Beberapa kali menonton film seri The Mentalist yang saya pinjam dari kakak tiri saya, yang sangat tomboi sehingga jika kalian bertemu dengannya tentu akan panggil mas atau bang. Ia mempromosikan bahwa film ini super seru, maka saya yang tertarik dengan ketampanan tokoh utama, langsung menerima beberapa volume film dan bersiap menontonnya.
The Mentalist bercerita tentang beberapa kasus yang ditangani oleh biro investigasi California. Ini memang cerita tentang film detektif, yang menjadi menarik adalah ada seorang cenayang yang ikut dalam tim, ia adalah Patrick Jane. Bagaimana ceritanya seorang Patrick Jane dapat bergabung dengan tim investigasi ini? Kecongkakannya sebagai cenayang membuatnya menjadi korban dari pembunuh serial yang diberi nama Red John. Segera setelah ia menyebut Red John dalam sebuah acara televisi, pembunuh ini menghabisi istri dan anaknya, meninggalkan sebuah logo khas smiley besar dari darah keduanya di dinding rumah Patrick Jane.
Sejak saat itu Jane memohon untuk masuk ke dalam tim biro investigasi untuk membantu menyelesaikan kasus Red John yang tidak kunjung selesai. Hingga saya menonton sampai season 2 film seri ini, Patrick Jane nyaris berhadapan dengan Red John sebanyak dua kali.
Patrick Jane diperankan oleh Simon Baker, sementara atasannya Teresa Lisbon diperankan oleh Robin Tunney, anggota tim lainnya adalah Wayne Rigsby yang diperankan oleh Owain Yeoman, Tim Kang menghidupkan karakter Kimball Cho yang super lempeng, dan Grace Van Pelt diperankan aktris cantik Amanda Righetti. The Mentalist ditulis oleh Bruno Heller.
Tergoda untuk menuliskan sebuah episode dalam season pertama yang sangat menganggu nalar. Episode tersebut diberi judul A Dozen Red Roses, dimana istri Simon Baker, Rebecca Rigg, menjadi tokoh utama dalam episode tersebut. Sinetron Indonesia kebanyakan mengandung cerita dengan terlalu banyak kejadian nirproses, terlalu banyak kebetulan, terlalu banyak hal pemaksaan untuk membuat pembunuh mengakui kejahatannya, serta memaksakan sebuah skenario aneh yang akhirnya tentu jadi aneh. Hal inilah yang terjadi pada A Dozen Red Roses.
Kejadian nirproses dan skenario yang dipaksakan juga tampak dalam film seri Newsroom yang dibangun oleh Aaron Sorkin. Dalam episode I'll Try To Fix You, semua hal ini bisa kita lihat dalam episode ini. Padahal, sebuah cerita tentang profesi seperti yang dibangun oleh Newsroom jarang kita lihat dalam sinetron Indonesia yang lebih banyak bertema keluarga, kisah cinta dan cinta beda harkat. Namun akhirnya skenario Newsroom HARUS dikotori juga dengan kejadian nirproses yang siap dikomentari nalar yang sehat.
Masih banyak sih film Amerika lainnya yang dibangun dengan ketidak-rasionalitasan luar biasa, salah satunya yang bisa saya sebutkan adalah, Silent Hill. Film horor yang jadi trilogy.
Jadi mungkin sekarang akhirnya saya enggak bisa bilang lagi, "Tuh kayak film Amirika dong..." Hehehe.