Senin, 26 Desember 2011

Naturalisasi di Laga Mode


Berapa banyak model berwajah Indonesia asli yang menghiasi cover majalah-majalah yang beredar di tanah air? Yang melenggang di catwalk? Yang menghiasi iklan televisi maupun cetak? Mungkin bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Serbuan model kaukasian makin marak berlaga di dunia mode belakangan ini, seiring dari banyaknya permintaan pemain-pemain yang bergerak di bidang Industri Mode; majalah, pagelaran busana, iklan, dan lain sebagainya. Seperti yang diakui pengamat mode, Muara Bagdja, menurutnya, peningkatan kebutuhan model asing terjadi karena beberapa alasan; seperti pengaruh globalisasi, bahwa semua hal yang mengacu pada ukuran standar internasional (dari luar) dianggap bagus dan ia mengatakan bahwa masyarakat menganggap citra cantik adalah berkulit putih, berambut panjang, berhidung mancung, tinggi dan kurus, demikian yang saya kutip dari Harian Seputar Indonesia edisi cetak, Jumat, 2 September 2011.

Sebentar, rasanya ada yang salah dari testimoni di atas. Sebelumnya mari kita lakukan kilas balik mode era 1980-1990-an. Saat itu dunia mode dihiasi oleh model-model ‘berwajah’ Indonesia, seperti Enny Sukanto, Titi Qadarsih, Atiek Sinuko, Nani Sakrie yang berjaya di tahun 80-an kemudian disusul oleh Dhani Dahlan, Ratih Sanggarwati, Kintan Umari, Okky Asokawati, Nana Krit, Vera Kinan, ataupun Ira Duati yang namanya masih diperhitungkan dipanggung mode bahkan hingga kini. Memang, ada beberapa model dengan wajah blasteran yang juga muncul kala itu, seperti Larasati Gading, Licu ataupun Saraswati Harsono, namun perbandingannya tidak seperti yang terjadi sekarang.

Fenomena apa yang terjadi hari ini?

Perlu dicatat bahwa dunia mode tidak memiliki ukuran perbandingan yang jelas bagi konsumennya, contoh : Baju yang dikenakan model dalam sebuah peragaan atau pemotretan belum tentu sesuai dengan bentuk tubuh masing-masing target konsumen. Sementara itu, model kaukasian mempunyai torso (panjang badan) lebih tinggi dibandingkan dengan orang Indonesia pada umumnya. Maka itu mari kita bayangkan sejenak, ketika baju yang diperagakan diproduksi secara masal sesuai ukuran model, tentu tidak akan sesuai dengan ukuran badan perempuan Indonesia pada umumnya.

Saya teringat pada sebuah acara audisi yang pernah saya ikuti yaitu ESMOD (Sekolah Mode) Graduation 2010, di Jakarta, seorang murid berkata pada agency-agency yang hadir membawa modelnya, bahwa ia menginginkan model kaukasian untuk membawakan rancangannya yang memang dibuat dengan ukuran kaukasian. Lalu saya bertanya, apakah jika ia buka butik di Indonesia pun akan mengukur rancangannya sesuai ukuran kaukasian? Ini pola pikir yang aneh. Kadang hal itu juga terasa ironis, karena desainernya sendiri bertubuh mungil sementara modelnya tinggi menjulang dua kali lipat tinggi tubuhnya. Dilain hal, perempuan Indonesia pada umumnya memiliki tinggi rata-rata 155cm – 165cm termasuk didalamnya target konsumen dari pagelaran mode yang berada di kelas A.


Perbedaan Tarif Model Kaukasian dan Nusantara

Masih lekat di benak saya ketika berbincang dengan pengarah gaya dan peƱata rias serta jilbab dari Majalah Alia untuk sebuah pemotretan fashion spread dimana saya menjadi modelnya saat itu di tahun 2010. Perbincangan kemudian tiba-tiba bergulir hingga membicarakan tarif model.

“Sekarang model bule lagi banyak mbak, dan mereka mau dibayar Rp 800.000,- loh! Bule gitu!”, ujarnya dengan nada tercengang.

Lalu sebuah pertanyaan melintas dibenak saya.

“Jadi, kalau bule sewajarnya dibayar lebih mahal dari model negeri sendiri?”

Perbedaan tarif pun terjadi pada perhelatan pagelaran busana. Model-model Indonesia mempunyai tarif pemula rata-rata di angka Rp 300.000,- hingga maksimal Rp 1.000.000,- untuk sebuah show tunggal atau hairshow. Model pemula kaukasian bisa mendapat dua kali lipatnya dengan layanan memuaskan dari Agency, misalnya : diantar dan dijemput. Sementara model negeri sendiri yang berasal dari kalangan bawah seperti saya, harus berjibaku berangkat dan pulang menggunakan kendaraan umum.

****


Jelas ada yang salah dari cara pandang kita terhadap bangsa sendiri, jika kaukasian dianggap lebih baik dari bangsa sendiri dalam hal kualitas serta menjadi tolak ukur diterimanya mode Indonesia secara Internasional, seperti yang dikemukakan Muara Bardja, selamat kawan-kawan, kita telah tiba di era penjajahan dan diskriminasi usai 66 tahun merdeka. Kita mengalami kemunduran. Jepang dan Korea telah mengadaptasi kemunduran ini dengan maraknya melakukan operasi plastik demi mendapatkan wujud sempurna anatomi wajah sesuai anatomi wajah kaukasian sebagai tolak ukurnya, yaitu; mata yang besar dan hidung yang mancung.

Apakah kita akan jadi bangsa berikutnya yang akan kehilangan jati dirinya dan membenci apa kita yang kita punya? Atau memang itu yang diinginkan dari industri ini agar kesadaran remaja dan wanita Indonesia dikaburkan dan akhirnya mendukung kehidupan industri yang ditopang oleh konsumsi-konsumsi mereka untuk jadi yang sempurna ; mata berwarna, berkulit putih, tinggi dan hidung yag mancung, sesuai dengan apa yang digembar-gemborkan media? Sudah saatnya kita merenung kawan…