Senin, 21 April 2014

Surat untuk Kartini




Dear Kartini,
Meski kamu telah jauh mendahului kami semua karena kondisi kesehatanmu yang buruk pasca melahirkan anakmu, namun surat ini tetap aku tujukan untuk dirimu. Seperti dulu kau sering berbagi cerita dengan sahabat-sahabat pena-mu di Belanda.

Sekarang adalah tahun 2014. Gedung-gedung tinggi dibangun menjulang. Jalan raya ramai dan padat dengan berbagai kendaraan bermotor. Sekolah sudah tersebar luas hingga ke pelosok, semua anak, laki-laki ataupun perempuan dapat memasukinya namun disesuaikan dengan kemampuan ekonomi, yang tidak punya uang untuk makan, otomatis tak akan punya uang untuk pergi ke sekolah.

Hari ini tempatku bekerja, sebuah pusat perbelanjaan yang penuh barang-barang mewah dan mahal turut memperingati hari Kartini, mereka merayakan dengan mengadakan parade 135 busana kebaya. Semua orang yang datang cantik, diantar mobil mewah, penuh make up, berkebaya mahal dan memakai make up tebal lengkap dengan tatanan konde yang modern maupun tradisional.

Perekonomian masih terpusat ke Betawi yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Jakarta. Kekhawatiranmu, bahwa perempuan-perempuan akan terjebak di balik tembok karena kungkungan partriaki, kini berubah, semua perempuan kota kebanyakan sudah bekerja sekarang. Profesi mereka macam-macam, ada yang jadi petani, pedagang, bekerja sebagai tenaga perbankan, bahkan bekerja seperti layaknya laki-laki, seperti menjadi tukang becak atau kondektur bis. Namun aku tahu, jauh dari dinding yang terlihat, kau takut akan dinding yang tak terlihat bukan?

Semasa saya kecil, Kartini, ada banyak norma-norma yang dikenakan kepada perempuan yang mengatur tingkah lakunya sebagai perempuan. Tertawa terbahak-bahak dilarang, berjalan pun harus anggun, cara makan pun demikian. Jika seorang perempuan tidak dapat mengandung/mandul maka ketika ia di madu atau diceraikan, ia musti sadar akan kekurangannya yang tidak dapat mengandung dan banyak orang dalam hati menyetujui sabuk sosial yang demikian. 

Perempuan yang berpakaian minim, dicemooh dan ketika dirinya diperkosa karena ada laki-laki bejat yang tidak tahan dengan hawa nafsunya sendiri, dan kamu akan lihat komentar di bawah berita online tersebut, banyak yang mencaci maki dan mengamini si perempuan diperkosa karena pakaiannya yang mengundang. Dan jika kamu baca berita lainnya lagi, di belahan dunia lainnya, di Maroko, di sana pelaku pemerkosaan tidak akan dihukum jika ia bersedia menikahi korbannya, lalu si perempuan tidak diberikan pilihan apapun? Pantas saja ada yang bunuh diri ketika hal itu yang dipilih oleh si pemerkosa.

Emansipasi pun diartikan berbeda dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, pada beberapa kantor pada awalnya, perempuan dilarang untuk menggunakan celana panjang, hanya boleh menggunakan rok mini. Pada bidang olahraga, sudah dengar berita Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) menetapkan bahwa pebulutangkis putri harus menggunakan rok mini di setiap pertandingan besar dengan alasan untuk mengembangkan daya tarik penonton menonton olahraga tersebut. Rok mini, bebas dipakai oleh siapapun yang ingin memakainya, namun ketika hal ini diwajibkan atau dengan latar belakang alasan yang sungguh dangkal, ini jadi masalah bukan? BWF harusnya tahu bahwa mengobarkan semangat olahraga lebih penting dipikirkan dibandingkan menjual olahraga dengan daya tarik seksual perempuan pada kaum adam.

Emansipasi yang kau kejar adalah kesetaraan kesempatan bagi laki-laki ataupun perempuan. Laki-laki bisa mengenyam pendidikan, begitupun dengan perempuan. Tugas rumah tangga identik dengan tugas perempuan namun yang harusnya ada adalah pembagian tugas dan kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dapat mengeluarkan pendapatnya. Perempuan dan laki-laki setara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Celakanya Kartini, emansipasi masih saja jadi di salah arti hari ini...



Sebelum usai kerja di Dharmawangsa Square