Senin, 31 Oktober 2011

Ruangan-ruangan


Ini adalah hari-hari di mana matahari menyapa terlalu pagi, melalui teralis pembatas yang dipantulkan cermin ke dinding putih. Ia tak tertidur bagai putri, dalam mimpi berkelebat kecemasan yang mungkin baru berakhir ketika pantai dengan deburannya yang mematikan disusul keheningan samudra, menelan semua yang fana. Terbangunlah dia kearah cahaya. Entah sejak kapan, tak berani lagi menatap wajahnya dalam cermin terlalu lama, karena di sana ada sipir yang menuntut kejujuran sedangkan yang ia punya hanya sebongkah kebohongan yang terus merasuk, hingga mata urung melihat bahwa masih ada indah tersisa. Yang terlanjur hancur, dapatkah dibangun kembali?


Pertanyaan ini masih melayang-layang lepas dari talinya. Berayun ke sana kemari tanpa menemukan sebuah danau dan kemudian berenang bersama ubur-ubur bercahaya kekuningan.


Angin mengalir, semilir, setitik hujan lalu turun…


Kesedihan ada banyak dalam ruangan-ruangan yang berjumlah lebih dari delapan belas kamar. Perempuan-perempuan yang berada didalamnya punya berbagai masalah yang berbeda. Seperti suatu pagi, ia mendengar sebuah percakapan telepon dari kamar sebelah, penghuni kamar sebelah adalah istri dari seorang suami yang tidak ingin tinggal bersamanya. Ada nada kepasrahan ketika ia menjawab pertanyaan 'mengapa?'. Rasa tidak percaya diri, bergantung, jadi satu, dan menjadikannya menelan pahit sebuah kenyataan daripada beranjak untuk mencari hal lain walau kenyataan itu sangat menyedihkan, hal ini terdengar dari lirihnya ia menjawab pertanyaan temannya ditelepon.


Lalu apakah kebahagiaan itu?


Dia kembali memandangi langit-langit setelah selesai mendengarkan percakapan dari kamar seberang. Bukankah bahagia itu racun dan adiktif? Segera setelah mencicipinya kamu akan segera minta lagi, lagi dan lagi. Lalu ketika kamu tak kunjung mendapatkannya, kamu akan mengakhiri hidup…


Lalu disebelah kanan ruangan lainnya, ada seorang ibu tua, menjadi penghuni kamar. Dia pun teringat ibunya di rumah. Hatinya tak habis bertanya mengapa ia menyewa kamar di sini? Bukan tinggal di rumah, bersama suami atau abu suami jika telah ditinggalkan, atau suami baru sebagai teman menjalani hidup hingga akhir. Pernahkah kita berpikir mengapa manusia makhluk sosial? Karena kesendirian yang dikejar oleh Christopher McCandless, berakhir dengan merindukan keramaian.


Lalu ada dirinya, seorang gadis tanpa cermin. Ia tak punya keinginan terpendam untuk jadi orang lain. Ia hanya punya keinginan terpendam untuk tiada. Agak sulit hidup ketika mata dan otaknya terlampau aktif. Ia memikirkan lumba-lumba yang tiap bulan September berlari ketakutan dan akhirnya mati ditombak. Anjing yang dipukuli hingga mati. Sapi dan kambing yang selalu jadi kurban tiap tahun dan selalu melalui proses yang menyedihkan. Orang utan yang dipenggal kepalanya. Gajah yang dibakar hidup-hidup karena dianggap hama. Serakah itu jahat, dan manusia selalu serakah. Dan dia adalah salah satu manusia yang hidup…


Kini ia siap berangkat, lebih pagi dari biasa. Ia ingat langkahnya, gesekan antara kulit tangannya saat ia menuruni tangga dan berpegangan pada relnya, cara membuka pintu gerbang, menutupnya sepelan mungkin, melewati kucing-kucing – termasuk kucing dengan kumis hitler, kicauan burung yang terperangkap, menaiki tangga, lalu berhenti dan mengetuk sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Tiap akan mengetuk, ia berdebar khawatir…


Apakah pintu itu benar-benar terbuka untuknya?




Kemanggisan, kos baru...