Rabu, 27 Juli 2011

Halo Ayah...

Halo Ayah, kita bertemu lagi tahun ini…


Butuh perjalanan selama kurang lebih empat jam untuk menuju tempatmu berada, sesuai keadaan lalu lintasnya saja. Kami berangkat menggunakan bis dari terminal Baranangsiang, Bogor, yang menuju Pelabuhan Ratu. Bis kosong sekali, hanya ada enam penumpang, tiga diantaranya adalah kami. Aduh, Ayah, bagaimana si supir setoran kalau macam ini? Namun bapak supir beserta kernetnya yang baik mengantar kami hingga sampai ke rumahmu dan disitulah kamu berada, bertengger di atas bukit, menghadap ke arah jalan raya yang dilalui berbagai macam bis antar kota maupun angkutan umum sekitaran.


Butuh mendaki sedikit untuk mengetuk rumahmu, oh lihat, banyak pepohonan tumbuh, kamu memberi kehidupan kepada bumi, kamu tahu itu Ayah? Dengan adanya pohon-pohon ini, kamu jadi tidak terlalu kepanasan bukan. Ini ada dua anakmu beserta Ibu, yap mantan istrimu datang, bawa bunga warna warni, cantik sekali. Semoga kamu, nenek dan adik nenek menyukainya.


Kami tidak lama-lama bertamu, seperti biasa, kami mengejar senja agar dapat kembali lagi ke Bogor. Kami pamit dan bertolak untuk mengunjungi pantai. Sudah nyaris sepuluh tahun lewat, sejak terakhir kita ke sini. Hotel masih berdiri di sana-sini, sawahnya masih sama, di depan sawah ada sebuah restoran. Perut keroncongan karena sudah masuk jam makan siang. Kami singgah untuk melepas lapar, menggantinya jadi kenyang.


Nasi, ikan, cumi, kangkung segera terhidang di meja, kami menyantapnya bertiga sambil memandangi laut. Ombak selalu besar di Pelabuhan Ratu, membuat orang-orang ketakutan diterjangnya. Hidangan masih tersisa namun perut kami sudah penuh nian, ikannya terlalu besar untuk kami santap bertiga, dan kami memutuskan untuk membawa pulang sisanya. Mataku tertuju pada bangunan di dekat sawah, mirip tempat sampah, ada seseorang mengais-ngais di sana, tadinya ku pikir ia adalah pemulung, namun setelah ku perhatikan lebih seksama, ia mengais sampah lalu memasukkannya ke mulutnya! Ayah, kamu tahu mataku rabun jauh, jadi kutanya adik,


“Dik, dia itu sedang makankah?”


Oh Ayah, adik terkejut, dan mungkin kamu juga – jika kamu berada di sana, menyaksikan seorang manusia makan dari tempat sampah. Kami bertiga tanpa kompromi dengan senang hati membagi makanan dengannya, dan ia dengan lahap memasukkan nasi ke mulutnya. Ayah, mulai hari itu, aku akan mensyukuri semua makanan yang tersaji dan berusaha makan tanpa meninggalkan sisa. Aku tidak akan cerewet mengenai rasa, karena aku telah melihat sendiri ada orang mengunyah SAMPAH.


Ayah, kami masih tetap mengejar senja. Aku berharap, bahwa orang tadi, yang ku duga mengalami gangguan jiwa, mendapatkan tempat yang lebih baik dan kepedulian diberikan makanan oleh orang sekitarnya malam ini, ataupun hingga esok, esok dan esooook seterusnya.


Ayah, bis kami melewati rumahmu lagi ketika menuju pulang. Aku dan adik melambaikan tangan ke arah bukit, kau mungkin tidak akan melihatnya karena kau tertidur dalam tanah. Jika kau masih hidup mungkin sekarang kita sedang bertengkar tentang Pram, ahmadiyah, bom atom, hadist-hadist yang perlu ditinjau ulang terutama tentang hukum pernikahan dan perempuan, hukum KDRT, kehamilan di luar nikah, lesbian, homo, baju yang seharusnya ku kenakan, pacarku, hukum ekonomi dan mungkin poligami.


Kematian adalah sebuah misteri Ayah, pada hal-hal tertentu, nyawa bisa lepas secara tiba-tiba. Yang menakutkan dari kematian adalah bukan rasa sakitnya, namun terlupakan bukan? Aku pastikan bahwa selalu ada ruang untuk mengingatmu apapun kenangannya, baik atau buruk, dan kamu masih hidup, di sini, dalam kromosom yang membentuk adanya diriku. Jadi selama aku hidup, kamu tidak akan pernah hilang…


Ayah, selamat tidur…




Slipi, setelah hujan besar sekali.

2 komentar: