol dan sebenarnya merupakan hiburan rakyat golongan bawah yang ingin menghabiskan akhir pekan dengan murah, karena golongan atas hanya akan menangis jika si pencuri berhasil mengambil Grand Indonesia atau mungkin si pulau belanja kecil, Singapura.


Despicable Me mengandung banyak pemaknaan secara harfiah maupun metafora terhadap hal-hal nyata seperti ; hubungan pekerja dengan ‘bos’ yang lebih digambarkan pada karakter ‘pemujaan’, pembiayaan bank, regenerasi kepada orang yang lebih produktif, persaingan antara ilmuwan atau dalam hal ini antara ‘pencuri’, kolusi, nepotisme dan sikap manusia yang tidak absolut, berubah.


Namun menurut adik saya, seorang pecinta film animasi, film ini gagal jika dimasukkan dalam kategori komedi. Karena gaya humor yang ditawarkan bersifat setengah-setengah atau istilah anak muda sekarang adalah ‘garing’.




****




Pagi itu, Gru, seorang pencuri, menjalani kehidupannya seperti biasa, membeli kopi serta kue untuk sarapan, ia bersiap menjalani kehidupan dengan santai hingga sebuah berita menghampirinya, sebuah piramida di Mesir telah dicuri! Ia memang telah mencuri, namun hanya hal-hal kecil yang tidak sebegitunya diperhitungkan. Hukumnya, jika seseorang berhasil mencuri sesuatu yang hebat, maka ia harus bisa mencuri hal lain yang lebih hebat lagi.


Maka itu ia mengumpulkan para pekerjanya untuk rapat besar. Pekerjanya bukan manusia, namun sejenis makhluk kecil dengan badan mirip kapsul, berwarna serupa bola tenis. Walau sebegitu aneh rupanya, nama mereka tetap normal, John, Kevin, serupa nama manusia pada umumnya. Kehadiran karakter ini kurang lebih membantu untuk menceriakan cerita dengan humor ‘konyol’. Mereka selalu menertawakan segala sesuatu yang sederhana, mirip sekali dengan orang yang sedang mabuk ganja.


Untuk pencurian selanjutnya, mereka mempunyai rencana yang sangat besar, yaitu mencuri Bulan. Yap, si benda yang memantulkan sinar matahari pada malan hari, satelit bumi, BULAN.


Untuk mencuri bulan, ia memerlukan alat-alat yang memadai untuk rencana tersebut yaitu sebuah alat ‘pengecil’ dan berharap mendapat pinjaman dari bank untuk mewujudkannya. Namun bank sudah menginvestasikan terlalu banyak uang untuk Gru dan tidak mendapat keuntungan yang begitu berarti. Mereka berharap dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sesedikit mungkin (hmm…pernah dengar hukum ekonomi ini?).


Entah bagaimana akhirnya Gru menemukan seseorang telah menciptakan alat ‘pengecil’ tersebut. Mereka pun mencuri alat tersebut dari sebuah pulau yang berada di Asia Tenggara, bagi saya terlihat mirip seperti Jepang. Jika diperhatikan lebih seksama, cara kerja alat ini serupa dengan ‘senter pengecil’ buatan Doraemon yang telah akrab bagi anak-anak di tahun 1990-an yang gemar menyaksikan film serinya setiap minggu.


Namun sialnya Gru, alat itu segera dicuri lagi oleh Vector, seorang pencuri yang berhasil mencuri piramida. Pada tahap inilah Gru mencari cara agar dapat masuk ke kediaman Vector dan mencuri kembali alat pengecil tersebut. Setelah berbagai usaha, Gru menemukan sebuah jalan keluar dari tiga orang anak yatim piatu yang dipersilahkan masuk oleh Vector karena menjual kue yang disukainya.


Dari sana terbit sebuah ide. Gru segera mengadopsi anak-anak tersebut dari yatim piatu untuk dilibatkan dalam aksi pencurian tersebut. Anak-anak ini hanyalah anak polos dengan kehausan kasih sayang dari orang tua yang mereka tak pernah mereka punya. Dalam film, keadaan panti asuhan digambarkan sangat tidak menyenangkan, penuh siksaan mental dan hinaan, dalam kehidupan nyata saya kira tidak banyak berbeda, begitu kiranya yang saya tahu dari sebuah laporan yang ditulis Truman Capote berjudul ‘In Cold Blood’.


Margo, Edith dan Agnes resmi diadopsi oleh Gru tanpa proses yang begitu berbelit-belit. Gru begitu dingin pada anak-anak tersebut pada awalnya, hal ini dikarenakan masa lalu Gru sebagai anak tunggal yang haus kasih sayang dan tidak pernah memperoleh sedkitpun penghargaan. Namun kehadiran anak-anak akhirnya membuat kehidupan Gru semakin berwarna dengan keluguan dan manjanya anak-anak kecil. Gru berubah menjadi mencintai anak-anak tersebut.

Mencuri bulan tak lagi jadi begitu penting bagi ketika anak-anak tersebut dalam bahaya. Gru yang semula membuang si anak-anak, akhirnya memperjuangkan mereka kembali. Bulan kembali berada di tempatnya seperti semula, everybody is happy.


Entah mengapa menurut saya, hal itu justru sangat amat munafik, karena yang terjadi di dunia nyata adalah hal yang lebih-lebih pelik lagi, ya kejiwaan yang terguncang, krisis kepercayaan, namun memang kata-kata ‘happily ever after’ mendominasi tiap dongeng mulai dari Cinderella hingga Despicable Me bahkan Shrek.


Nah menurutmu?





*minggu sore, di kos tanpa penghuni, sarapan dan makan siang roti tawar agar tidak kadaluarsa esok hari. Hidup pelik, namun beginilah hidup bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar