Rabu, 09 Maret 2011

Selamat Jalan Kucing Hitam

"Kenapa kalian pukuli anjing itu?"


"Karena anjing kan najis, haram!"


Lalu anak-anak kecil ini kembali melempari anjing yang diikat di pohon pisang tersebut dengan batu.


Lihatlah, sebuah label, sebuah kata, memicu orang untuk membenarkan perlakuan terhadap sesuatu atau seseorang. Lempar saja batu pada orang yang dilabeli sesat, kotor, hina, murtad, bahwa membunuh yang sesat itu benar, menurunkan warisan untuk berpikir membenci dan berperang terus-terusan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


Oh lihatlah Ibu, apa yang anak-anak kecil itu lakukan. Apakah hal itu lebih baik dibanding saya menyayangi anjing? Lalu mengapa kau mengeluh tentang itu?


Anjing yang dilempari tersebut kini sudah besar dan tinggal dengan orang yang dulu menyelamatkannya dari lemparan keji mahluk-mahluk tak mengerti, anak-anak kecil yang sudah terdogma. Nanang memberi nama anjing tersebut Kimi. Ada lima ekor anjing liar lain yang diselamatkan satu per satu. Puri, Regi, Bobby, Tofu dan Merry. Mereka tinggal bersama dalam sebuah lahan luas, tempat kuda penarik delman dipelihara. Namun makin hari mata pencaharian mereka makin terdesak. Larangan delman di Monas dikeluarkan Muhayat (ketika itu Wali Kota Jakpus) melalui Surat Nomor 911/1.754 pada 15 Juni 2007 membuat sebagian besar keluarga kusir kehilangan penghasilan sehingga kuda yang dipelihara pun jadi kurus dan kelaparan.


Kini mereka beroperasi di sekitar komplek, mencoba mencari pelanggan sebagai transportasi alternatif sekaligus transportasi wisata, karena delman musti 'berdandan' sebelum jalan. Di sana kuda-kuda hidup bersama dengan anjing dan kucing yang masih sempat diselamatkan oleh orang-orang yang peduli atas semua makhluk.


Sebuah panggilan telepon mengantarkan saya ke sini, membawa seekor kucing hitam sakit dan kurus kering yang ditemukan malam hari sebelumnya. Kucing tersebut tidak bisa minum atau makan, tiap kali ia bergerak, ia gemetar.


Saya bertemu Sani pagi itu, ia menjemput saya dengan sepeda motor, kami pun bergegas agar cepat sampai karena hujan gerimis mendera. Ketika tiba di sana saya disambut oleh Dadang, seorang mahasiswa relawan yang berasal dari Yogyakarta. Ia kemudian terkejut melihat kucing yang saya bawa. Dari nada suaranya saya tahu bahwa ini darurat.


Ia menelepon seorang dokter kenalannya, namun sang dokter akan melangsungkan operasi siang ini, sehingga baru akan datang sore nanti. Kemudian dengan instruksi dari sms, sang dokter menyuruh Dadang menyuntik subcoitant sang kucing dengan cairan infus sebanyak 10 cc setiap dua jam sekali. Saya bilang bahwa saya telah berusaha memberinya susu semalam, namun ia tak bisa minum. Dadang bilang bahwa lebih baik memberinya pocari sweat dibanding susu, karena kucing ini kekurangan cairan akut.


3,5 jam sudah berlalu sejak saya datang. Sudah pukul sebelas, saya harus pamit karena ada janji bahwa saya harus datang ke pernikahan teman kemudian pulang ke cibinong. Sulit sekali jadi manusia, penuh janji yang harus ditepati.


Waktu terus berlalu semenjak saya pamit, pukul 3 sore dokter belum juga sampai. Dadang terus mengabarkan lewat sms bahwa kucing masih lemas. Saya berharap kucing bisa hidup, karena ia kucing kuat yang patut diberi kesempatan hidup. Semalam setelah diberi susu dan diletakkan dalam kardus, ia tidak tidur, matanya membelalak semalaman. Ah entah sudah berapa malam ia begitu.

Satu jam kemudian Dadang mengatakan bahwa dokter Dhani telah tiba, saya lega, terbit harapan bahwa kucing bisa di infus lalu badannya yang kurus perlahan mengisi. Lalu ia akan jadi sehat, kuat, mata hijaunya akan makin cemerlang, tidak redup seperti hari ini ataupun tadi malam.

Pukul lima sore. Saya sedang dalam perjalanan menuju depok menemui adik sehingga nanti dapat pulang bersama ke Cibinong. Memperhatikan adik bagi saya lebih penting, meski baginya mungkin perhatian ini bukan sesuatu yang penting. Hanya titik-titik lemah yang mencoba menjadi jelas saja. Sebuah sms kemudian masuk ke handphone Nokia saya yang berwarna abu-abu.

"Mbak, kucingnya baru saja meninggal...", itu ujar Dadang melalui sms.

Pernah merasakan mengendarai mobil lalu berjalan menurun dengan menukik? Kemudian kamu merasa dadamu berdesir entah geli atau entah apa rasa itu yang tidak bisa dinamakan. Seperti itulah perasaan saya ketika menerima satu baris sms yang terlihat di layar. Namun saya semestinya belajar bahwa harapan itu jauh dari kehidupan yang ditumpangi. Semua yang bagi saya mimpi akan tetap menjadi mimpi. Dan semua yang nyata berjalan menjauh. Dan harapan tak ada dikeduanya.


Sambil menghela nafas saya membalas sms orang-orang yang telah banyak membantu saya sedari tadi pagi hingga sore ini. Mengucapkan terima kasih kepada mereka dan tetap berjanji untuk datang esok hari.


Itu adalah sepenggal cerita kemarin, kini, saya berdiri di depan kuburan kucing yang kemarin saya temukan. Letaknya dekat kandang kuda. Saya tidak menangis. Ada lega di dada semacam kepasrahan dan sebuah suara menghembuskan kata bahwa 'hal ini lebih baik ketimbang si kucing lebih lama lagi menderita'. Kalimat yang diucapkan persis sama ketika Ayah saya akhirnya meninggal dunia.


Kemudian Bobby, Puri, Regi (yang masih waspada terhadap saya), dan Kimi yang manjanya minta ampun. Anjing-anjing ini bermain, kadang menjilati wajah para penghuni yang sedang giat bekerja membuat bangku dari kayu bekas. Lalu mereka kegelian lalu tertawa, lalu anjing-anjing ini tertidur bersama-sama, mengendus dan bermain dengan kucing yang skala tubuh mereka 1:10.

Oleh-oleh yang saya bawa hari ini, hanya perban, kapas dan rivanol. Karena kemarin saya lihat seorang kusir terjatuh dari kuda, ibu jari kakinya berdarah. Bagaimana pun manusia butuh diperhatikan pula selain hewan. Karena membantu membuat saya senang, bukan karena saya senang kucing, anjing dan lainnya. Saya senang semuanya dapat selamat.

Adakah kau mengerti dengan pernyataan saya ini?


Slipi, 6 maret 2011

Senin, 07 Maret 2011

Montase

montase mon.ta.se

[n] (1) komposisi gambar yg dihasilkan dr pencampuran unsur beberapa sumber; (2) karya sastra, musik, atau seni yg terjadi dr bermacam-macam unsur; (3) gambar berurutan yg dihasilkan dl film untuk melukiskan gagasan yg berkaitan; (4) pemilihan dan pengaturan pemandangan untuk pembuatan film


Saya pernah mengerjakan sebuah tugas kuliah montase, di sana saya menempel foto diri saya dengan latar belakang mobil-mobil yang macet dan asap-asap yang mengepul. Untuk tugas itu dosen memberi saya nilai B, well anyway saya memang tidak pandai menghitung hingga komposisi menjadi pas.


Yang menarik adalah begitulah montase, menempel, menyatukan materi-materi asing hingga jadi satu kesatuan namun tanpa pernah sebelumnya berkaitan. Bagi saya montase tidak berhenti pada halaman majalah seni rupa, majalah fashion, majalah remaja, sampul buku hingga montase menghampiri perjalanan hidup.


