Membeli smartphone yang mumpuni diperlukan dalam pekerjaan saya untuk mensupervisi social media sebuah brand. Saya memilih smartphone low cost dengan harga tidak terlalu mahal namun dengan 'dalaman' yang lumayan bersaing dengan smartphone di kelas 5 juta. Memang sih gengsi enggak dapet karena label smartphone China, tapi kan yang penting fungsi. Saya sebenarnya anti dengan smartphone touchscreen yang tanpa keypad, karena selalu bikin typo, sebuah kesalahan yang harusnya bisa diminimalisir - kalau ada keypad. Cuma apa daya sebesar apapun resistensi saya yang cuma setitik ini, pasti kalah dengan banjir bandang demand touchscreen dari ribuan titik lainnya. Alhasil, voila! Touchscreen laris dipasaran.
Hari berlalu, saya punya hape baru yang selalu di 'cie-cie'-in teman atau kerabat lainnya, tipikal sekali reaksi macam itu. Kantor baru saya yang terletak di gedung GKBI Tower, bisa dicapai dengan dua kali naik. Biasanya saya selalu mengandalkan ojek untuk pergi dan pulang kantor, namun kali ini karena cukup dekat, saya mencoba untuk berpositif thinking mengandalkan angkutan umum. Memang sih saya jadi harus bangun lebih pagi, namun saya pikir ini bagus untuk melatih kedisiplinan saya di kota Jakarta yang keadaan lalin tidak tertebak.
Hari itu, pukul delapan pagi. Saya berangkat kantor, merasa happy, merasa sangat sehat dan kuat, serta merasa bergairah untuk memulai pekerjaan baru. Saya naik bis 213 menuju GKBI. Bis kosong, saya duduk sambil menjawab beberapa pesan wassap dari beberapa teman. Setengah perjalanan ada seorang ibu naik, karena tidak ada seorang pun kaum hawa yang berdiri saya memberikan tempat duduk saya, saya pun berdiri. Ketika sedikit lagi sampai, saya menunggu giliran untuk turun ada dua orang bapak berumur sekitar 40-45 tahun di depan saya, dua orang. Ia terlihat seperti bingung mau turun atau tidak. Saya yang mau turun jadi terhambat, saya bersimpati mungkin si bapak bingung mau turun dimana sehingga saya tidak boleh marah, meski saya terhambat turun dan harus bersusah payah untuk turun.
Saya pada akhirnya turun, kemudian bersiap menyiapkan tas saya untuk diperiksa satpam, alangkah kaget ketika ternyata resletingnya setengah terbuka. Saya kemudian mengaduk-aduk smarthphone dan dompet. Oke, dompet ketemu dan smartphone... oh tidak...oh tidak!! Saya keluar dari pos satpam dan melihat bis 213 sudah melaju jauh. Perubahan emosi mulai terasa, saya marah, kesal, dan takut sekaligus. Saya kemudian langsung naik dan menghubungi pacar agar ia bisa memberitahu yang lainnya. Masalah tidak berujung sampai situ, copet lancang mengirim pesan ke teman-teman terdekat untuk minta pulsa. Duh geramnya. Masalahnya hape saya tidak diproteksi kata sandi, hal itu sangat saya sesali.
Kejadian copet tersebut akhirnya membuat saya yang positive thinking atas sesuatu, jadi antipati. Saya jadi enggan naik angkot, saya jadi selalu curiga sama orang, saya jadi antipati sama anak-anak kecil yang minta-minta, saya jadi gak punya belas kasihan, saya jadi dendam tiap kali liat 213 dan beberapa kali menemukan bapak yang waktu itu ada didepan saya yang merupakan komplotan copet, saya jadi marah-marah tiap kali bayar tagihan kartu kredit yang menampilkan cicilan hape - sementara hapenya sudah hilang, saya jadi marah sama Huawei yang tidak ingin membantu saya memberantas imei produk buatan mereka agar tidak bisa digunakan lagi, saya jadi mencari-cari hape sejenis di situs jual beli dan menemukan penjual yang menjual sehari setelah saya kecopetan tanpa kardus dan gambar wallpapernya masih sama, saya jadi membuang-buang waktu saya untuk dendam kesumat dan saya jadi negative-lah pokoknya.
Terima kasih Jakarta.
Terima kasih Copet.
Terima kasih sudah bikin saya jadi Darth Vader.
- GKBI, setelah melihat copet yang sama di 213 untuk kesekian kalinya.