Rabu, 12 Desember 2012

Dilema ini...

Sebelumnya tidak pernah terpikir untuk ambil beasiswa, apalagi di negeri lainnya. Saya selalu berpikir bahwa tiap pekerjaan yang berhubungan pasti bisa dipelajari secara otodidak. Namun agaknya sulit untuk jurnalisme. Saya jelas butuh arahan dan banyak latihan yang berbentuk penugasan agar dapat berlatih menulis panjang dengan baik.

Saya tidak menyangka akan menemukan berita AMINEF dari kolega kerja saya yaitu Mahdy klik di sini untk lihat blognya yang sudah lebih dulu berangkat ke San Francisco, USA untuk belajar lebih lanjut tentang Copywriting. Ketika saya tengok, ternyata ada juga jurusan Jurnalisme pada beasiswa tersebut, sebelah hati rasanya ingin sekali ajukan beasiswa namun sebelahnya lagi ragu. Sebenarnya sekolah lagi dalam jangka waktu setahun, agak riskan bagi saya yang tidak berumah ini. Seakan-akan mirip judul film Warkop "Maju Kena Mundur Kena". Jika saya gagal, saya kemungkinan akan berada dalam lingkaran yang begini-begini saja padahal kalau saya berhasil bisa saja saya berada ditengah kerumunan orang yang kemarin melakukan aksi protes Occupy Wall Street dan menulis tentang hal tersebut atau menulis sejumlah features layaknya orang asing yang mengembara dan banyak menemukan hal unik di negeri lain. Namun jika saya pergi ada banyak tanggung jawab yang terbengkalai, diantaranya biaya asuransi ibu saya, biaya gudang tempat saya akan taruh barang2 saya (because I'm homeless and have no oneaccept all my stuff for a year). Sangat berat, namun pada akhirnya saya harus berkorban untuk menggapai kesempatan belajar. Lalu saya pun mendaftar diantara waktu yang mepet karena kesibukan kerja yang padat (sampai lupa waktu deadline).

Saya menemukan banyak sekali informasi tentang langkah-langkah yang harus dipersiapkan ketika mendaftar pada blog berikut, http://mycomet.wordpress.com/. Geraldo banyak sekali mengemukakan poin-poin serta langkah demi langkah yang perlu dilakukan, pokoknya informasinya lengkap kap kap sampai mengemukakan daftar harga segala. Menurut saya blog Geraldo ini macam kamus AMINEF, lihat saja di google search, ia punya kedudukan terhormat sebagai posisi terinformatif.

Kerusuhan pasti terjadi ketika kamu mempersiapkan segala sesuatunya dengan terburu-buru. Essay tidak sempurna, mencari-cari penerjemah tersumpah yang terjangkau, dan mengatur jadwal untuk ikut tes TOEFL. Untuk jasa sworn translator, saya menemukan bahwa NEC Rawamangun, Jakarta, mempunyai rate paling bersahabat namun bisa menerjemahkan dokumen ijasah-ijasahmu dalam waktu yang cepat. Mereka memasang tarif lima puluh ribu rupiah per lembar dan berjanji menyelesaikan dokumen saya yang berjumlah lima lembar dalam dua hari. Saya merencanakan akan mengambil dokumen tersebut bertepatan dengan saya akan mengambil hasil tes TOEFL kira-kira lebih dari dua hari, sekitar seminggu-lah (karena hasil TOEFL keluar seminggu setelah kamu melakukan tes).

Ketika hasil terjemahan keluar, jangan lupa periksa dengan teliti ya, karena kemarin ada satu dokumen saya yang salah ketik tanggalnya, untung penerjemah NEC baik, bapak Suryo namanya. Ia segera merevisi dan dokumen pun siap diambil hari itu juga. Yang diserahkan ke AMINEF fotokopi berkasnya saja ya. Jika kalian sudah lolos ke babak babak selanjutnya, baru serahkan dokumen yang asli.

Setelah dokumen sudah ditangan AMINEF tunggu pengumuman untuk panggilan wawancara melalui email. Kalau sudah ada panggilan wawancara melalui email, nah persiapkan dirimu dengan baik. Baca lagi essay yang kamu tulis dan ramalkan apa saja yang akan ditanya nanti ketika interview.

Pengalaman yang saya dapat ketika wawancara, hmm, NERVOUS parah! Biasanya bisa berbahasa inggris cukup lancar, namun akhirnya di sana hanya membisu dan menelan ludah ketika yang ada di hadapanmu itu seorang profesor, seorang ahli bahasa, lalu seorang lagi lulusan Harvard. Segera saja saya menjadi kecil. Jangan jadi kayak saya yah, nervous selama sekitar 20 menitan terus-terusan dan keluar ruangan nyaris menangis karena gak bisa menjawab sebagian besar pertanyaan panelis. Latihan!! Panelisnya sih luar biasa baik, bahkan mas Aryo, yang lulusan Harvard itu, mengejar saya keluar ruangan dan memberikan saya secarik kertas, sebuah nama, seseorang yang bisa saya hubungi untuk mengejar cita-cita. Saya tersentuh, tidak banyak orang yang sepeduli itu.

Pada akhirnya saya harus memperbaiki essay saya, karena menurut para panelist, essay saya tidak jelas sebenarnya saya ingin ambil jurusan apa. Saran saya untuk pembuatan essay, hindari bahasa berbunga-bunga (macam yang saya bikin) agar mereka bisa langsung tahu, kamu mau apa dan kenapa kamu mau hal tersebut. Saya diberi waktu empat hari untuk memperbaiki essay tersebut yang akhirnya saya kirim sebelum hari terakhir dan berdoa bahwa essay tersebut dapat menjelaskan cita-cita saya dengan lebih jelas.

Kini, saya menunggu pengumuman, apakah saya berhasil lolos dari performa buruk saat wawancara atau lolos karena bantuan essay saya yang direvisi?