Montase kehidupan.


Stiker. Saya ini stiker jika harus di analogikan sebagai benda mati. Kamu tahu fungsi stiker? Yah menempel, tambahan, mirip cara kerja si montase.
Saya mengenal banyak orang, namun tidak pernah terlibat secara benar-benar di sana, karena yah saya cuma montase, stiker yang ditempel untuk sekedar ‘nyempil’, di depan sebuah foto. Selepas kuliah, kehidupan mulai berbeda. Saya yang biasanya hidup tenang dalam gua sendirian dengan keegoisan dan merasa selalu benar, merasa terancam dengan kenyataan-kenyataan yang terus datang dan mereka mengatakan pada saya bahwa semua yang saya lakukan hanyalah mimpi.


Menyebalkan. Mereka memaksa saya untuk keluar, padahal di luar saya tahu, atas kemampuan saya yang minim dalam bersosialisasi, bisa saja saya digiring ke tiang gantungan di dekat jurang yang menganga tinggi. Di mana sebuah pohon kekar berdiri, lalu melingkar sebuah tali tebal di salah satu dahannya. Tali itu menjuntai pada posisi tertentu dan siap menahan lehermu di ketinggian tertentu. Tali akan menggantung orang yang tidak baik hati, saya pun termasuklah dalam kategorinya. Saya selingkuh, saya berbohong, saya pelit, saya perhitungan, saya gampang marah, saya menghina dan menghakimi orang lain, saya jelek (dosa ya kalo jelek hahaha), saya sombong dan berbagai macam sifat buruk lainnya.


Begitulah kehidupan montase, saya menempel pada sebuah foto lalu nanti pada waktu lemnya habis, saya akan jatuh terbawa angin yang kencang. Fotonya? Ya tetap saja begitu, tetap sama ada atau tidak adanya saya.


Apakah hidup itu harus jadi bermakna untuk orang lain, atau kebanyakan orang lain bermakna untuk diri sendiri? Atau hidup yang saya lakukan terlalu banyak kesalahan dan eror di waktu dan kesempatan yang selalu salah sehingga waktu yang bergerak jadi percuma, nafas yang terhela cuma satu bakal dari polusi, langkah yang membawa cuma sekedar bunyi yang menganggu, lalu suara yang terucap cuma nada sumbang. Cita-cita yang di punya ya hanya mimpi. Pikiran yang di punya ya tidak teraba dan terdengar. Karena saya ini terlampau transparan sampai-sampai jika tertabrak mobil dan terkapar di jalanan, orang tiada melihat. Dan saya akan mati kehabisan darah tanpa perlu merepotkan orang-orang untuk pilu atau sedih.


Ah senangnya hidup dan mati tanpa merepotkan.


Begitulah montase, tiada orang akan kehilangan, karena memang terbiasa dengan lem yang habis yang mengelupas dengan alami dan terpisah karena memang tidak ada satu pun yang menghalangimu untuk menghilang. Tidak ada tali-tali ajaib yang menahan hati dan badanmu untuk tetap berada ditempatnya, mengikatnya kuat-kuat dengan rasa, dengan ajaib sehingga kamu akhirnya jadi bagian dari foto, tidak, tidak begitu. Itu hanya mimpi. Itu dongeng.


Montase kehidupan.


Enaknya hidup di dunia nyata. Tak perlu susah-susah belajar sihir seperti Hermione dan pada tingkat tertentu berujar “Obliviate” agar dirinya menjadi Montase. Menghilang itu sangat mudah di dunia nyata, ah mudah bagi saya mungkin.
Mungkin ketika nanti tiba saatnya, entah kematian atau apapun itu. Saya akan berujar. Obliviate. Kemudian lem tiada menempel lagi dan figur itu akan terbang bebas ke bawah dan terinjak-injak banyak orang hingga rusak. Selamat tinggal nyata…


Hehehe...